, , ,

Soal Penetapan Hutan Adat: Pusat versus Daerah?

Pada 2 Oktober 2014, ratusan orang berkumpul di Hotel Royal Kuningan, Jakarta. Ada perwakilan masyarakat adat, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), pemerintah daerah dari  gubernur sampai bupati, para organisasi masyarakat sipil dan peneliti. Mereka mengadakan dialog nasional mengenai penetapan wilayah adat. Ada 13 lokasi yang dipilih menjadi model penetapan wilayah adat dengan beragam kondisi.

Perkumpulan HuMa bersama berbagai organisasi daerah mengadakan kegiatan ini,  guna mendorong implementasi putusan Mahkamah Konstitusi No 35 yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara. Dari dialog itu, muncul beragam masukan,  sampai unek-unek terkait penetapan hutan adat ini.

Achmad Sodiki, mantan hakim konstitusi  mengatakan, pemulihan hak masyarakat adat merupakan masalah multi aspek, hingga penyelesaian perlu berbagai dengan pertimbangan dan melibatkan banyak pihak. “Melibatkan masyarakat adat, Kementerian Kehutanan, BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, sampai swasta,” katanya dalam diskusi itu.

Hutan adat, katanya, ada yang masih utuh dan yang terbebani izin-izin seperti hak guna usaha. “Apakah lahan HGU akan dihutankan kembali atau tidak, ujung keputusan seharusnya tak merugikan masyarakat  adat. Atau setidaknya, hutan adat yang hilang bisa dikompensasi dengan adil.”

Hal serupa,  kala hutan hutan negara yang dikembalikan ke adat, tidak serta merta beralih fungsi. “Masyarakat adat bisa mengambil manfaat dari hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan,”  ucap Sodiki.

Dari Kemenhut menegaskan, penetapan hutan adat itu daerah. San Afri Awang, kepala Litbang Kemenhut mengatakan, MK 35 keputusan paling tinggi yang tak boleh ditentang siapapun. Dia menekankan agar pemerintah daerah aktif dan progresif membuat perda. “Ketika pemda diminta buat perda, jangan tunggu apa-apa lagi. Pemda segera buat perda.”

Pemerintah pusat, katanya, tak dalam kapasitas menolak itu. “Kita hanya dalam tugas jalankan MK 35.”

Hutan di Demaisi, Pengunungan Arfak, Papua Barat, terjaga, sumber air bersih warga pun terjaga. Masyarakat memiliki tata cara sendiri dalam mengelola hutan secara turun menurun. Foto: Duma T Sanda

Tak jauh beda diungkapkan Basuki Karya Admaja, staf ahli Menteri Kehutanan bidang Keamanan Hutan. Menurut dia, Kemenhut telah mengambil langkah-langkah setelah putusan MK 35 keluar. Salah satu surat edaran menteri ke berbagai daerah menyampaikan kepada bupati dan walikota agar mendata kemungkinan  masyarakat adat di daerah mereka. Juga meminta daerah segera terbitkan peta masyarakat adat.

Saat ini, katanya, Kemenhut berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum, BPN, Kementerian Dalam Negeri guna percepatan implementasi putusan MK ini.

“Kami perlu bersama-sama, karena masalah tanah ini kan kompleks. Misal, kalau ada usulan hutan adat, dibahas bagaimana kaitan dengan tata ruang ke Kementerian PU, tentang bagaimana status tanah BPN–Kemenhut.”

Tanggapan dari daerah beragam. Ada yang sudah mulai penyusunan perda dan ada yang mengeluhkan karena desentralisasi era otonomi masih setengah hati terutama  terkait hutan adat/wilayah adat. Walaupun nanti sudah ada perda pengakuan masyarakat adat, untuk penetapan wilayah (hutan) tetap perlu persetujuan pemerintah pusat kala terkait kawasan hutan.

Junaidi Hamsyah, Gubernur Bengkulu membeberkan kondisi di provinsi itu, sekitar 46% lebih kawasan berstatus hutan lindung dan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukti Barisan Selatan. Di sana, katanya, banyak desa tertinggal bersentuhan langsung dengan hutan lindung, taman nasional, maupun cagar alam.  Namun, daerah tak bisa berbuat banyak karena kawasan hutan itu sebagian besar di bawah kewenangan Kemenhut.

Selama ini, ujar dia,  masyarakat adat sulit mendapatkan akses ke kawasan-kawasan hutan itu. “Mereka bukan merusak hutan. Justru investor yang datang ini yang merusak hutan, berkat izin Kemenhut. Pas kita mau bangun jalan susaaaah benar. Pas investor masuk mau ambil batubara, gampang….,” katanya.

Dia mengatakan, penyebab kerusakan hutan itu pengusaha dan berdampak kerugian ganda bagi daerah. Yakni, hutan rusak dan masyarakat sekitar hutan makin miskin. Dia tak sepaham jika ada anggapan warga sebagai perusak hutan.

“Seluas-luasnya masyarakat desa tebang paling satu sampai 10 hektar. Di Bengkulu, tak sampai lebih lima hektar. Kalau investor? Kadang-kadang kontribusi pada daerah tak ada.  Hutan rusak, masyarakat makin miskin. Dana CSR irit-irit, jalan rusak tak diperbaiki. Lalu apa yang bisa dihasilkan daerah? Regulasi pusat itu tak bisa untungkan daerah.”

Junaidi juga mengkritisi pelaksanaan desentralisasi setengah hati hingga daerah tak bisa memutuskan penuh, salah satu terkait hutan adat. “Pengakuan hukum adat, pengakuan bersyarat. Ayam dilepas, kaki diikat. Bungkus desentraliasi, tapi otonomi tak sepenuhnya demikian.” Menurut dia, desentralisasi itu seharusnya, penyerahan kekuasaan kepada daerah sesuai karakteristik daerah.

Bahkan, katanya, tak jarang kebijakan pusat malah merusak tatanan di daerah. Dia mencontohkan, aturan mengenai desa dulu, malah menghancurkan struktur yang ada di daerah. “Di Bengkulu ada marga, yang tatanan lebih harmonis. Ketika UU yang mengatur desa, mulai muncul perselisihan. Kadang-kadang kepala desa tak mengerti adat bahkan merusak adat. Kalau dulu kepala desa merangkap kepala marga.”

Untuk itu, katanya, perlu kesepahaman bersama agar mampu bersinergi dalam pengakuan hak masyarakat adat.

Di Bengkulu, kata Junaidi, guna percepatan penetapan hutan adat ini, mereka telah menandatangani kesepakatan dengan Yayasan Akar dan Perkumpulan HuMa yang disaksikan kepala desa dan tokoh adat beberapa bulan lalu.

M Shadiq Pasadigoe, Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat, mengatakan, putusan MK 35 merupakan putusan penting karena mengubah pemahaman klasik Indonesia tentang hutan kawasan hutan dan posisi hutan adat.

Hutan, katanya, bagian kehidupan masyarakat adat dan menopang keseharian mereka sekaligus titipan bagi generasi mendatang. “Hutan adat kekayaan penting bagi masyarakat adat dalam menjamin kesejahteraan hidup.  Kami sangat mendukung pengakuan eksistensi masyarakat adat dengan menetapkan status hutan adat.”

Di Indonesia, kata Shadiq, antara satu UU dengan yang lain, bisa saling bertentangan. Jadi, mesti bisa mengambil sikap sesuai kondisi daerah. “Sekarang, di negera ini UU saling bertentangan. Kalo tak direspon tak akan ditanggapi dan akan tambah permasalahan banyak.”

Untuk itu, di Tanah Datar, yang memiliki luas 133.600 hektar dengan 70%  lebih penduduk di sektor pertanian, telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Yakni, lewat Perda No 4 Tahun 2008 mengenai Nagari. Nagari itu, katanya, kesatuan masyarakat adat yang memiliki batas-batas tertentu. “Berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, basandi kitabullah. Atau berdasarkan asal usul dan adat Minangkabau yang diakui dan dihormati.”

Dia berharap, pertemuan multi pihak seperti ini bisa lebih sering agar masalah dengan Kemenhut dapat selesai dengan baik. “Agar keberadaan hutan bisa dimanfaatkan buat kesejahteraan masyarakat.”

Sarjani Abdullah, Bupati Pidie, Aceh, mengatakan,  pengelolaan hutan adat secara berkelanjutan sangat perlu karena kehidupan masyarakat sangat tergantung pada kemurahan hati alam sekitar. “Dari sawah, kebun, sungai dan laut dan lain-lain.”

Kini, katanya, masyarakat adat belum dapat mengelola alam dengan bebas. Dulu, Aceh dilanda konflik dan bencana alam tsunami membuat masyarakat adat tertindas secara sosial, politis dan ekonomis. “Belum lagi, pengelolaan sumber daya alam yang tak berpihak pada masyarakat adat. Banyak pengusaha tebang  hutan. Hutan perlu diselamatkan. Mudah-mudahan, bagaimana hutan digunakan sebaik-baiknya bagi masyarakat.”

Di Pidie, katanya,  antara satu daerah dengan daerah lain tak sama. “Jadi mereka mempunyai aturan adat sendiri terkait kearifan mereka dalam memperlakukan hutan termasuk pembagian ruang tata kelola.”

Yang jelas, katanya, manfaat hutan bagi masyarakat adat itu begitu besar, antara lain, sebagai sumber air, mencegah tanah longsor dan menjaga keberlangsungan hidup.  “Aspek ekonomi hutan sebagai sumber mata pencarian mereka. Ada rotan, madu, damar, kayu dan sesekali berburu. Aspek sosial,  hutan juga sumber obat-obatan herbal dan spiritual serta lain-lain.” 

Sumber air terjaga baik. Sungai di komunias adat Taa-Wana, Sulteng, jernih dan menjadi sumber air bagi warga sekitar. Baik buat keperluan sehari-hari maupun irigasi pertanian bagi warga sekitar, terutama yang berada di hilir. Foto: perkumpulan HuMA
Sumber air terjaga baik. Sungai di komunias adat Taa-Wana, Sulteng, jernih dan menjadi sumber air bagi warga sekitar. Baik buat keperluan sehari-hari maupun irigasi pertanian bagi warga sekitar, terutama yang berada di hilir. Foto: perkumpulan HuMA

Kebaikan percepatan hutan adat

Chalid Muhammad, ketua Board Perkumpulan HuMa mengatakan, ada berbagai kebaikan kala percepatan hutan adat terlaksana.  Pertama, negara melunasi utang konstitusi  karena hak hutan adat adalah hak konstitusional yang sudah 40 tahun diingkari negara. “Negara wajib penuhi hak itu. Pengingkaran adalah kejahatan terberat.”

Kedua, bila hutan adat terealisasi, akan manjadi koreksi terhadap salah kelola hutan yang berlangsung sejak lama, sejak UU Kehutanan Tahun 1967. “Pengelolaan hutan sudah berada di jalur salah. Konflik terjadi di banyak tempat. Hampir 33.000 desa bersentuhan di kawasan hutan dan sebagian besar konflik. Hingga percepatan pengukuhan hutana adat jadi satu instrumen penting terhadap perbaikan salah kelola itu.”

Ketiga, jika hutan adat segera, akan terjadi upaya sistematis pemulihan hutan. Pemerintah, katanya, bisa memberikan insentif buat pemulihan ini. Selama ini, urusan pemulihan hutan ke korporasi. “Hasilnya gagal.” Untuk itu, penting masyarakat adat menjadi aktor utama pemulihan kawasan hutan. “Jika 5 juta hektar berikan pengelolaan pada masyarakat adat dengan insentif, dengan mekanisme tanggung jawab dan terhindar korupsi, maka hutan-hutan itu akan segera pulih.”

Keempat, penetapan hutan adat ini akan menjadi pintu masuk guna menyelesaikan konflik-konflik tenurial yang terjadi. Dengan hutan adat, katanya, akan mendorong perbaikan dan keadilan agraria. Kelima, pemerintah harus segera memulihkan nama baik masyarakat adat pada korban kriminalisasi. “Sejak UU Kehutanan, banyak masyarakat adat dipenjarakan dan lain-lain. Kalau ingin wujudkan keadilan agraria pulihkan nama baik mereka. Kalau gak, mereka akan dikenal dengan masyarakat yang lakukan kejahatan,” katanya,

Keenam, hutan adat akan mampu berkontribusi untuk pencapaian tujuh persen pertumbuhan ekonomi. Selama ini, katanya, pertumbuhan ekonomi diletakkan kepada korporasi. “Kalau 33.000 desa didekatkan dengan pasar dan modal, maka akan sejahtera. Kalau sejahtera,  tujuh persen target Presiden Jokowi akan tercapai. Asal kekuatan tak lagi pengusaha tapi masyarakat adat.”

Ketujuh, penetapan hutan adat sebagai wjud dari kesiapsiagaan dalam perubahan iklim dan bencana ekologi. “Mengapa restorasi selama ini diberikan kepada pengusaha? Mengapa gak ke masyarakat adat? Jangan ke LSM atau pengusaha. Didorong ke arah sana. Insya Allah, hutan akan selamat dan negara makin jaya.”

Hutan adat Delang, Kalteng, tampak lebat yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar dengam beragam sumber makanan dan mata pencarian. Mudah-mudahan kehidupan masyarakat dan alam ini tetap terjaga dan pemerintah menyadari kesalahan karena telah mengeluarkan izin di kawasan kelola rakyat. Foto: Indra Nugraha
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,