,

Tuntutan KLHK Terhadap PT. BMH di PN Palembang Dinilai Lemah Dukungan. Benarkah?

Keputusan Pengadilan Negeri Palembang yang menolak tuntutan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) sebesar Rp7,9 triliun terkait kebakaran hutan tahun 2014, membuat kecewa para pegiat lingkungan hidup.

Terkait kekalahan tersebut, ada yang berpendapat jika majelis hakim yang memimpin persidangan tidak memahami persoalan lingkungan hidup, dan ada juga berpendapat tuntutan yang diajukan KLHK terlalu lemah. Namun, ada yang berpendapat kekalahan tersebut karena lemahnya dukungan dari publik. Benarkah?

“Saya memang merasakan antusiasme masyarakat maupun pegiat lingkungan hidup di Palembang terhadap kasus PT. BMH versus KLHK tidak begitu kuat, meskipun ada sejumlah pegiat lingkungan hidup yang terus memantau persidangan,” kata Sri Lestari Kadariah, praktisi hukum lingkungan hidup di Palembang, Selasa (05/01/2016).

Kenapa ini terjadi? “Saya menilai KLHK gagal mengkonsolidasikan tuntutan mereka terhadap PT. BMH dengan kawan-kawan pegiat lingkungan hidup, termasuk dari kalangan akademisi maupun mahasiswa di Palembang. Saya pribadi baru mengetahui persoalan tersebut sekitar September 2015.  Dan sampai saat ini pun saya tidak mendapatkan salinan naskah gugatan KLHK terhadap PT. BMH,” kata mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan ini.

Menurut Sri Lestari Kadariah, salah satu pengacara yang sempat menyusun gugatan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan pada 2014 bersama Walhi Sumsel, tapi gugatan ini tidak berlanjut, ada beberapa kelemahan dari persidangan tersebut.

Pertama, ketua majelis hakim bukanlah hakim yang memiliki sertifikasi lingkungan hidup. “Seharusnya pada saat memulai persidangan, KLHK meminta Pengadilan Negeri Palembang untuk merekomendasikan ketua majelis hakim adalah hakim bersertifikasi lingkungan, termasuk pula para anggotanya. Kalau hanya hakim anggota yang bersertifikasi, hakim tersebut tidak dapat dituntut untuk selalu hadir dalam proses persidangan,” kata Sri.

“Jika sejak awal ada dukungan dari berbagai kalangan, tuntutan tersebut jelas akan didukung publik,” katanya.

Kedua, seharusnya tim kuasa hukum yang dibentuk KLHK harus melibatkan para pengacara lokal yang paham persoalan lingkungan hidup dan lebih dekat dengan persoalan. “Jika ada pengacara lokal yang paham lingkungan hidup yang dilibatkan, saya pikir dia akan bekerja sangat serius dan fokus karena dia juga merasa mewakili masyarakat Sumatera Selatan yang menjadi korban kebakaran hutan dan lahan,” ujarnya.

Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumatera Selatan, mengaku pihaknya memantau persidangan tersebut setelah proses persidangan berjalan beberapa kali. “Kami mendapatkan kabar tersebut setelah adanya jumpa pers KLHK di Jakarta. Sebelumnya kami tidak tahu atau diberi tahu,” ujarnya.

Memang, melihat majelis hakim yang dipimpin hakim yang tidak bersertifikasi lingkungan, kami melakukan aksi tuntutan di Pengadilan Negeri Palembang terkait dengan persoalan tersebut.

Pelajaran bersama

Dr. Yenrizal, pakar lingkungan hidup dari UIN Raden Fatah Palembang mengatakan kekalahan KLHK di Pengadilan Negeri Palembang merupakan pelajaran yang sangat berarti dalam penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia.

“Ini bukan hanya memukul wajah para pegiat lingkungan hidup, juga Pemerintahan Jokowi yang mencanangkan diri secara international berpihak pada penjagaan lingkungan hidup.”

“Saya pikir ini pelajaran berharga bagi KLHK maupun semua pihak yang peduli dengan lingkungan hidup. Sehingga langkah hukum berikutnya, terhadap pihak yang diduga bertanggungjawab atas kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan pada 2015 dapat berjalan optimal,” katanya.

“Baik itu terkait dengan berkas tuntutan, maupun meluasnya dukungan dan pemantauan dari berbagai pihak terhadap proses hukumnya di pengadilan,” kata Yenrizal.

“Saya percaya, jika berkas tuntutan yang diajukan optimal. Saksi yang dihadirkan para pakar, majelis hakim bekerja optimal, adanya pemantauan publik yang luas, maka penegakan hukum terkait lingkungan hidup akan berjalan maksimal.”

Sesuai prosedur

Penilaian negatif sejumlah pihak terkait majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan dengan anggota Kartijono dan Eli Warti dalam persidangan gugatan perdata KLHK terhadap PT BMH, dibantah Ketua Pengadilan Negeri Palembang, Sugeng Hiyanto.

“Ketiganya dipilih sesuai urutan. Pak Parlas adalah Wakil Ketua (Pengadilan Negeri Palembang), Pak Kartijono sudah bersertifikasi hakim lingkungan. Jadi semuanya sudah memenuhi syarat,” kata Sugeng kepada wartawan di Palembang, seperti dikutip dari Viva.co.id, Selasa (05/01/2015).

Sugeng menyayangkan sikap oknum yang sengaja merusak situs milik Pengadilan Negeri Palembang setelah putusan sidang perkara kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut.

Dia menilai, seharusnya masyarakat mengerti bahwa merusak perangkat milik negara dapat mengganggu pelayanan publik. Masyarakat terhalangi untuk mengetahui perkara yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Palembang.

“Putusan, ya putusan. Kalau tidak suka, ya (mengajukan gugatan) banding (ke Pengadilan Tinggi). Tapi jangan ada yang merusak website,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,