Abaikan Peringatan, Pemerintah Cabuti Akasia Perusahaan, Langkah Lanjutan?

 

 

Hari itu, 9 Februari 2017, tampak kesibukan beda di kebun kayu milik PT Bumi Andalas Permai (BAP), Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.  Biasanya, orang-orang menanami lahan dengan bibit akasia, kali ini kebalikan. Orang-orang itu tampak mencabuti akasia-akasia anakan berusia sekitar setahun itu.

Di antara mereka tampak San Afri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, dan Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ternyata mereka adalah Tim Monitoring dan Pengawasan Lahan Gambut KLHK.

Tim bentukan November 2016 ini bertugas mengevaluasi dan monitoring di lahan bekas dan berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan dipimpin San Afri Awang.

Sebelumnya, KLHK sudah melayangkan surat edaran pada sejumlah perusahaan pemegang izin pemanfaatan usaha hutan tanaman industri (HTI) namun tak ditanggapi serius.

”Sudah ada sembilan pemegang izin HTI luas konsesi 1,1 juta hektar disurati,” kata San Afri Awang, di Jakarta, Selasa(13/2/16).

Pengiriman surat itu, katanya, agar pelaku usaha yang telah mendapatkan izin mengelola lahan bisa bekerja sesuai tugas dan fungsi. Terutama,  dalam mencegah terjadi karhutla lagi.

Adapun beberapa poin surat surat KLHK itu, antara lain, pertama, meminta wilayah terbakar gambut tak ada penyiapan dan pembukaan lahan untuk penanaman kembali.

Untuk lahan gambut terbakar sesuai Permen LHK Nomor 77/Men-Setjen/2015 soal tata cara penanganan areal terbakar dalam izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi.

Kedua, menghentikan aktivitas penyiapan, pembukaan lahan dan penanaman kembali di pada kubah gambut dan berkanal. Ketiga, pencabutan pada akasia di lahan gambut yang terbakar.

Keempat, pencabutan tanaman akasia di kawasan kubah gambut dan berkanal. Kelima, penyesuaian rotasi penanaman di areal-areal terbakar dan kubah gambut yakni, . Yakni, rencana kerja usaha (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT).

 

Kebun akasia PT BAP di OKI. Foto: KLHK

 

KLHK, katanya, mengeluarkan surat dua kali pada 5-6 Desember 2016-29 Desember 2016. Namun, perusahaan tak kooperatif, pemerintah masih memberikan waktu 20 hari setelah itu.

Respon perusahaan, tak menjawab perintah KLHK. Perusahaan-perusahaan itu antara lain, PT BAP, PT BMH, PT LHM, PT TPJ dan PT BPP. Sisanya, KLHK menolak memberikan informasi rinci hasil temuan mereka.

”Ini grup besar di bawah bendera dua grup besar. Jika berbicara tentang gambut, pulp, akasia, dominasi dua perusahaan besar, RAPP dan APP,” katanya.

Pada 9 Februari itu, KLHK mencabut akasia BAP, pemasok APP, di OKI,  Awang didampingi Rasio Ridho Sani disaksikan Direktur BAP Sapto Nurlistyo.

Pemilihan konsesi BAP ini, katanya, dengan perhitungan akses lokasi bisa terjangkau.

Pada 2016, BAP menanam 26.000-27.000 hektar konsesi mereka. ”Ini pemasok OKI Pulp, OKI mills,” ucap Awang seraya bilang BAP dapat izin HTI seluas 192.700 hektar pada 2004.

Pada 2015, 60% konsesi terbakar merupakan kubah gambut dengan perkiraan lebih 80.000 hektar. ”Kami mencabut akasia di dua titik lokasi BAP, lokasi kebakaran diakui memang gambut dalam.”

Sapto membenarkan, kedua lokasi terbakar sudah tanam kembali akasia. ”Dalam RKU BAP, areal bekas terbakar disebutkan berupa areal gambut,” katanya dalam rilis.

Meski sudah pencabutan, KLHK masih belum menentukan sanksi ke BAP. ”Kami akan menyiapkan sanksi adminstratif terkait paksaan pemerintah,” kata Awang.

KLHK, juga akan memantau dan mengawasi korporasi dalam mewujudkan pemulihan lahan dan restorasi.

Upaya pencabutan pohon ini, ucap Awang, dianggap pemantik agar perusahaan lain aktif mengimplementasikan surat peringatan KLHK.

Suhendra Wiriadinata, Direktur APP mengatakan, sudah menerima laporan dan kunjungan KLHK di BAP.  Dia tak menanggapi soal penanaman akasia oleh pemasok APP itu.

Dia hanya bilang, perusahaan aktif bekerja sama dengan para pemasok memastikan kepatuhan peraturan pemerintah. “Komitmen perusahaan tertuang dalam kebijakan konservasi hutan,” katanya.

Setelah Sumsel, KLHK pun akan memonitoring Riau.

Syahrul Fitri, Peneliti Auriga menyebutkan, tupoksi KLHK kini tak pada luasan areal kebakaran 2015, lebih evaluasi izin-izin. Begitu pula, penegakan hukum perlu lebih tegas.

”Pencabutan akasia itu tak berdampak hukum, harusnya peringatan sikap ini diikuti sanksi yang pantas. Pencabutan izin, misal,” katanya.

Dia bilang, negosiasi politik bukan menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan di lapangan. ”Harapannya, pemerintah mampu jaidkan sanksi administrasi pintu masuk dan langkah mempercepat proses restorasi gambut yang diharapkan Presiden.”

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,