- Pemanasan global memicu serangkaian efek yang mengikis ketersedian oksigen di laut. Hal ini terjadi sejak 50 tahun terakhir, oksigen terlarut di lautan terus menyusut.
- Luas area perairan rendah oksigen di lautan telah meningkat 4,14 juta km persegi sejak tahun 1960-an. Lebih dari 70% lautan global diprediksi akan mengalami deoksigenasi pada tahun 2080.
- Deklarasi Kiel menyerukan tindakan atas masalah kekurangan oksigen di lautan.
- Penurunan oksigen terlarut akan mengubah produktivitas lautan, keragaman hayati, dan siklus biokimia sehingga lautan jadi mati, yaitu perairan tanpa kehidupan. Dampak kekurangan oksigen terhadap kehidupan laut akan menjadi rumit dan tidak baik.
Pemanasan global tidak hanya meningkatkan suhu laut, tetapi juga memicu serangkaian efek yang mengikis ketersedian oksigen di laut. Ikan-ikan sudah berpindah ke perairan baru untuk bertahan hidup, dan para ilmuwan memperingatkan ancaman jangka panjang terhadap ekosistem laut.
Sejak 50 tahun terakhir, oksigen terlarut di lautan terus menyusut. Penyusutan oksigen ini akan berdampak besar terhadap kehidupan makhluk hidup di Bumi.
Global Ocean Oxygen Network atau kelompok ilmiah yang dibentuk Komisi Kelautan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), melaporkan sejak tahun 1960-an area perairan rendah oksigen di lautan telah meningkat seluas 4,14 juta km persegi.
Luas itu setara dengan setengah luas Kanada. Pada tahun 2080, sebuah studi tahun 2021 memprediksi, lebih dari 70% lautan global akan mengalami deoksigenasi. Seiring dengan penyusutan ini, luas zona lautan mati, yaitu perairan tanpa kehidupan, pun meluas. Bencana besar ada didepan mata.
Penurunan konsentrasi oksigen secara cepat terutama terjadi di kawasan pesisir sudah mencapai 500 titik. Jumlah ini meningkat 10 kali lipat sejak tahun 1950-an. Diperkirakan bisa lebih banyak lagi, karena banyak pesisir di negara berkembang yang tidak ada data pantauan rutinnya, seperti di Indonesia.
baca : Dunia dalam Cengkeraman Industri Fosil: Pertaruhan bagi Kestabilan Ambang Batas Planet Bumi
Pada tahun 2018, para peneliti yang peduli dengan hilangnya oksigen menandatangani Deklarasi Kiel untuk menyerukan tindakan atas masalah ini, di samping upaya untuk membatasi polusi dan pemanasan global. Mereka kemudian membangun Global Ocean Oxygen Database and ATlas (GO2DAT) untuk mengkonsolidasikan dan memetakan semua data.
Andrew Babbin, seorang ahli biogeokimia sekaligus anggota komite pengarah GO2DAT, memetakan area dengan oksigen yang sangat rendah di perairan Samudra Pasifik pada tahun 2021. Dia menyimpulkan, salah satu masalahnya adalah kondisi rendah oksigen cenderung menjadi tempat berkembang biaknya bakteri anoksik yang menghasilkan metana dan dinitrogen oksida gas rumah kaca yang kuat.
“Ini sangat memprihatinkan,” kata Babbin.
Penurunan oksigen terlarut akan mengubah produktivitas lautan, keragaman hayati, dan siklus biokimia. Dalam skala paling parah, penyusutan oksigen menghilangkan ekosistem yang sudah terbentuk sejak lama.
Dampaknya terhadap kehidupan laut akan menjadi rumit dan tidak baik. Ikan trout, misalnya, membutuhkan oksigen terlarut lima hingga enam kali lebih banyak ketika air bersuhu 24o C (75o F) dibandingkan ketika air bersuhu 5o C (41o F). Jadi, ketika air menghangat dan oksigen merembes keluar, banyak makhluk laut yang terancam mati massal.
“Ikan membutuhkan banyak oksigen, terutama ikan-ikan besar yang suka kita makan,” kata Babbin.
Saat ini, ada sekitar 6 miligram oksigen per liter air laut di daerah tropis, dan 11 miligram per liter di kutub yang lebih dingin. Jika kadarnya turun di bawah 2 miligram per liter atau mengalami penurunan 60-80%, seperti yang sering terjadi di beberapa daerah, air tersebut secara resmi mengalami hipoksia. Alhasil laut terlalu rendah oksigen untuk menopang banyak spesies.
baca juga : Peneliti : Apakah Lautan Dunia Menjadi Terlalu ‘Asam’ untuk Mendukung Kehidupan?
Krisis di Antartika
Dan itu terjadi di Antartika. Padahal keberadaannya memiliki dampak yang sangat besar pada iklim, lautan, dan ekosistem.
Sekitar 250 triliun ton air asin, kaya oksigen, dan padat tenggelam di dekat Antartika setiap tahunnya. Ini dikenal sebagai Air Dasar Antartika (Antartica bottom watter/AABW). Proses tenggelamnya air ini menggerakkan jaringan arus global. AABW yang baru terbentuk mengisi hingga 40 persen dari total volume lautan dunia. Sama seperti cara paru-paru memompa oksigen ke dalam darah manusia, AABW mengangkut oksigen serta karbon dan nutrisi ke Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik.
Namun, sebuah studi baru yang dipimpin oleh peneliti CSIRO (The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation), Dr Kathy Gunn, menunjukkan bahwa proses tenggelamnya air pekat ini ternyata telah melambat. Dan dampaknya membuat tingkat oksigen di laut dalam juga menurun.
“Pengamatan kami menunjukkan bahwa sirkulasi laut dalam di sekitar Antartika telah melambat secara keseluruhan sekitar 30 persen sejak tahun 1990-an. Perlambatan ini mengunci dampak selama beberapa dekade,” kata Kathy.
Perlambatan ini terjadi karena meningkatnya pencairan gletser Antartika membuat air permukaan menjadi kurang asin, dan karenanya lebih mengapung. Ini berarti ada lebih sedikit air yang tenggelam dari permukaan ke kedalaman. Terganggunya proses yang mengisi laut dalam dengan oksigen memiliki efek yang menjangkau jauh di luar laut.
Dalam kajiannya, mereka menyebutkan, pemanasan global yang dipicu meningkatnya dampak dari aktivitas manusia menjadi penyebab utama terjadinya penurunan kadar oksigen di lautan terbuka. Memanasnya permukaan laut menyebabkan oksigen sulit masuk ke laut lebih dalam. Oleh karena itu, seiring dengan pemanasan permukaan air, kadar oksigen lautan secara global juga menurun drastis.
baca juga : Bagaimana Jika Lautan Menghilang dari Bumi?
Masa Depan Bumi
Temuan terbaru tentang penyusutan oksigen di lautan ini telah menguatkan kekhawatiran para ilmuwan tentang masa depan kehidupan di Bumi. Terutama menyoal cadangan pangan berkelanjutan yang bersumber dari ikan di lautan.
Akhir tahun 2023 lalu, sekitar 1.200 ton ikan sarden dan makarel ditemukan mengambang di permukaan laut di lepas pantai pelabuhan perikanan Hakodate di Hokkaido, Jepang. Peristiwa ini membuat bingung pejabat setempat lantaran baru terjadi pertama kali.
Para ahli berspekulasi bahwa ikan-ikan itu bermigrasi ketika terjadi penurunan suhu air secara tiba-tiba. Sehingga terdampar dalam jumlah yang besar.
Namun, ada juga laporan yang mengaitkan dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima. Laporan tersebut mencatat bahwa ikan-ikan yang mati lalu terdampar di pantai terhitung sejak empat bulan setelah PLTN tersebut mulai membuang air yang mengandung sejumlah kecil isotop radioaktif tritium ke Pasifik.
Spontan, langkah yang diambil pejabat kota di Hakodate segera memperingatkan warganya untuk tidak mengkonsumsi ikan yang terdampar. Dimana ada pihak yang mengumpulkan ikan dalam jumlah besar untuk dijual atau dimakan.
“Kami tidak tahu pasti bagaimana ikan-ikan ini terdampar, jadi saya tidak menyarankan untuk memakannya,” kata Takashi Fujioka, seorang peneliti perikanan.
Peristiwa ini pun mengingatkan bahwa nasib Bumi di masa depan bergantung pada tindakan menyelamatkan lautan. Dan ujian kepedulian kita diuji ketika para peneliti menghimbau soal polusi mikroplastik yang kerap dianggap sepele nyatanya berpotensi memperburuk masalah rendahnya oksigen di laut lepas. (***)