,

Wawancara: Dalam Pemilu 2014, Banyak Calon Wakil Rakyat yang Tidak Peduli Isu Lingkungan Hidup

Tahun 2014 merupakan tahun politik. Namun demikian, berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Walhi terhadap calon legislatif, sebagian besar calon wakil rakyat tidak ada yang memiliki komitmen untuk memperjuangkan isu lingkungan hidup.  Padahal isu lingkungan merupakan isu yang penting baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang.

Kebijakan yang keliru akan berpengaruh kepada kerusakan ekologis dan menimbulkan dampak bencana.  Sebagai contoh, kebijakan keliru dalam penutupan daerah resapan air pada akhirnya akan menimbulkan banjir. Pemberian ijin konsesi perkebunan, pertambangan, kehutanan yang semena-mena akan berakibat kepada dampak bencana di masa depan, baik kebakaran lahan, hilangnya keanekaragaman hayati, hilangnya hak hidup masyarakat asli dan sebagainya.

Persoalan lingkungan hidup disinyalir tidak akan pernah bisa disuarakan tuntas, karena pelakunya justru ada di dalam anggota parlemen maupun eksekutif. Berkelindannya hubungan patronase antara penguasa dan pengusaha menyumbang kerusakan lingkungan Indonesia yang luar biasa.

Isu lingkungan pun sering diabaikan oleh berbagai pihak, karena efeknya tidak langsung terlihat saat ini.  Lingkungan sering diabaikan dan kalah dengan kepentingan pragmatisme ekonomi sesaat yang dilakukan secara transaksional.

Bekerjasama dengan Yayasan Perspektif Baru, dalam kesempatan ini Mongabay Indonesia menampilkan cuplikan sesi wawancara bersama Khalisa Khalid, aktivitas lingkungan perempuan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).  Wawancara ini dilakukan oleh Budi Adiputro dari Yayasan Perspektif Baru.  Hasil wawancara utuh juga dapat dilihat di http://www.perspektifbaru.com.

Banjir, salah satu indikasi kerusakan ekologis yang diakibatkan oleh bencana buatan manusia. Foto: Wahyu Candra

Tanya: Tahun ini masyarakat Indonesia memasuki tahun pemilihan umum (Pemilu), legislatif maupun presiden. Berbagai kampanye sudah mulai terasa di kalangan masyarakat. Namun tidak banyak masyarakat yang membahas isu lingkungan atau menjadi tema utama kampanye para calon karena dianggap bukanlah isu yang penting. Pendapat Anda?

Khalisa Khalid: Pertama, merupakan anggapan yang keliru bila memandang isu lingkungan hidup bukanlah isu yang penting, atau hanya menjadi isu sisipan sekunder. Pada dasarnya setiap permasalahan seperti masalah ekonomi, kemiskinan, dan lingkungan, saling terkait satu sama lain.

Kualitas lingkungan hidup yang berkurang atau rusak dapat mempengaruhi kualitas hidup manusia, bukan hanya saat ini tetapi juga generasi mendatang, terutama perempuan. Hal tersebut karena perempuan memiliki alat reproduksi yang akan memproduksi individu kelak.

Tanya: Mengapa para politisi belum memahami bahwa isu lingkungan merupakan isu penting?

Khalisa Khalid: Di situlah yang membuat saya sedikit pesimis dengan para calon pemimpin kita. Mereka seakan tidak mau mempelajari isu-isu penting. Kalau melihat track record para pemimpin, rata-rata memang tidak menguasai persoalan-persoalan di masyarakat. Sehingga mereka tidak melihat isu lingkungan hidup menjadi satu isu yang penting.

Berdasarkan hasil kajian Walhi terhadap calon legislatif, mayoritas dari calon pemimpin kita tidak memenuhi kriteria pemimpin yang akan memperjuangkan isu lingkungan.

Tanya: Apa metode yang digunakan dan bagaimana hasilnya?

Khalisa Khalid: Walhi melakukan kajian terhadap kandidat anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berdasarkan biodata yang mereka berikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dokumen tersebut merupakan satu-satunya dokumen yang dapat diakses oleh masyarakat. Berdasarkan biodata calon pemimpin tersebut, Walhi melihat tidak ada yang menunjukkan bahwa mereka mereka memiliki komitmen untuk memperjuangkan isu lingkungan. (Red: Sebelumnya Walhi sempat kesulitan mencari rekam jejak para Caleg. Dari 6.800 Caleg baik DPR, DPRD, dan DPD, hanya sedikit yang mencantum identitasnya dengan lengkap di situs KPU).

Kendati demikian, dokumen saja tidak dapat menjelaskan komitmen-komitmen calon pemimpin terhadap isu lingkungan. Berbagai alasan mungkin menjadi penyebab, salah satunya karena pola pemikiran mereka belum sampai pada titik bahwa isu lingkungan hidup merupakan isu yang penting dan saling berhubungan antara isu lingkungan, isu kesejahteraan, atau isu yang terkait dengan pangan.

Tanya: Jadi terkesan slogan-slogan para calon merupakan slogan kosong yang tidak menyentuh masalah sebenarnya, betulkah?

Khalisa Khalid: Betul. Kalau kita perhatikan dalam selebaran promosi hanya terdapat nama calon dan ajakan untuk memilih. Mereka tidak mencantumkan poin-poin yang akan diperjuangkan, misalnya akan memperjuangkan kualitas udara di Jakarta atau mengurangi pencemaran.

Jika parlemen maupun pemerintah yang terpilih peduli lingkungan dan bukan bagian dari para perusak lingkungan, tentu mereka akan peduli dan bersuara keras pada kerusakan lingkungan di negeri ini. Foto: Eyes on The Forest

Tanya: Sebelumnya anda pernah bertemu dengan anggota parlemen daerah. Apa yang anda peroleh dari pertemuan tersebut?

Khalisa Khalid: Hal pertama yang saya tanyakan kepada mereka ialah menyangkut komitmen sebagai wakil masyarakat, terkait dengan berbagai krisis lingkungan yang terjadi. Jawaban yang diberikan agak mengagetkan. Anggota tersebut tahu bahwa isu lingkungan merupakan isu yang penting, tetapi bagi mereka saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas isu lingkungan.

Saya merasa sedikit miris mendengarnya karena kalau bukan sekarang kapan lagi membahas isu lingkungan. Apakah harus menunggu sampai ada korban akibat dari bencana lingkungan makin meningkat? Padahal di catatan kami, sepanjang 2013, sudah ada lebih dari 1.000 bencana ekologis. Walhi mendefinisikan bencana ekologis adalah bencana yang ditimbulkan dari lingkungan yang tidak dipelihara.

Tanya: Jadi bukan alam yang salah, melainkan karena ulah manusia?

Khalisa Khalid: Bukan. Meski bencana gunung meletus dan gempa dikategorikan sebagai bencana alam, namun mayoritas dari 1.000 peristiwa tersebut ialah banjir dan longsor. Kalau banjir dan longsor, kami kategorikan sebagai akibat dari salah manusia dalam pengelolaan sumber daya alam.

Tanya: Dengan kata lain, keputusan politik dan juga keberpihakan politik menjadi penting terkait dengan hal ini?

Khalisa Khalid: Ya, karena sumbernya adalah kebijakan politik yang dikeluarkan oleh wakil rakyat, baik DPR maupun DPRD dan fungsi pengawasan mereka. Misalnya izin dikeluarkan oleh otonomi daerah, dalam hal ini adalah bupati, di berbagai daerah yang terkait dengan industri ekstraktif seperti tambang. Lalu, dimana peran DPRD sebagai badan pengawas? Tugas merekalah mengawasi kebijakan pembangunan yang terjadi di wilayah masing-masing.

Jika pembangunan tidak berjalan berarti kurang pengawasan dari wakil rakyat. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin meningkatnya bencana ekologis sejak 2012. Tidak menutup kemungkinan akan timbul persepsi dari masyarakat bahwa anggota parlemen baru peduli pada lingkungan jika sudah memakan korban hingga ratusan ribu jiwa.

Kebijakan yang salah berakibat meningkatnya eskalasi konflik di daerah. Salah satu contoh konflik tanah di Jambi antara perkebunan sawit Asiatic Persada dengan Suku Anak Dalam. Foto: Ferry Irawan

Tanya: Apakah korban bencana alam mungkin kini justru dijadikan komoditas politik baru untuk kampanye?

Khalisa Khalid: Ya, hal demikian banyak terjadi di beberapa wilayah. Bukan melestarikan lingkungannya tetapi melestarikan bencananya.

Tanya: Sebenarnya, bagaimana kondisi lingkungan Indonesia yang harus diketahui oleh partai politik dan calon presiden?

Khalisa Khalid: Jika seperti ini terus, saya dapat mengatakan, Indonesia sudah hampir tidak ada harapan. Lebih dari 1.000 bencana ekologis terjadi, diikuti dengan kerusakan hutan yang menurun. Menurun tersebut bukan berarti lalu membaik, tetapi hutan di Indonesia yang sudah tidak ada akibat terlalu banyak dieksploitasi.

Di sisi lain, kita melihat laju ekspansi dari industri ekstraktif, tambang, terutama perkebunan kelapa sawit yang dinilai sangat boros dalam pemanfaatan air dan mencemari lingkungan. Di kota, persoalannya adalah banyak sekali konversi lahan, ruang terbuka hijau, dan daerah resapan air yang digunakan untuk pembangunan berbagai sektor komersil seperti mal. Pembangunan tersebut akan mengambil lahan daerah resapan air dan menjadi salah satu penyumbang sebagian besar bencana ekologis. Dengan begitu hancur sudah kondisi kerusakan lingkungan kita.

Tanya: Apakah anda memiliki data menarik yang dapat diberikan kepada masyarakat?

Khalisa Khalid: Data yang menarik sangat banyak. Selain dari bencana ekologis, ada juga data-data masyarakat yang melakukan protes. Jadi sebenarnya publik sudah lebih cerdas, ketika terjadi krisis lingkungan di wilayah mereka, maka mereka langsung melakukan protes.

Walhi menganggap besarnya angka protes sama dengan besarnya kepedulian publik terhadap isu lingkungan. Dalam tiga bulan sepanjang 2013, sudah terjadi 123 peristiwa protes dari masyarakat. Artinya, terdapat 123 kasus lingkungan yang terjadi sepanjang 2013. Masyarakat sudah semakin peduli, hanya saja wakil rakyatnya yang belum mengerti. Maksudnya, masyarakatnya sudah cerdas tetapi banyak wakil rakyatnya yang justru belum cerdas.

Tanya: Bagaimana dengan kandidat calon presiden RI?

Khalisa Khalid: Secara eksplisit, para calon presiden belum ada yang menyampaikan secara tegas komitmen mereka terhadap lingkungan, begitu juga dengan partai politik (Parpol). Parpol seharusnya turut menyuarakan isu lingkungan. Itu karena sebagus apapun kandidat calon anggota legislatif, tetapi bila sistem partainya tidak sesuai, maka hanya orang-orang tertentu saja yang bisa maju.

Jika ini terjadi tentu ada yang salah dari partai politiknya, dan juga dokumen yang mereka miliki. Beberapa partai memiliki dokumen isu lingkungan tetapi tidak mengimplementasikannya. Artinya, dokumen partai tidak menjadi arah kebijakan ketika mereka menjadi pemimpin. Seharusnya dasar politik mereka yang menjadi kendaraan ketika mereka bekerja sebagai anggota parlemen dan eksekutif.

Pertambangan batubara terbuka di Kalimantan Timur tampak dari udara. Isu pertambangan diperhadapkan dengan kerusakan hutan dan kemampuan reklamasi area. Foto: Hendar

Tanya: Apakah ada kemungkinan sumber dana partai politik berasal dari para perusak lingkungan?

Khalisa Khalid: Itulah yang kami lihat. Bahwa salah satu alasan persoalan lingkungan hidup tidak pernah bisa disuarakan karena pelakunya justru ada di dalam anggota parlemen. Bisnis mereka luar biasa di industri-industri yang memang menyumbang kerusakan lingkungan luar biasa, hingga mencapai 50%. Karena itu bagaimana mereka mau menyelesaikan persoalan lingkungan kalau mereka menjadi bagian dari pelaku perusak lingkungan.

Terlebih saat para pelaku mencalonkan diri. Dengan kata lain, masyarakatlah yang harus kritis dan cerdas sebagai pemilih. Suara kita sangat mempengaruhi masa depan lingkungan dan masa depan bangsa ini. Jangan memilih calon pemimpin, baik di DPRD, DPR, maupun presiden, yang tidak memiliki komitmen terhadap penyelamatan lingkungan.

Hal yang perlu diingat oleh masyarakat bahwa isu lingkungan hidup bukanlah satu isu terpisah dan berdiri sendiri. Isu lingkungan merupakan isu yang saling terintegrasi dengan isu-isu lainnya. Jangan langsung percaya dengan janji calon pemimpin atau wakil rakyat yang akan membuat program menanam pohon. Faktanya, bisa saja selama menjabat sebagai anggota DPR atau DPRD, mereka justru mempermudah jalan pemerintah daerah yang mengeluarkan izin kemudian menyebabkan bencana ekologis.

Tanya: Menurut Anda, apa yang dapat masyarakat harapkan dari para anggota parlemen ataupun calon pemimpin?

Khalisa Khalid: Menurut saya, ada banyak hal yang dapat masyarakat harapkan mengingat begitu besarnya wewenang yang mereka miliki sebagai anggota DPR. Yang menjadi permasalahan, apakah para anggota parlemen atau calon pemimpin memahami sepenuhnya fungsi, peran, dan tugas mereka.

Bila mereka tidak melakukan pengawasan, maka mereka melakukan pembiaran dan bisa jadi DPD memiliki keterbatasan wewenang. Hal ini lah yang perlu kita dorong agar DPD memiliki wewenang yang lebih baik dan lebih besar dari DPR. Menurut saya, DPR sudah memiliki wewenang yang sangat banyak, bahkan otoritas untuk melakukan proper test pada calon-calon komisioner ada di DPR.

Nelayan di Banten ketika menolak tambang pasir laut di depan Kantor Bupati Serang pada Januari 2012. Masyarakat menjadi yang paling rentan ketika terjadi eksploitasi. Foto: Jatam

Tanya: Bagaimana dengan anggota parlemen di daerah, adakah usaha yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan lingkungan Indonesia agar tidak makin hancur?

Khalisa Khalid: Lembaga eksekutif sebenarnya lebih memiliki kekuatan karena mereka bisa mengeluarkan izin yang dapat merusak lingkungan. Meski saat ini mereka melakukan kesalahan karena telah mengeluarkan izin, tetapi saya dan juga masyarakat lain tentu berharap adanya kesadaran dari anggota parlemen daerah.

Di saat seperti ini, bupati atau walikota dapat memanfaatkannya untuk menegakkan hukum di wilayah sekitar. Menolak kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan, mengkaji ulang izin-izin yang telah diberikan, dan segera mencabutnya bila ada kesalahan. Namun hal ini tidak dilakukan oleh bupati atau walikota, sehingga salah satu kendala dan tantangan besar bagi kita ialah banyak kepala daerah yang takut dengan korporasi.

Padahal kalau bupati atau walikota memiliki keberanian, maka akan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Karena saat ini publik sudah cukup mengetahui dan memahami isu-isu lingkungan dan memiliki kepedulian juga terhadap sektor lingkungan.

Banyak sekali komunitas yang sudah melakukan berbagai inisiatif penyelamatan lingkungan. Hal tersebut bisa menjadi modal bagi pejabat publik dan pemerintah daerah untuk mulai membangun komitmen mereka terhadap isu-isu lingkungan.

Tanya: Jadi poin utamanya adalah jangan takut untuk melarang dan menegakkan hukum?

Khalisa Khalid: Iya. Bila ada korporasi yang melakukan kesalahan harus segera melakukan penegakkan hukum. Sedangkan bagi masyarakat, yang harus dilakukan ialah pemberian edukasi. Mengedukasi masyarakat bahwa mereka memiliki kekuatan untuk memulihkan dan bersama-sama memperjuangkan lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,