,

Menanti Hasil Gugatan Rp7,9 Triliun kepada PT BMH

PT Bumi Mekar Hijau (BMH), pemasok Asia Pulp and Paper (APP), di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, kena gugat perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rp7,9 triliun atas kebakaran hutan 20.000 hektar. Sidang gugatan kepada perusahaan Sinar Mas Grup ini masih berjalan. Pada Selasa (3/11/15) akan ada sidang lanjutan. Berbagai kalangan berharap gugatan ini berhasil hingga bisa menunjukkan keseriusan pemerintah menindak perusahaan pembakar lahan.

Gugatan berawal dari data Modis yang menunjukkan, periode Februari-November 2014, terlihat kebakaran hutan di konsesi HTI BMH. Pada Februari ada tiga titik panas, Maret 2014 (3), April (1), Mei (3), Juni (3), Juli (2), Agustus (14 ), September (1.260), dan Oktober (591).

“Begitu turun lapangan, kondisi yang kita dapatkan bikin kaget,” kata Bambang Hero Saharjo, kala menjadi saksi ahli dari KLHK pada sidang gugatan perdata BMH, 11 Agustus lalu, di Pengadilan Negeri, Palembang.

Pada 22-23 Oktober 2014 dan 17 Desember 2014, Bambang Hero Saharjo, Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Institut Pertanian Bogor ke lapangan. Bersama Basuki Wasis, ahli Kerusakan Lahan IPB, beserta tim Bareskrim Polri dan tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mereka pengamatan dan verifikasi lokasi hotspot berdasarkan data satelit Modis.

“Kami mendatangi Distrik Simpang Tiga dan Distrik Sungai Beyuku I menjawab tiga hal. Apakah terjadi kebakaran lahan? Apakah kebakaran terjadi di lokasi lahan BMH? Apakah kebakaran mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian?” ujar Bambang.

Berdasarkan verifikasi lapangan, diketahui karyawan di Distrik Simpang Tiga ada 53 orang, memiliki pasukan pemadam kebakaran satu tim, anggota enam orang. Sarana prasarana pengendalian kebakaran minim, tidak ada menara pengawas api, papan peringatan sangat terbatas, alat pompa pemadaman Shibaura empat buah, pompa pemadam Tohatsu dua, minstriker dua, selang terbatas dan sudah tua. Ada gudang penyimpanan peralatan bersatu dengan ATK, bangunan gedung tidak begitu baik dan tidak memadai.“Bagaimana enam orang bisa memadamkan api seluas 20.000 hektar?”

Perusahaan juga tak punya indikator menunjukkan daerah rawan kebakaran yang harusnya menggunakan sistem komputerisasi. “Jadi bagaimana mengetahui daerah rawan kebakaran atau tidak? Hanya pakai perasaan, jadi dikira-kira saja. Papan penunjuk arah angin, jarum dari ranting akasia. Itu bikin kita kaget sekali.”

Di lapangan, Bambang menemukan tanda fisik bekas kebakaran, yaitu tanaman akasia terbakar tampak visual tak terlalu baik. Banyak gulma dan tumbuhan bawah di permukaan lahan tanaman. Bagian terluar tanaman terbakar di Distrik Simpang Tiga, tidak berbatasan langsung dengan perkampungan penduduk, jarak sekitar lima kilometer.

Pergerakan hotspot dari hari ke hari memastikan, upaya pengendalian kebakaran nyaris hampir tidak dilakukan BMH.

Terkait sarana prasarana pengendalian kebakaran, di Distrik Simpang Tiga tidak tersedia early warning system, early detection system, sistem komunikasi, peralatan pemadaman, serta personil pemadam tidak tersedia dalam jumlah cukup sesuai peruntukan. Alat transportasi dan akses jalan tidak memadai hingga pengendalian nyaris tidak dilakukan, akhirnya dibiarkan.

Senjaga membakar

“BMH sengaja membuka lahan dengan cara membakar,” simpul Bambang Hero dan Basuki Wasis dari sajian fakta lapangan.

Mereka menyebutkan, setiap peristiwa kebakaran lahan, tidak mungkin terjadi sendiri tanpa melibatkan tiga faktor, yaitu bahan bakar, oksigen dan didukung sumber penyulutan. Ketiga faktor ini, dikenal dengan nama segitiga api (fire triangle).

Kebakaran, selalu melewati proses yang disebut combustion processes melalui lima tahapan, yaitu pra-penyalaan, penyalaan, pemijaran, pembaraan, dan periode terakhir selesai terbakar karena tidak tersedia energi cukup.

Dalam perkara ini, terbukti sumber penyulutan dari dalam BMH. Kondisi ini dipastikan terdeteksi hotspot di areal BMH sejak Februari 2014. Api pertama ditemukan 26 September 2014 dan lahan bekas terbakar di Distrik Sungai Biyuku.

Di petak O-1240 ditemukan akasia terbakar sudah dipanen atau ditebang tetapi belum sempat ditarik keluar berdiameter berkisar 20-38 sentimeter.

“Melalui fakta ini, terbukti kebakaran di BMH dilakukan perusahaan untuk mendukung penyiapan lahan pembangunan hutan tanaman dengan biaya murah dan cara cepat.”

Dari analisis itu, kebakaran sama sekali tidak menimbulkan kerugian BMH, justru menguntungkan secara ekonomis. Dengan lahan terbakar, BMH tidak perlu mengeluarkan biaya membeli kapur untuk meningkatkan pH gambut dan biaya pengadaan pupuk dan pemupukan. Sebab, sudah terganti abu dan arang bekas kebakaran. Juga tak perlu beli pestisida untuk mencegah ancaman serangan hama dan penyakit.

BMH, juga diuntungkan karena akan memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta biaya lain apabila pembukaan lahan sesuai peraturan perundangan. Juga menguntungkan dari segi waktu karena proses “pembersihan” lahan menjadi lebih cepat hingga bisa segera ditanami.

Kebakaran di konsesi PT BMH. Foto: Lovina S
Kebakaran di konsesi PT BMH. Foto: Lovina S

Basuki Wasis menyimpulkan, telah terjadi kerusakan lahan gambut atau lahan basah akibat pembiaran kebakaran di lokasi BMH.

Mengacu Keppres 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih ditetapkan sebagai kawasan lindung. “Karena itu, perbuatan BMH melanggar hukum.”

Dampak kebakaran, katanya, yakni kematian flora, termasuk kawasan konservasi., hewan tanah, seperti jangkrik, binatang kecil serta populasi lain. “Kenapa bisa terbakar? Karena gambut kering. Kenapa gambut bisa kering? Karena canal. Jadi kami menyimpulkan kebakaran by design. Buktinya jalan-jalan di sekitar tidak ikut terbakar, lahan sudah dikelilingi kanal terlebih dahulu. Yang terbakar hanya lahan.”

Kerugian Rp7,9 triliun

Dari kebakaran itu, tanah gambut rusak hingga kehilangan fungsi sebagai penyimpan air. Untuk ini, BMH harus mengganti kerugian ekologis Rp 1,3 triliun, terdiri dari pembuatan reservoir, biaya pemeliharaan reservoir, pengaturan tata air, pengendalian erosi, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, dan pengurai limbah.

BMH juga harus membayar kerugian keragaman hayati dan sumber daya genetika hilang karena kebakaran, Rp62,2 miliar. Kerugian lain, terlepas karbon ke udara karena kebakaran, berupa biaya pemulihan akibat pelepasan karbon dan memulihkan daya rosot karbon Rp16,4 miliar.

Lalu kerugian ekonomis, biaya kehilangan umur pakai lahan selama 11 tahun Rp1,2 triliun. Upaya pemulihan lahan gambut rusak untuk pembelian, angkut, penyebaran, hingga pemulihan Rp5,2 triliun. Total biaya gugatan kepada BMH untuk mengganti biaya akibat kebakaran dan pemulihan lahan 20.000 hektar Rp7,9 triliun.

Harus serius

Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, mengatakan, gugatan BMH sebenarnya bisa menjadi pembuktian keseriusan pemerintah menjerat korporasi pembakar hutan. Dengan catatan, KLHK harus bersungguh-sungguh mengawal proses persidangan.

“Kami tak ingin pemerintah menghadirkan pembela yang hanya diam dan manggut-manggut di pengadilan tanpa berargumentasi. Kami ingin pengacara hingga saksi yang dihadirkan orang pilihan terbaik yang memiliki komitmen kuat membela secara total kepentingan bangsa,” katanya, beberapa waktu lalu.

KLHK menghadirkan saksi ahli, yakni Profesor Bambang Heru Saharjo. Dia ahli kebakaran lahan dan hutan. “Saksi ahli KLHK kompeten. Tetapi pengacara KLHK tidak kompeten untuk mengeksplor lebih detil kasus ini. Dalam pengadilan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak terlalu mendalam.”

Walhi, katanya, mencoba mengambil dokumentasi di lapangan dengan drone. Terlihat jelas wilayah itu sedang dibuka. “Kanalisasi membuat wilayah mudah terbakar. Waktu kami mengambil terjadi hujan satu jam sebelumnya. Hingga tak mendapatkan foto kobaran api. Wilayah itu akan ditanami akasia.”

Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional Muhnur Satyahaprabu mengatakan, BMH sudah langganan kasus pembakaran lahan. Seharusnya, gugatan itu jadi pintu masuk menjerat korporasi lain yang lebih besar.

“Tahun 2013, kita gagal. Ada 117 perusahaan di Riau dan Jambi dilaporkan. Yang diperiksa hanya 20. Turun menjadi tujuh. Yang masuk pengadilan hanya tiga. Yang divonis hanya AP. Itupun rendah. Gugatan kali ini harus berhasil,” katanya.

Muhnur meminta pemerintah mengecek integritas penegak hukum. Keterlibatan KPK dan Komisi Yudisial harus ada agar terjadi keadilan hukum seperti harapan.

“Kami meminta pemerintah serius.”

Dia khawatir karena majelis hakim yang menangani perkara belum bersertifikat lingkungan. Padahal, jika merujuk putusan Mahkamah Agung nomor 134 tahun 2011, seharusnya yang menangani kasus hakim bersertifikat lingkungan. Dia meminta hakim diganti yang bersertifikat lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,