Laporan: Pebisnis Sawit Indofood Agri Disinyalir Ratakan Habitat Orangutan di Kalimantan Timur

Kasus pembersihan habitat satwa langka dan dilindungi akibat ekspansi perkebunan sawit di kawasan yang masuk dalam kategori High Conservation Value Forest kembali terjadi. Kali ini di Desa Miau Baru, Kecamatan Kong Beng, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Akibat penebangan pohon di kawasan ini, sejumlah orangutan terpaksa dievakuasi dari lokasi peristiwa yang diratakan dengan tanah oleh buldoser perusahaan kelapa sawit PT Gunta Samba Jaya.

Dalam laporan yang diberikan secara eksklusif kepada Mongabay-Indonesia, pihak Centre for Orangutan Protection (COP) menyatakan bahwa mereka sudah mengamati keberadaan orangutan di wilayah konsesi milik PT Gunta Samba Jaya sejak 28 Mei 2010 silam, namun hal ini rupanya tidak mengendurkan niat PT Gunta Samba Jaya untuk membongkar hutan di kawasan ini menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pembabatan habitat orangutan di Miau Baru, Kong Beng, Kalimantan Timur oleh PT Gunta Samba Jaya. Foto: Centre for Orangutan Protection

Pada tanggal 4 Oktober 2012 silam, BKSDA Kalimantan Timur bersama COP mengevakuasi seekor anak orangutan berusia sekitar 1,5 tahun dari seorang petani bernama Maktam di Desa Japdam, Muara Wahau, Kalimantan Timur. Menurut penuturan Maktam, bayi orangutan ini terpisah dari ibunya saat buldoser melakukan penghancuran hutandi wilayah PT Gunta Samba Jaya dua bulan sebelumnya.

Setelah peristiwa pertama tersebut, seekor bayi orangutan berusia satu tahun kembali diselamatkan pada tanggal 24 Januari 2013 silam dari seseorang bernama Agus di Desa Miau Baru, Kecamatan Kong Beng, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Pada hari yang sama, beberapa foto dan video penebangan hutan yang merupakan habitat orangutan di kawasan tersebut sempat diambil oleh COP.

Orangutan yang dievakuasi dari rumah penduduk setelah habitatnya musnah diterjang buldoser PT Gunta Samba Jaya. Foto: Centre for Orangutan Protection

Saat ini pihak Centre for Orangutan Protection telah berupaya mengirimkan laporan tertulis kepada pihak RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang menjadi badan pengawas perusahaan kelapa sawit di dunia agar beroperasi dalam koridor yang ramah lingkungan. Salah satunya, adalah larangan untuk beroperasi di wilayah yang dikategorikan High Conservation Value Forest, dan merupakan habitat satwa langka dan dilindungi. Terkait adanya temuan orangutan di wilayah ini, COP meminta agar penilaian HCVF di wilayah konsesi PT Gunta Samba dilakukan kembali mengingat ratusan orangutan masih berada di kawasan ini.

Selain itu, COP juga berharap agar Orangutan Land Trust yang menjadi mira kerja RSPO juga memberikan bantuan dalam proses penilaian HCVF ini, lewat berbagai bukti yang ditemukan di lapangan. Berbagai bukti yang ada di lapangan memperlihatkan bahwa pihak PT Gunta Samba Jaya telah melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan oleh RSPO tentang penebangan yang mengutamakan keberlanjutan.

Menanggapi fenomena ini, pakar sosial dan lingkungan Kalimantan Timur, Niel Makinuddin mengatakan bahwa kendati sudah ditetapkan secara resmi dalam Rencana Aksi Nasional Konservasi Orangutan 2007-2017, keberadaan orangutan hingga saat ini belum menjadi parameter kunci atau penting dalam revisi RTRW Kabupaten maupun RTRW Propinsi. Proses pemberian izin sering belum atau tidak memperhatikan habitat orangutan. Pemberian izin kelola alam untuk perkebunan sawit maupun tambang batubara bisa dipastikan lebih didesak oleh faktor politis dan ekonomis, dibandingkan aspek teknis-ilmiah. Sehingga tidak jarang perusahaan sering harus mengalami konflik dengan satwa endemic dan dilindungi ini.

Peta lokasi perkebunan kelapa sawit PT Gunta Samba Jaya di Miau Baru, Kong Beng, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur. Klik untuk memperbesar tampilan peta.

“Perusahaan tidak boleh menebang atau menggusur kawasan HCV sebab kawasan ini semangatnya adalah untuk ruang hidup – meski luasannya minimal sekali – bagi satwa endemik termasuk orangutan. Dengan menjaga kawasan HCV, perusahaan telah membuktikan komitmennya untuk hidup berdampingan dan peduli terhadap satwa endemik dan dilindungi. Bila dia menebang kawasan HCV maka akan mengusir dan membunuh satwa tersebut. Bila satwa tersebut terusir, maka kemungkinan besar adalah mengalami kematian karena kekurangan pangan atau masuk kebun masyarakat, yang biasanya tertangkap dan mati,” jelas Niel Makinuddin kepada Mongabay-Indonesia lewat surat elektronik.

Bila konflik wilayah ini terjadi, masih menurut Niel Makinuddin, maka perusahaan yang bersalah. Namun, jangan lupa bahwa pemberi izin (pemda) juga harus bertanggungjawab atas izin yg diberikan. Sudah saatnya pemerintah tegas terhadap tindakan membunuh satwa endemik dan dilindungi.

PT Gunta Samba Jaya adalah salah satu anak perusahaan PT Salim Ivo Mas, yang berada dibawah naungan grup Indofood Agri Resources yang berpusat di Singapura, dan terdaftar secara sah dengan nomor usaha 200106551G di Republik Singapura. Perusahaan Singapura ini menguasai konsesi di wilayah Miau Baru, Kecamatan Kong Beng, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur seluas 8378 hektar.

Orangutan yang diselamatkan dari konsesi milik PT Gunta Samba Jaya. Foto:Centre for Orangutan Protection

Perusahaan yang berbasis di Singapura, dan memberikan devisa kepada Singapura ini tahun lalu mencatat pendapatan lebih dari 13,8 Triliun rupiah di tahun 2012 dari hasil penjualan produk mereka di Indonesia. Beberapa produk mereka yang sangat terkenal di Indonesia adalah minyak goreng dengan merk Bimoli, Bimoli Spesial, Delima, Mahakam dan Happy Salad Oil. Bimoli bahkan sudah diproduksi sejak tahun 1978 silam. Salah satu komisaris PT Salim Ivo Mas adalah Axton Salim, anak dari Anthony Salim yang kini menjadi pemuncak dari konglomerasi grup Salim di Indonesia yang didirikan oleh taipan Sudono Salim atau Liem Sioe Liong.

Hingga berita ini diturunkan, pihak PT Gunta Samba Jaya melalui perusahaan induk mereka PT Salim Ivomas Pratama maupun grup Indofood Agri Resources belum memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan yang yang disampaikan oleh Mongabay-Indonesia sejak tanggal 15 Maret 2013 silam untuk mengonfirmasi peristiwa ini. Direktur Eksekutif sekaligus CEO Indofood Agri Resources, Mark Wakeford maupun Chief Financial Officer, Mak Mei Yook belum belum memberikan respons atas pertanyaan terkait pembersihan habitat orangutan ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,