Suzy Hutomo: Isu Sustainability Lingkungan Seringkali Dikalahkan Keuntungan Ekonomi

Bisnis dan lingkungan hidup, seringkali bukan padu padan yang serasi. Bisnis dalam berbagai skala, seringkali mengorbankan keberlanjutan lingkungan tempat manusia, satwa dan semua ciptaan Tuhan di dalamnya. Namun, bagi Suzy Hutomo, bisnis adalah sebuah upaya untuk melindungi alam sekitar kita. Lewat bisnis -yang disebutnya sebagai ethical and responsible business– Suzy meyakini bahwa aktivitas perusahaan sangat berdampak pada lingkungan.

Lewat The Body Shop Indonesia, yang sudah lebih dari dua dekade hadir di tanah air, Suzy Hutomo mencoba memberi keseimbangan pada laju bisnis yang dilakukannya dan keberlanjutan alam sekitar kita. Bukan sekedar menempel jargon di 55 outlet di seluruh Indonesia, mereka hingga kini melakukan praktek bisnis yang mengharamkan ujicoba satwa dalam proses produksi kosmetik mereka, juga menggunakan material daur ulang dalam berbagai jenis produk mereka, bahkan semua poster, leaflet, brosur, dan aktivitas keseharian, harus dilakukan dalam koridor green.

Tidak hanya soal lingkungan, Suzy juga menggelar acara tahunan bertema Think-Act-Change sejak 2007 yang membawa tema lebih luas. Acara kompetisi film dokumenter ini membawa berbagai tema seperti pemanasan global, kekerasan pada perempuan dan HIV/AIDS.

Ibu tiga anak ini, memang lahir dari keluarga pebisnis. Namun dalam sebuah wawancara dengan majalah wanita tiga tahun lalu, Suzy Hutomo mengaku ternyata ia lebih aktivis dibanding pebisnis. Kendati sibuk, aktivitasnya dalam isu lingkungan tak berkurang. Ia pernah terpilih menjadi salah satu dari 300 peserta Climate Change Project Al Gore di Melbourne, Australia. Ia juga masih menjabat sebagai Board Member Greenpeace Southeast Asia, ia pun masih sibuk di Climate Project Indonesia (grup yang dibentuk usai Climate Project Al Gore di Melbourne).

Mongabay Indonesia, mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara secara online dengan beliau untuk memahami isi kepala seorang Suzy Hutomo, bagaimana ia menyeimbangkan dunia bisnisnya dengan isu-isu lingkungan yang semakin kompleks di Indonesia.

Mongabay Indonesia: Anda selalu tertarik dengan dunia lingkungan dan pelestariannya, darimana bibit itu muncul? adakah sebuah peristiwa yang menjadi trigger bagi Anda?

Suzy Hutomo: Saya tak pasti sejak kapan…namun ingatan pertama saat liburan di Puncak, saat itu masih banyak hutan disana…berjalan melintasi alam, menikmati air terjun, bersama kawan-kawan memanjat pohon dan melihat telur burung, menangkap anak katak, pokoknya semua kegiatan di alam. Saya juga masih ingat saat paman saya membawa sesuatu yang disebutnya telur kasuari, bentuknya seperti telur berwarna biru dan besar. Hal itu membuat saya sangat ingin melihat burung kasuari, dan burung cendrawasih di habitatnya, tak hanya di wadah kaca di ruang tamu.

Saya kira itu di masa kanak-kanak saya…kendati saya tumbuh di Jl. Pasar Baru saya selalu tertarik dengan sesuatu yang berbau alam dan saya memilii banyak buku tentang satwa dan alam.

Mongabay Indonesia: The Body Shop, kurang lebih sudah dua dekade di Indonesia, apa sih misi utama Anda membawa outlet kosmetik ramah lingkungan ini ke Indonesia awalnya?

Suzy Hutomo: Sebelum terlibat di The Body Shop, saya menjalankan bisnis yang murni bisnis, dan saya merasa itu tak menjadi sesuatu yang menginspirasi saya. Saya selalu sadar bahwa saya ingin melakukan sesuatu yang bisa membantu alam ini dan saat saya bertemu Anita Roddick, filosofinya tentang menyeimbangkan laba dan prinsip-prinsip lingkungan, dan prinsipnya tentang bisnis yang berkelanjutan, saat itu juga saya menemukan panggilan hati saya.

Mongabay Indonesia: Bukankah misi lingkungan itu selalu terjepit diantara ekspansi modal dan kepentingan ekonomi, bagaimana Anda melihat sisi lingkungan ini bisa selaras dalam latar bisnis yang Anda lakukan?

Suzy Hutomo: Ya, di dunia saat ini – ada konflik antara lingkungan dan uang. Dan alasannya adalah rezeki yang dilimpahkan, yaitu jasa lingkungan yang dikaruniakan kepada kita tidak bisa dinilai dengan uang. Jadi para pelaku bisnis merasa mereka bisa merusak alam karena hal itu tidak terlihat di dalam perhitungan laporan keuangan mereka. Apalagi, pasar bursa dunia tidak terlalu peduli hal ini karena aksi kepedulia terhadap lingkungan ini tidak menjadi sebuah nilai tambah bagi perusahaan tersebut.

Tak ada perhitungan yang jelas bagi semua jasa yang sudah diberikan kepada kita, manusia, oleh hutan, sungai keragaman hayati dan juga tak ada perhitungan kerugian alam akibat aktivitas seperti pertambangan dan sebanyak apa hal itu akan merugikan kita dan berapa lama lagi waktu yang akan dibutuhkan untuk menumbuhkan kembali hutan yang hilang.

Di negara berkembang yang ekonominya terus melaju cepat, isu keberlanjutan menjadi isu sampingan demi menggenjot keuntungan ekonomi. Namun, sadarkah kita akan kerugian yang akan diterima oleh generasi mendatang?

The Body Shop adalah sebuah green business – nilai-nilai dalam bisnis ini cocok dengan nilai yang saya anut yaitu Planet People Profit. Kami berpikir tentang dampak keseluruhan terhadap lingkungan dan bagaimana menguranginya. Namun yang lebih penting kami ingin menjadi agen perubahan dengan cara menyampaikan secara aktif soal isu yang seringkali diabaikan oleh banyak orang – isu tentang lingkungan, tentang perdagangan manusia, ujicoba satwa… dan dengan cara itu kita juga mendidik konsumen.

Mongabay Indonesia: Secara teori, tujuan ideal pelestarian alam dan menyelamatkan planet, mungkin bisa digapai namun secara fakta apa yang membuat Anda yakin ini bisa terus berjalan?

Suzy Hutomo: Hm…Nilai kerusakan lingkungan demi penggalian tambang, emisi yang menyebabkan perubahan iklim… semua kini semakin memburuk dan banyak hal tak bisa kembali seperti semula. Dan jika kita semua memahami dengan sesungguhnya keuntungan dan jasa-jasa yang sudah disediakan lingkugan untuk kita… saya kira semua lapisan masyarakat baik itu pemerintahan, bisnis dan individu akan mengubah perilaku mereka.

Saat ini, kesenjangan terbesar adalah ketidakpahaman dari pemanfaatan jasa lingkungan yang diberikan kepada kita dan bagaimana kita harus mempertahankannya demi generasi masa mendatang, dan juga bagaimana kita berpindah ke pemanfaatan energi ramah lingkungan dan menghindari dampak lebih buruk dari perubahan iklim.

Solusinya sudah ada –namun itu akan membutuhkan perubahan paradigma, membutuhkan investasi yang besar, dan merestrukturisasi cara kita berbisnis saat ini. Sayangnya, orang-orang yang memegang kekuasaan dan bisnis melihat perubahan ini menjadi sebuah resiko. Bagi saya resikonya justru jauh lebih besar jika kita tidak mengubahnya!

Jadi, masalah komunikasi, edukasi….itulah kesulitannya.

Saya selalu bergairah dan optimis…Saya melihat generasi yang lebih muda jauh lebih memiliki gairah terhadap lingkungan- dan mereka adalah generasi yang harus kita berikan pemahaman dan pengaruh.

Tetap merasa harus lebih sering bersepeda ke kantor untuk menekan emisi. Foto: Koleksi Pribadi

Mongabay Indonesia: Pernah merasa gagal atau lelah dalam mengampanyekan lingkungan karena banyaknya tekanan dunia bisnis?

Suzy Hutomo: Ya…saat kami pertama kali membuka The Body Shop, kebijakan kami adalah mengurangi penggunaan kantong plastik (kami masih menggunakan kantong plastik 20 tahun lalu, kini kami menggantinya dengan kertas daur ulang). Dan kami selalu menanyakan kepada para konsumen apakah mereka memerlukan tas plastik –atau mereka bisa memasukkan belanjaan mereka di tas tangan mereka- jadi kami bisa menghemat satu plastik demi lingkungan. Well, kami mendapati banyak orang marah dan meminta tas plastik mereka dan mereka merasa dihina karena merasa kami ingin memotong biaya produksi. Mereka memiliki uang namun samasekali tak memiiki ketertarikan untuk menjadi lebih ramah lingkungan.

Sebagai sebuah entitas bisnis, kami sangat tergantung. Sebagai bagian dari konsekuensi menjadi lebih ramah lingkungan, kami memang menjual lebih mahal dan banyak konsumen kami dari kalangan menengah, jadi kami tak mendapat banyak tekanan soal itu.

Mongabay Indonesia: Anda aktif di beberapa organisasi lingkungan, apakah -cara berorganisasi- ini salah satu cara yang Anda yakini untuk bisa memberikan sesuatu untuk kelangsungan bumi?

Suzy Hutomo: Sangat…Saya sangat percaya dengan ungkapan Gandhi ‘Be the change you wish to see in the world’. Dan saya merasa akan menjadi orang yang hipokrit jika saya tidak melakukan sesuatu untuk menjalankan sesuatu yang saya yakini.

Saya percaya bahwa organisasi sosial, misalnya NGO memiliki peran kunci dalam menciptakan perubahan. Sebagai perwakilan dari Al Gore, salah satu misi saya adalah berbicara sebanyak mungkin kepada banyak perusahaan tentang perubahan iklim. Dengan keterlibatan saya di Kehati, saya juga bisa berkontribusi untuk membantu aktivitas konservasi dan mengkomunikasikan keragaman hayati Indonesia.

Mongabay Indonesia: Kalau dalam gaya hidup keseharian, upaya apa yang Anda lakukan untuk tetap dalam koridor ramah lingkungan?

Suzy Hutomo: Di rumah, kami memisahkan sampah Kami mendaur ulang dan mengkompos sampah. Di Bali – Eco Bali mengambil dan mendaur ulang sampah kami.

Kami memiliki energi terbarukan –baik itu angin dan tenaga surya. Kami menampung air hujan dan air juga kami daur ulang. 90% kayu yang digunakan dalam konstruksi rumah kami adalah kayu bersertifikasi atau kayu daur ulang. Saya mengendarai mobil hybrid, Toyota Prius untuk mereduksi emisi. Terutama di Jakarta yang bisa menghabiskan berjam-jam di jalan raya.

Saya mengubah semua lampu di rumah menjadi LED dan pengurangan energi yang kami rasakan sungguh luar biasa. Kami membeli sayur dan buah lokal organik sebanyak mungkin kita bisa.

Saya selalu memiliki dua tas ekstra di tas tangan saya dan saya tidak mengambil antong plastik dari supermarke atau toko. Saya membawa botol minum saya sendiri dan sebisa mungkin tidak meminum air dari kemasan plastik. Saya juga tidak memakan daging merah karena alasan dampak terhadap lingkungan.

Saya bersepeda ke kantor (namun saya perlu melakukannya lebih sering).

Mongabay Indonesia: Apakah hal yang sama Anda terapkan untuk Suami dan anak-anak Anda?

Suzy Hutomo: Sebagian besar iya. Namun ini tidak selalu mudah…namun setelah beberapa tahun berjalan, hal itu menjadi seperti kebiasaan saja. Sekarang suami saya menyukai mobil hibrid. Dan anak-anak saya tidak memakai kantong plastik dari toko atau stereofoam dari restoran. Saya sangat bangga kepada mereka.

Mongabay Indonesia: Di Indonesia, Anda pernah juga menyebut soal lazy environmentalist (aktivis lingkungan yang pemalas, atau hanya melakukan aktivitas green jika dirasa tidak merepotkan). Seberapa besar faktor regulasi dan fasilitas pemerintah ini bisa mengubah seseorang menjadi true environmentalist? Seperti misalnya, mungkin orang akan lebih suka bersepeda ke tempat kerja jika pemerintah berhasil meningkatkan keamanan di jalan raya dll…

Suzy Hutomo: Tentu saja, kami ingin lebih banyak orang untuk menjadi lazy environmentalist pertama-tama –untuk membuat mereka merasa jauh lebih baik dengan ramah lingkungan dengan cara paling sederhana, dan membuat mereka merasa itu adalah hal yang sangat mudah dilakukan.

Itu sebabnya kita membutuhkan transportasi publik yang baik, pajak lebih rendah untuk mobil hibrid dan mobil listrik, jalur bersepeda, serta pusat daur ulang yang baik.

Namun pada kenyataannya kita membutuhkan insentif pemerintah dan kebijakan serta regulasi sebagaimana dimiliki di negara-negara maju untuk membuat bisnis dan publik berperilaku lebih ramah lingkungan.

Mongabay Indonesia: Ngomong-ngomong, apa sih satwa khas Indonesia menurut seorang Suzy Hutomo yang harus mendapat perhatian ekstra saat ini, dan kenapa?

Suzy Hutomo: Komodo – last living dinosaurs – habitat, makanan dan konservasinya belum prima. Tapi penting untuk pengembangan ekowisata di Flores.

Orang utan – sedihnya … Mereka begitu terancam dengan hilangnya hutan di Kalimantan dan Sumatra.

Sebetulnya masih banyak spesies yg perlu di lindungi – seperti burung, Ular, mamalia kecil – tapi ini semua sulit kalo hutan primer habis ditebang. Di era pembangunan ekonomi –konservasi tidak akan bekerja jika tidak membawa keuntungan ekonomi kepada orang-orang yang hidup di sekitar spesies tersebut. Jadi kita memerlukan model kewirausahaan sosial untuk melakukan konservasi spesies.

Mongabay Indonesia: Apa mimpi tertinggi Anda yang belum terwujud saat ini terkait pelestarian alam di Indonesia?

Suzy Hutomo: Mimpi saya….semua anak diajarkan mengapa perlindungan terhadap lingkungan sangat penting dan mereka memahami keuntungan dari jasa-jasa yang disediakan oleh lingkungan. Dan semua orang diajarkan dan melakukan gaya hidup ramah lingkungan untuk mereduksi dampak terhadap lingkungan. Dan bisnis berjalan dengan prinsip berkelanjutan…

Mongabay Indonesia: Soal isu lingkungan, Anda lebih tertarik mana, isu soal satwanya atau habitatnya? Kenapa?

Suzy Hutomo: Dua-duanya…tak mungkin bisa memiliki spesies tanpa habitatnya

Mongabay Indonesia: Kalau dijabarkan dalam 10 hingga 15 kata, menurut diri Anda pribadi, Suzy Hutomo adalah….

Suzy Hutomo: Seseorang yang ingin menciptakan perubahan, agar orang-orang menjadi lebih paham tentang isu sosial dan lingkungan – jadi masa depan bisa menjadi lebih baik dari saat ini.

Mongabay Indonesia: Apa petualangan alam paling liar yang pernah Anda lakukan? Lalu kalau ada kesempatan, apakah mau mengulanginya lagi?

Suzy Hutomo: Pertama saat saya mendaki Milford Track 25 tahun lalu di South Island, New Zealand. Alam yang sangat indah, sangat bersih. Dalam perjalanan itu saya belajar untuk melangkah dengan sangat hati-hati di planet ini. Semua sampah yang tak bisa didaur ulang dibawa turun setiap hari oleh para relawan. Buat saya, itu luar biasa.

Mongabay Indonesia: Anda sudah pernah membaca Mongabay Indonesia? Apa kritik Anda?

Suzy Hutomo: Ya saya sudah membaca Mongabay beberapa tahun terakhir ini… pertama dalam bahasa Inggris dan saya gembira melihat situs dalam bahasa Indonesia terbit. Saya sangat menyukai Mongabay. Informasinya menarik sekali dan berita serta wawancaranya segar dan menarik. Dan peliputan soal hutan Indonesia juga sangat baik. Hmmm nggak banyak kritik….mungkin Mongabay harus mengintegrasikan dengan lebih baik foto-fotonya (yang kini dijual) dengan pemberitaan dan peliputannya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,