,

Di Sintang, 11 Izin Usaha Perkebunan Sawit Tumpang Tindih dengan Kawasan Hutan

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan adanya tumpang tindih antara peta kawasan hutan yang ditetapkan dengan izin lokasi dan usaha perkebunan yang mencapai 147.235 hektar di Kalimantan Barat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam memperkirakan, proses ini akan terus terjadi lantaran lemahnya pengendalian proses penggunaan usaha skala besar dengan carut marutnya kebijakan peruntukan ruang.

“Selain itu, banyak areal usaha perkebunan yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, termasuk yang tidak mungkin secara legal dikonversikan seperti pada hutan lindung dan hutan konservasi,” ungkap Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar, yang merupakan koordinator koalisi.

Salah satu contohnya terjadi di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Yayasan Titian Lestari melakukan investigasi lapangan terkait perizinan perkebunan kelapa sawit. Terdapat 45 izin dengan luas total 578.203 hektar. “Kami melakukan analisis spasial, terdapat 11 izin yang tumpang tindih dengan kawasan hutan dengan luas 7.256 hektar. Ini temuan awal,” kata Meidina Fadli, staf Yayasan Titian Lestari dalam pernyataannya kepada awak media beberapa waktu lalu di Pontianak.

Adapun metodologi analisis, dilakukan dengan menghitung spasial izin yang dikeluarkan lalu di-overlay dengan kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.733/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Kalimantan Barat.

Kabupaten Sintang dengan luas wilayah administrasi 2.163.500 hektar memiliki kondisi hutan yang terdegradasi pada hutan dataran rendah non-rawa. Dalam kurun 2001-2010 tutupan hutannya hilang 129.992 hektar.

Tutupan hutan tersisa ini sulit dijangkau, hutan rawa dan rawa gambut, hutan konservasi dan hutan produksi yang masih ada hak pengelolaan. “Pemerintah daerah harus mensikapi, dengan melakukan evaluasi,” katanya.

Tumpukan buah sawit. Foto: Rhett Butler

Identifikasi

Yayasan Titian Lestari meminta masukan para pihak apakah tumpang tindih tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan. Ada beberapa aturan yang menegaskan hal tersebut.

UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 Ayat (3), setiap orang dilarang: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah kawasan hutan dengan ancaman pidana pada pasal Pasal 78 Ayat (2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 92 Ayat (2) Korporasi yang:  Huruf a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), huruf b; dan/atau diancam dengan hukuman pidana; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Dan Pasal 18, selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa:  paksaan pemerintah; uang paksa; dan/atau pencabutan izin.

Dina menjelaskan, ada permasalahan untuk meyakinkan temuan awal tersebut seperti data sekunder surat keputusan perizinan perkebunan sawit di Sintang yaitu izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan hak guna usaha. “Kami sudah ajukan permohonan informasi resmi ke sejumlah instansi di Sintang dan Provinsi Kalbar.”

Terkait permohonan itu, sudah diajukan keberatan kepada Atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kabupaten Sintang dan upaya gugatan ke Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalbar. “Kami berharap, data-data yang diperlukan itu bisa dibuka karena merupakan data publik,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,