,

Protes Lewat Ritual Adat, Warga Kaltim Malah Terjerat Hukum

Protes klaim lahan oleh perusahaan tambang PT Kodeco Jaya Agung (Kideco), warga adat Paser melakukan ritual Belian. Anehnya, ahli waris pemilik lahan, Norhayati, malah terjerat hukum, dan kini menjalani proses persidangan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim memprotes keras kriminalisasi ritual adat Belian oleh Kideco lewat laporan ke Polda Kaltim.

Persoalan bermula dari 2009, saat Kideco land clearing di lahan masyarakat Desa Songka, Kecamatan Batu Sopang, Kabupaten Paser. Lahan 598 hektar itu ada dalam penguasaan Norhayati sebagai ahli waris dengan bukti surat segel tertanda 1957.

Ambriansyah, Tetua Adat Paser menceritakan,  warga berkali-kali protes dan dialog dengan Kideco mempertanyakan penyerobotan tanah itu. Namun, tidak pernah ada kesepakatan. Kideco tetap membuka lahan. “Upacara Belian langkah akhir masyarakat adat menyelesaikan persoalan ini,” katanya.

Ritual adat Belian mulai 16 Juni 2014 selama lima hari di lahan sengketa. Upacara Belian bentuk tolak bala karena lahan dirampas dan dibuka hingga merusak keseimbangan ekologis.

“Pada waktu ritual itu semua baik-baik saja. Kepolisian Paser datang dan tidak melarang, Wakil Bupati juga hadir dan berjanji membentuk tim membantu penyelesaian masalah.”

Warga menunggu terbentuk tim yang dijanjikan wakil bupati, namun yang datang justru surat kepolisian atas laporan Kideco. Norhayati dianggap menganggu pertambangan karena upacara Belian bersama warga di wilayah tambang Kideco.

Sidang mulai November 2014, Norhayati didakwa pasal 162 UU Minerba No. 4 2009. Norhayati, ahli waris lain dan masyarakat adat Paser dianggap merintangi usaha pertambangan Kideco.

Bayu Saputra Laden, Koordinator Divisi Hukum Jatam Kaltim, mengatakan, Pasal 162 UU Minerba yang berpotensi dan kerap dipakai mengkriminalisasi warga. Padahal, katanya, perusahaan sudah melanggar sejumlah UU. Dia menyebut, mulai Pasal 6 UU Hak Asasi Manusia, sampai Pasal 135 dan 136 UU Minerba, yang menyatakan, setiap perusahaan tambang harus menyelesaikan hak atas tanah sebelum kegiatan.

Lukai hati masyarakat adat

Margaretha Seting Beraan, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Kaltim menyatakan, kriminalisasi warga masyarakat adat Paser oleh Kideco adalah ketidakhormatan terhadap masyarakat adat.

“Sebagai perusahaan internasional, Kideco juga melanggar peraturan internasional yang mengakui hak-hak masyarakat adat untuk mengontrol, menjaga dan mengembangkan warisan budaya.”

Kideco adalah perusahaan Korea Selatan, produsen batubara terbesar di Indonesia. Ia mendapat izin PKP2B dari pemerintah pusat baru berakhir 2022. Setiap tahun perusahaan ini mengeruk sekitar 40 juta ton batubara dari bumi Paser dan berusaha menambah jumlah produksi.

“Tindakan Kideco menghina masyarakat adat karena menuduh upacara adat Belian sebagai kejahatan. Ini membuat masyarakat adat terhina dan tak bisa dipersalahkan jika marah besar,” kata Seting.

Merah Johansyah, Dinamisator Jatam Kaltim menyesalkan tindakan Polda Kaltim tergesa-gesa dan tidak berkoordinasi dengan Polres Paser menetapkan Norhyati sebagai tersangka.

Merah menyebutkan, sebelum ini, Kideco pernah memperkarakan Norhayati secara perdata terkait keabsahan kepemilikan lahan. Sidang 30 Mei 2013, lewat keputusan nomor 23/Pdt.G/2012/PN.TG, majelis hakim menolak gugatan Kideco dan menerima sebagian eksepsi Noorhayati. “Jadi secara hukum, Kideco tidak bisa mengklaim lahan itu milik mereka.”

Merah menambahkan, izin Kideco hanya memberikan hak atas mineral bukan lahan. “Jadi perusahaan harus memperoleh izin atau membuat kesepakatan dengan masyarakat yang menguasai lahan itu. Tanpa persetujuan masyarakat operasi tambang itu ilegal,” kata Merah.

Kriminalisasi warga kala mengadakan ritual Belian ini dinilai melecehkan hak-hak masyarakat adat dan kebudayaan.“Sengketa tanah soal biasa di Kaltim, namun menuduh upacara Belian sebagai menganggu pertambangan baru pertama kali terjadi. Penegak hukum merespon dengan menetapkan ahli waris sebagai tersangka. Ini preseden buruk.”

Peradilan adat

Pada Senin (23/2/15), warga adat Paser melawan Kideco dengan menggelar peradilan adat di Grand Sadurengas, Grogot, Paser, pukul 14.00. Ini kali pertama peradilan adat digelar terhadap perusahaan tambang karena dinilai menghina dan melecehkan ritual adat Belian Paser.

Ambriansyah dalam siaran kepada media mengatakan, masyarakat adat juga punya hukum sendiri. “Jika Kideco menunggangi hukum negara, sekaligus ini jadi pembelajaran kepada masyarakat adat lain jika ada penindasan harus dilawan.”

Pada sidang 18 Februari lalu, sidang lanjutan Norhayati. Ratusan masyarakat adat Paser berhimpun dari berbagai organisasi seperti Paser Bekeray dan AMAN, aksi di Pengadilan Negeri Paser, Tana Grogot. Sekitar 70 personil kepolisian berjaga. Mereka juga mendatangi dan menduduki kantor Kideco sekitar 11 jam. Ratusan warga menggunakan pakaian adat pontun, mandau dan atribut adat tampak di teras hingga ruang pertemuan.

Ditempat terpisah, Minggu, (22/2/15), Baharuddin Demo, anggota Komisi III DPRD Kaltim menyayangkan respon komisi lambat atas persoalan tambang antara Kideco dengan warga.

“Ketua komisi III pernah menyatakan akan mengundang Jatam, tapi sampai sekarang tidak pernah. Persoalan ini berlarut, lembaga perwakilan rakyat seharusnya merespon persoalan ini,” kata Baharuddin.

Komisi III, katanya,  harus bisa menjembatani persoalan ini, misal melalui pertemuan antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah. “Persoalan ini harus diselesaikan dengan bijaksana, bukan mengkriminalisasikan acara adat sebagai kejahatan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,