,

Benarkah Indonesia Bisa Jadi Pemimpin di Pasar MEA?

Walau ada yang meragukan posisi Indonesia setelah kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) diberlakukan mulai 1 Januari 2016, namun tidak sedikit yang menyatakan optimismenya  terhadap masa depan Indonesia. Salah satunya, Peneliti Center for Policy Analysis and Reform Suhana, yang optimis Indonesia akan maju pesat setelah MEA diberlakukan.

Alasan kenapa Indonesia akan maju, menurut Suhana, karena untuk regional ASEAN saat ini, Indonesia unggul mutlak di sektor kelautan dan perikanan. Negara yang berpotensi bisa menghadang Indonesia di sektor tersebut, hanya Vietnam saja.

“Kalau dilihat dari neraca perdagangan masing-masing negara ASEAN, hanya Indonesia dan Vietnam saja yang memiliki keunggulan. Negara lain, tidak terlihat ada keunggulan,” ungkap dia di Jakarta, kemarin.

Suhana menjelaskan, selain Indonesia dan Vietnam, sebenarnya masih ada Thailand yang juga berpotensi untuk bisa maju di sektor kelautan dan perikanan dalam MEA ini. Tetapi, kekuatan Thailand saat ini sudah turun karena produksi sektor kelautan dan perikanannya sudah mengalami penurunan sangat banyak.

“Sejak Indonesia memberlakukan moratorium eks kapal asing pada akhir 2014, produksi perikanan dan kelautan Thailand langsung turun drastis. Hal itu, karena negara tersebut suplai produk perikanan dan kelautannya berasal dari Indonesia secara ilegal,” tutur dia.

Lebih lanjut Suhana mengatakan, besarnya potensi Indonesia untuk menjadi pemimpin di sektor kelautan dan perikanan ASEAN, bisa dilihat dari nilai ekspor yang ada saat ini. Untuk Indonesia, nilai ekspor mencapai USD282,915 juta dan Vietnam nilai ekspornya adalah USD438,272 juta.

“Kalau di-intra ASEAN yang nett eksportir itu adalah Indonesia dan Vietnam. Artinya Thailand, Filipina, Singapura, Kamboja dan lainnya itu net importir. Jadi mereka nyari bahan baku di kita,” papar dia.

Dengan keunggulan yang ada, ditambah masih berlimpahnya sumber daya kelautan dan perikanan, Suhana mengaku tak mengkhawatirkan nasib Indonesia di tengah persaingan MEA sekarang. Jika sektor tersebut bisa dikembangkan dan dijaga dengan baik, Indonesia bisa ikut berperan dan bahkan menjadi pemimpin di sektor tersebut.

“Momen moratorium eks kapal asing harus bisa menjadi momen untuk kebangkitan sektor kelautan dan perikanan. Segala kebijakan yang datang dari Menteri (Kelautan dan Perikanan) harus sejalan dengan tujuan tersebut,” tandas dia.

Menteri KP Susi Pudjiastuti sebelumnya sudah menegaskan bahwa di tengah persaingan MEA yang sangat ketat, Indonesia harus bisa memaksimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Salah satunya, adalah sektor kelautan dan perikanan.

“Jangan sampai MEA kita jadi pasar dan objek saja, tapi pemain. Indonesia harus menjadi tuan di negeri sendiri,” ujar Susi.

Menurut dia, kunci agar bisa menjadi tuan rumah, Indonesia harus bisa menegakkan prinsip keberlanjutan dan kemakmuran. Untuk itu, harus ada kerja sama antara stakeholder, baik pemerintah, nelayan, dunia usaha dan masyarakat.

“Saya optimistis kita mampu merebut pangan ekspor dan memperkuat pasar dalam negeri. Harapan saya adalah sebesar-besarnya untuk nelayan kita, nelayan Indonesia dan kesejahteraan masyarakat,” tandas Susi.

Batasi Impor Garam

Sementara, Sekretaris Jenderal Koaliasi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim berpendapat, meski potensi Indonesia untuk menjadi pemain besar di pasar MEA, tetapi Indonesia juga harus bisa mengurangi ketergantungan impor. Salah satunya, produk garam untuk rumah tangga dan industri.

Halim menjelaskan, saat ini impor garam Indonesia mencapai 80 persen dari kebutuhan untuk industri dan rumah tangga. Seharusnya, dengan potensi yang ada, Indonesia bisa melepaskan diri dari impor dan mengembangkan diri menjadi negara produsen garam yang bagus.

“Sekarang kita bergantung pada India untuk impor garam. Padahal, dulunya India ini belajar produksi garam kepada Indonesia. Tapi sekarang, lihat saja India sudah bisa produksi garam dengan kualitas kadar NaCl lebih dari 77 persen,” sebut dia.

“(Jumlah impor garam) dari India 235,624  ton senilai USD 9,84 juta, dari Selandia Baru 128,7 ribu ton senilai USD 5,73 juta dan dari Jerman 35 ton senilai USD 26,8 ribu,” papar dia.

Selain India, Indonesia juga masih mengandalkan impor dari negara lain seperti Selandia Baru, Vietnam, Jerman dan lainnya. Tahun 2014 lalu jumlah impor garam secara total mencapai 1,95 juta ton. Sementara di 2015 diasumsikan mengalami penurunan walaupun tidak signifikan.

“Kita berharap agar pemerintah dapat serius membenahi koordinasi lintas kementerian dan fokus pada upaya peningkatan kapasitas serta kualitas produksi garam dalam negeri agar secara bertahap importas garam dapat ditekan lebih dalam,” pungkas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,