,

Tersedot ke Perusahaan, Lahan Buat Warga Kalbar Tersisa 700 Ribu Hektar

Penguasaan lahan di Kalimantan Barat (Kalbar) didominasi perusahaan. Dengan total penduduk 4,3 juta jiwa, lahan yang bisa diakses masyarakat hanya 700 ribu hektar. Selebihnya, sudah dikapling untuk kepentingan perkebunan sawit, izin usaha pertambangan, dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam serta hutan tanaman.

Padahal, luas daratan provinsi itu mencapai 14,4 juta hektar. Apa daya, lahan seluas 4,8 juta hektar sudah dikuasai 326 perkebunan  sawit. Luasan lahan itu hampir setara Jambi.

Kapling lain adalah IUP seluas 1,5 juta hektar dan diberikan kepada 651 perusahaan. Dan IUPHHK-HA-HT yang kini dikuasai 151 perusahaan dengan luas kawasan 3,7 juta hektar.

Data faktual di atas terungkap dalam sebuah dengar pendapat dengan anggota DPRD Kalbar di Pontianak, Rabu (23/5). Aksi yang melibatkan 178 perwakilan masyarakat dari berbagai daerah di Kalbar ini didamping Lembaga Gemawan dan diterima Ketua DPRD Kalbar, Minsen, Ketua Pansus Tata Ruang Kalbar, Retno Pramudya, dan sejumlah anggota DPRD Kalbar lain.

“Saat ini, ada 529 perusahaan telah menguasai 10 juta hektar lahan, atau hampir 70 persen dari luas wilayah Kalbar,” kata Bustami, juru bicara yang mewakili warga Kubu Raya, di Kantor DPRD Kalbar.

Fakta ini, urai hanya ingin menyebut bahwa tinggal 30 persen atau 4,4 juta hektar luas daratan dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk Kalbar. Wilayah yang dapat diakses oleh masyarakat ini, juga masih harus dikurangi kawasan konservasi dan lindung seluas 3,7 juta hektar.

“Jadi, sisa lahan 700 ribu hektar itu dibagi 4,3 juta penduduk, berapa rata-rata penduduk mendapatkan lahan? Ketimpangan struktur penguasaan lahan dan sumber daya alam seperti inilah yang menimbulkan banyak persoalan.”

Dia menilai, kondisi lahan yang sangat sempit, bisa menimbulkan banyak persoalan bagi masyarakat. Apalagi, bagi mereka yang menggantungkan hidup kepada lahan seperti pertanian, karet, kelapa, holtikultura, dan jenis tanaman lokal lain.

Sementara Sekretaris Jenderal Serikat Tani Serumpun (STSD) Sambas, Kumaini menyebut kedaulatan masyarakat terhadap tanah mereka sudah mulai terusik. “Tanah yang bertahun-tahun dikelola turun temurun tidak diakui secara hukum. Masyarakat dianggap mencaplok lahan negara, melanggar aturan, dan potensial dikriminalisasi.”

Konflik pemanfaatan lahan akibat kegiatan investasi pertambangan, HTI-HPH dan perkebunan, tidak hanya memposisikan masyarakat lokal berhadapan dengan perusahaan, juga dengan pemerintah daerah. Bahkan konflik antarmasyarakat secara horizontal. Tidak jarang, masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan.

Kumaini menjelaskan, sejak 2004, konflik meningkat dari 26 menjadi 104 kasus. Bahkan 70 masyarakat desa dan aktivis telah ditahan dengan tuduhan menolak ekspansi perkebunan sawit.

Peta usulan revisi dan draf Raperda RTRW Kalbar, katanya, belum menjawab berbagai persoalan mendasar dalam pemanfaatan ruang. Dalam peta itu, tidak ada upaya mitigasi konflik pemanfaatan lahan maupun tak ada perlindungan wilayah permukiman, pertanian tradisional, pengelolaan SDA berbasis masyarakat, dan peruntukan sentra produksi pangan. “Bahkan, ada indikasi pemutihan penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural.”

Untuk itu, perwakilan masyarakat Kalbar ini menyampaikan sejumlah sikap kepada anggota DPRD. Sikap ini masing-masing meminta penyelesaian persoalan wilayah kelola milik rakyat yang masuk dalam kawasan hutan. Para pihak, diminta segera menyelesaikan konflik lahan kelola masyarakat dengan perkebunan skala besar.

Lalu, segera sertifikasi lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat, segera selesaikan masalah tapal batas wilayah dan kawasan kelola masyarakat. Kemudian, lindungi lahan pertanian, perkebunan dan hak kelola masyarakat, serta evaluasi semua perizinan perkebunan skala besar di Kalbar dalam bingkai kebijakan rancangan tata ruang wilayah dan tindak tegas perusahaan-perusahaan jahat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,