,

Nasib Dua Jenis Badak Ini Memang Mengkhawatirkan

Nasib badak memang tidak semujur tubuhnya yang besar. Satwa yang diperkirakan telah bermukim di bumi sejak 60 juta tahun silam ini awalnya berjumlah 30 jenis. Kini, perlahan dan pasti, jumlah yang tersisa di dunia hanya 5 spesies yang 2 jenisnya ada di Indonesia.   

Badak merupakan satwa berkuku ganjil (Perrisodactyla) yang masuk dalam anggota super-famili Rhinoceratoidea, keluarga super yang menghimpun seluruh spesies badak termasuk seluruh fosil keluarganya. Bila dirunut, badak berasal dari rumpun Hyracodontidae (badak yang suka berlari) dari zaman Eocene hingga keberadaannya melimpah di zaman Oligocene yang ditandai dengan berbagai jenisnya.

Ciri istimewa lainnya adalah badak memiliki pertulangan yang hampir menyerupai gajah yaitu memiliki sistem tulang belakang dengan neural spines yang panjang dengan tulang rusuk yang banyak. Secara bersama, tulang tersebut membentuk satu ikatan pemikul beban yang bertumpu pada bahu depan sebagai pengimbang beban kepalanya yang berat. Uniknya, semua jenis badak yang ada saat ini memiliki tiga jari pada kaki-kakinya, sebagai hal yang membedakan dengan pendahulunya dengan empat jari pada kaki-kakinya.

Seiring evolusi dan kepunahannya, kini, badak tersisa di dunia hanya 5 jenis yang persebarannya hanya di Benua Afrika (2 jenis) dan Asia (3 jenis). Jenis tersebut adalah badak india (Rhinoceros unicornis), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan dua badak di Afrika yaitu badak hitam (Diceros bicornis) dan badak putih (Ceratotherium simum).

Khusus badak sumatera dan badak jawa, kedua jenis ini memang hanya ada di Indonesia. Meski tergolong langka dan terancam punah namun nasibnya sudah diujung tanduk. Ini terlihat dari jumlahnya yang sedikit dan habitatnya yang terus terusik.

Rosa, badak sumatera betina di penangkaran SRS-TNWK. Foto: Haerudin R. Sadjudin/ YABI-TFCA-Sumatra

Badak sumatera

Badak bercula dua ini posturnya paling kecil bila dibandingkan dengan jenis badak lainnya, tingginya sekitar 120 cm-135 cm dengan panjang tubuh 240-270 cm. Pemberian nama Dicerorhinus sumatrensis oleh Fischer pada 1814 dianggap paling tepat yang hingga kini tetap dipertahankan meskipun pernah juga diberikan nama berbeda seperti Ceratorhinus sumatrensis (sumatranus) maupun Rhinoceros lasioti.

Widodo S. Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI) menyatakan, populasi badak sumatera saat ini cenderung menurun. Bila tahun 1993 jumlahnya diperkirakan sekitar 200 individu, saat ini susut menjadi 100 individu. Keberadaan badak ini tersebar di Taman Nasional gunung Leuser, Bukit Barisan Selatan, Way Kambas, hingga di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sedangkan di Kerinci Seblat, diperkirakan sudah tidak ada lagi. “Sejak para ahli menyatakan badak sumatera yang ada di hutan Malaysia punah, Agustus 2015 ini, praktis keberlanjutan hidup badak tersisa bergantung pada keberhasilan dan upaya konservasi kita semua,” ujarnya saat gelaran World Rhino Day di Jakarta, Minggu (27/9/15).

Menurut Widodo, populasi besar badak sumatera sekarang terbatas, sekitar 30-35 individu. Sisanya, sangat sedikit sekali. Sehingga, semakin kecil populasi badak semakin rentan pula menuju kepunahan. Habitat badak yang tergerus akibat perambahan hutan dan pembalakan liar turut mempercepat proses kepunahan. “Ini juga ditambah dengan adanya tumbuhan spesies yang sifatnya mengganggu tanaman pakan badak. Misalnya, di Bukit Barisan Selatan ada tanaman merambat dari keluarga ubi jalar sedangkan di Way Kambas, bahaya muncul dari tanaman kayu putih yang menutupi padang rumput.”

Agar kelestarian badak sumatera terjaga, lanjutnya, upaya utama yang harus dilakukan  adalah menjaga keberadaan badak agar aman dari berbagai ancaman. Terlebih perburuan. Langkah berikutnya, bila memungkinkan mengembalikan kembali populasi badak seperti sediakala. “Ini juga kalau bisa.”

Terkait keberadaan badak sumatera dengan populasi kecil, sekitar 8 individu yang teridentifikasi di Kalimantan Timur, Widodo menuturkan, bila dibiarkan, badak tersebut tidak akan selamat. Pertolongan pertama yang harus dilakukan adalah melakukan agregasi agar badak-badak itu lebih sering bertemu untuk berbiak. “Badak sumatera tidak mudah untuk breeding, dalam satu periode estrous antara 20-25 hari hanya ada 4 hari badak betina mau didatangi badak jantan. Untuk itu, populasi badak yang berjumlah besar harus dilindungi sedangkan populasi kecilnya harus dipersatukan.”

Badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera, TN Way Kambas. Foto: International Rhino Foundation

Senada, Haerudin R. Sadjudin, ahli badak yang telah berkecimpung empat dasawarsa dalam program konservasi badak di Indonesia menuturkan, kondisi badak sumatera memang sangat mengkhawatirkan. Ini ditandai dengan jumlahnya yang hanya 100 individu dan berada di empat tempat berbeda. “Tahun 1980-an, sebarannya masih ada di Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Tahun 1990 hingga 2000-an, masih terlihat juga di Sabah dan Serawak, Malaysia. Kini, badak sumatera tersisa hanya ada di Indonesia yang diharapkan dapat dijaga dan dikembangkan populasinya.”

Terkait populasi badak sumatera yang ada di Kalimantan, Haerudin menuturkan, bila dilihat dari catatan zoogeography, persebaran badak dari Sumatera, Semenajung Malaysia, dan Kalimantan, menunjukkan badak merupakan satwa yang berada di bagian Oriental. Awalnya, disatukan dengan Sunda Land. Saat badak sumatera masih tersebar di Tiongkok, India, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaysia, termasuk Kalimantan dan Sumatera, badak ini diklasifikasikan dalam tiga subjenis berdasarkan persebarannya.

Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis berada di Sumatera, Malaysia, dan Thailand. Dicerorhinus sumatrensis harrissoni wilayah Kalimantan. Sementara Dicerorhinus sumatrensis lasiotis tersebar mulai dari Myanmar bagian utara hingga Assam dan Pakistan bagian timur. “Artinya, bukan badak sumatera yang ada di Sumatera “merantau” ke Kalimantan atau Malaysia. Namun, semua itu disatukan tata namanya oleh Linnaeus (1786) yang mendapatkan spesimen awal badak dari Sumatera,” jelas Haerudin.

Badak jawa

Setali tiga uang, kondisi badak jawa juga memprihatinkan. Sejak dinyatakan punah di Vietnam pada 2010, saat ini badak jawa hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten. Berdasarkan catatan Balai TNUK 2015, jumlahnya diperkirakan sekitar 60 individu. Bila dilihat persebarannya dahulu, badak jawa berada di wilayah yang luas yaitu Bengal hingga Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Jawa.

Sunarto, Wildlife Specialist WWF-Indonesia menilai, populasi badak jawa saat ini masih stagnan sehingga perlu strategi untuk mengembangkan populasinya. Pengembangan populasi ini, nantinya tidak hanya untuk menambah jumlah saja melainkan juga untuk menyelamatkan mamalia besar ini dari kepunahan.

Strategi yang dimaksud adalah melalui ‘kloning” dengan individu lain, mengingat jumlah badak yang ada di Ujung Kulon sekitar 60 individu, termasuk dengan tiga kelahiran bayi badak juga. “Usaha dan upaya mengembangkan populasi badak dengan individu lain ini sayangnya menghadapi kendala ketersediaan habitat. Padahal, badak jawa akan lebih terancam bila populasinya hanya terdapat di satu wilayah saja. Apalagi, wilayah ini makin terancam,” ucapnya saat peringatan Hari Badak Internasional di Jakarta, belum lama ini.

Badak jawa yang berada di Sungai Cigenter, Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: Stephen Belcher/Dok BTNUK

Menurut Sunarto, WWF-Indonesia saat ini sedang melakukan survei habitat dengan melihat kesesuaian biofisik. Tentunya, ada beberapa faktor yang harus pertimbangan dalam penentuan habitat baru tersebut. Diantaranya, ketersediaan pakan, kubangan untuk reproduksi, biaya pemindahan, dan risiko pemindahan. “Sejumlah lokasi alternatif yang berada di sekitar TNUK merupakan prioritas untama konservasi badak jawa yang harus dilakukan.”

Selain strategi “kloning” dan penyediaan habitat alternatif, Sunarto juga menyebut, harapan lain untuk mengetahui populasi badak jawa melalui penggunaan kamera jebak. Kamera ini disebar dan dipasang di habitat badak. Data yang diperoleh dari jepretan itu diolah untuk mengembangkan peta persebaran atau jelajah individu badak yang dipantau. Tujuannya, untuk mempersiapkan individu yang akan dipindahkan.

“Data yang dikumpulkan dari kamera jebak tersebut seperti penampakan individu, wilayah jelajah, jenis kelamin, waktu kemunculan, dan keaktifan individu. Tentu saja untuk mendapatkan data-data ini jumlah dan kapasitas kamera jebak harus dioptimalkan. Saat ini, terdapat 120 kamera jebak di TNUK.”

Sunarto menambahkan, kamera jebak yang ada saat ini masih dioperasikan manual. Sehingga, harus dicek berkala, apalagi kamera masih terkendala dengan ketersediaan sumber daya (baterai). Jika bisa tersambung dengan solar panel dan nirkabel, tentu akan lebih memudahkan. Meski begitu, kamera yang ada ini masih bisa dioptimalkan fungsinya. Contohnya bisa memindai tingkah laku badak, hormon, atau jenis individunya.

Tatang Mitra Setia, pengajar di Fakultas Biologi Universitas Nasional menuturkan, badak sering disebut binatang pemalu terhadap manusia. Namun, badak bukan pemalu, tetapi karena penciumannya sangat sensitif terhadap manusia.

Tatang pun menjelaskan mengapa badak suka berendam dan berkubang di lumpur. Ini dikarenakan untuk melindungi dirinya, selain sebagai ajang pendekatan individu jantan dan betina. “Kubangan itu tempat “pedekate” mereka sebelum mereka melakukan perkawin.”

Persebaran badak jawa yang berada di TNUK saat ini masih dibatasi oleh ketersedian air, potensi pakan, kondisi tofografi, dan gangguan baik dari alam maupun manusia. Berdasarkan catatan penelitian, badak jawa terakhir yang hidup di Myanmar pada 1920, mati ditembak untuk koleksi British Museum. Sedangkan badak jawa yang berada di Sumatera, diperkirakan mulai punah pada pertengahan 1940-an.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,