,

Jalur Kembar Menuju Pintu Hutan Adat

Proses penetapan kawasan hutan adat seperti sedang berada di persimpangan jalan. Regulasi yang terbit silih berganti, tak jua mampu menjawab sejumlah persoalan yang berseliweran di tengah-tengah kehidupan masyarakat adat. Sementara laju investasi, bak tsunami datang menyapu ruang kelola masyarakat adat.

Adalah Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan yang melontarkan persoalan itu, dalam sebuah ruang diskusi antara jurnalis dengan NGO di Pontianak, Jumat (10/7/2015). Yayasan Perspektif Baru yang memelopori gawai bulanan itu. “Proses penetapan hutan adat di Kalbar memang sedang terbentur regulasi,” katanya.

Tidak heran jika sejumlah wilayah dampingan CSO (civil society organization) di Kalimantan Barat, terkadang merayap setengah hati lantaran carut-marut tata aturan yang ada. Kementerian Dalam Negeri RI, punya aturan sendiri lewat Permendagri No 52/2014 tentang Panitia Penetapan Masyarakat Hukum Adat.

Di sisi lain, Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI juga punya aturan sendiri melalui IP4T (Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah) melalui Sertifikasi Komunal. Selanjutnya, Kementerian Kehutanan juga punya aturan sendiri terkait Permenhut Wilayah Hak Ulayat. Pertanyaannya, siapa yang berhak menetapkan sebuah kawasan hutan adat?

Inilah dasar kegundahan Laili dalam proses penetapan hutan adat di Kalimantan Barat. “Siapa, atau lembaga mana sebenarnya yang boleh menetapkan hutan adat. Apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah,” ucapnya.

Menurutnya, inilah persoalan yang terjadi di Tayan Hilir. Ketika lembaga pendamping mencoba mengusulkan kepada pemerintah Kabupaten Sanggau, bupati lebih mendorong ke sertifikat komunal saja. “Kalau ini yang terjadi, berarti acuannya lebih condong ke agraria dan tata ruang.”

Lebih jauh Laili menjelaskan, jika sudah ada Perda Masyarakat Hukum Adat di suatu wilayah, secara otomatis hutan adatnya bisa ditetapkan. Tetapi untuk Kalimantan Barat hingga kini belum ada aturan yang secara khusus soal masyarakat adat.

“Paling memungkinkan sekarang adalah SK Bupati untuk mengantisipasi agar wilayah yang diusulkan ini tidak ada ancaman lagi. Tinggal menanti keberanian pemerintah daerah untuk melakukannya,” ucap Laili.

Musyawarah di rumah panjang (betang) adalah salah satu tradisi bagi masyarakat adat Sungai Utik dalam menyelesaikan berbagai perkara. Foto: Andi Fachrizal
Musyawarah di rumah panjang (betang) adalah salah satu tradisi bagi masyarakat adat Sungai Utik dalam menyelesaikan berbagai perkara. Foto: Andi Fachrizal

Agustinus dari Lembaga Bela Banua Talino merasakan hal yang sama di wilayah dampingannya. “Proses penetapan kawasan hutan adat ini memang tak semudah yang kita bayangkan. Jalannya cukup panjang dan berliku. Hal yang paling krusial untuk dicermati adalah status kawasan,” katanya.

Dia mencontohkan di wilayah dampingannya di Kabupaten Sekadau. Di sana status kawasan adalah APL (areal penggunaan lain), sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah kabupaten untuk tidak mengakuinya. Sehingga, terobosan hukum yang digunakan adalah surat keputusan bupati. “Kita masih tagih terus bupatinya sampai SK itu terbit sebelum masa bakti bupati berakhir 18 Agustus mendatang,” katanya.

Hal di atas menurut Agustinus berbanding terbalik dengan wilayah kelola masyarakat yang berstatus hutan atau hutan lindung. Sebab, dengan status kawasan demikian, pemerintah kabupaten tidak punya kewenangan untuk mengubah menjadi hutan adat.

“Kalau pun bisa melalui SK Bupati, persoalannya kemudian adalah siapa yang memiliki kewenangan untuk mengontrol. Belum lagi soal kekuasaan kelembagaan adatnya seperti apa. Aksesnya bagaimana? Tantangan itulah yang perlu dijawab dalam kesepakatan bersama di antara masyarakat adat,” urai Agustinus.

Harapan baru lewat RTRWP Kalimantan Barat

Peneliti Swandiri Institute, Arif Munandar mengatakan masih ada harapan untuk membantu masyarakat untuk mendorong penetapan kawasan hutan adat. Salah satu pintu masuknya adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Kalimantan Barat.

Menurut Arif, dalam RTRWP Kalimantan Barat, semua ketentuan yang diusulkan oleh 32 lembaga di Kalimantan Barat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang yang Adil dan Berkelanjutan itu terakomodasi dengan baik. “Semua skema, mulai dari hutan adat, hutan desa, hingga hutan sosial. Termasuk wilayah pertanian,” katanya.

Ini bisa menjadi kekuatan baru untuk segera mendorong di tingkat daerah, bagaimana penetapan hutan adat itu bisa dilakukan, minimal melalui SK Bupati. RTRWP itu sudah bisa jadi landasan hukum karena sudah disahkan oleh  Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan direkognisi oleh Menteri LHK.

Oleh karenanya, kata Arif, jika langkah tersebut yang ditempuh maka tidak perlu menunggu proses Perda Pengakuan Masyarakat Hutan Adat. “Itu pasti lama, sementara industri terus berjalan mengeruk sumberdaya alam. Ujung-ujungnya kawasan hutan adat juga habis,” ucapnya.

Potensi sumber daya alam di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, kerapkali menjadi pemicu konflik ruang kelola antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang konsesi. Foto: Andi Fachrizal
Potensi sumber daya alam di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, kerapkali menjadi pemicu konflik ruang kelola antara masyarakat adat dengan perusahaan pemegang konsesi. Foto: Andi Fachrizal
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,