Begini, Cara Kabupaten Gorontalo Hadapi Perubahan Iklim

 

“Akibat banjir yang melanda Kabupaten Gorontalo 26 Oktober 2016, kita mengalami kerugian sekitar Rp243 miliar.”

Kalimat itu diucapkan Nelson Pomalingo, Bupati Kabupaten Gorontalo. Ia menyampaikannya dalam konsultasi dan sosialisasi adaptasi perubahan iklim tingkat provinsi dan kabupaten, 7-9 Februari 2017 lalu.

“Anggaran daerah hanya Rp1,5 triliun, sepertiganya untuk bencana,” ungkap mantan rektor Universitas Negeri Gorontalo itu.

 

Baca: Gorontalo yang Rentan Terhadap Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Nelson menjelaskan, banjir dianggap contoh bencana hidrometeorologi akibat dampak perubahan iklim. Kemampuan adaptasi masyarakat yang masih rendah turut memperparah dampak bencana. Menurutnya, hal ini bisa dilihat dari sistem drainase yang buruk, penebangan hutan tak terkendali, fungsi DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak optimal, dan sedimentasi Danau Limboto yang makin tinggi.

“Bahkan perencanaan pembangunan belum terintegrasi dengan aksi adaptasi perubahan iklim. Padahal dampak perubahan iklim sangat terasa di Kabupaten Gorontalo,” kata Nelson.

 

Perubahan iklim bagai “hantu” yang keberadaannya tidak terlihat namun dampaknya nyata. Foto: Rhett Butler

 

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Nelson mengaku pemerintahannya telah mengambil kebijakan untuk rencana aksi adaptasi perubahan iklim yang sudah dirancang untuk 2017. Selain masuk ke RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan RKPD 2017 (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), pihaknya juga menganggarkan 10,5 persen dari dana APBD atau sebesar Rp53,9 miliar.

“Untuk implementasi yang lebih efektif, kami juga mendorong pemerintah desa mengalokasikan 10 persen dari APBDes mereka untuk pengelolaan lingkungan.”

Nelson juga menjelaskan tentang arahan dan kebijakan perubahan iklim pemerintah daerah, seperti bagaimana menuju kabupaten yang memiliki ketahanan tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Selain itu menurutnya, pemerintahannya telah memasukkan 19 program adaptasi perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya Rencana Kerja lintas 9 SKPD (Satuan Kerja Perangkat Dinas).

 

Baca juga: Banjir Bandang Itu Tidak Datang Dengan Sendirinya

 

Untuk rencana aksi yang akan dibuat SKPD, Nelson mencontohkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang mulai mengembangkan kurikulum lingkungan hidup, khususnya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Begitupun pada Dinas Kesehatan yang memiliki program Gemerlap Sehat (Gerakan Menata Rumah, Lingkungan, dan Pemukiman Sehat). Atau seperti pada Dinas Pertanian yang memiliki rencana aksi revitalisasi pertanian, integrated farming system, penggunaan pupuk organik, dan pengembangan verietas benih tahan iklim.

Penjabat Gubernur Gorontalo, Zudan Arif Fakrullah, mengapresiasi kegiatan tersebut yang menekankan adanya sinergi tingkat nasional hingga ke tataran operasional. “Sinergisitas sangat relevan termasuk penyusunan road map Gorontalo sebagai Provinsi Konservasi yang telah ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, 5 Desember 2016.”

 

Ekosistem memiliki peran penting dalam hal menghadapi perubahan iklim. Semakin tinggi kekayaan hayati yang terkandung dalam suatu ekosistem maka ketahanan untuk menghadapi perubahan iklim dalam hal mitigasi ataupun adaptasi akan semakin kuat. Foto: Rhett Butler

 

Iklim di Gorontalo

Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Gorontalo, Fathuri Syabani, menjelaskan tren suhu rata-rata harian Gorontalo sejak 1974 – 2013 yang semuanya mengalami kenaikan. “Di Gorontalo jumlah kejadian hujan ekstrim meningkat. Begitu pun dengan jumlah kejadian panjang hari tanpa hujan semakin meningkat. Suhu rata-rata dan jumlah curah hujan di Gorontalo berasosiasi dengan kejadian El-Nino dan La-Nina,” ungkap Fathuri.

Menurutnya, mengacu kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim 2014, Kabupaten Gorontalo merupakan daerah terentan dengan kapasitas terendah di Provinsi Gorontalo. Kajian kerentanan dan risiko bencana iklim lebih spesifik di tingkat Kabupaten Gorontalo yang dilakukan oleh Transformasi bekerja sama dengan tim peneliti menunjukkan ancaman banjir, longsor, dan kekeringan yang tinggi di kabupaten tersebut. Kajian itu menunjukkan, ada 82 desa yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

“Kabupaten Gorontalo dinyatakan sebagai satu dari lima puluh daerah terentan terhadap bencana iklim berdasarkan dokumen Rencana Aksi Nasional Adapatasi Perubahan Iklim,” ungkap Fathuri.

Direktur Program Transformasi, Nazla Mariza mengapresiasi kebijakan Kabupaten Gorontalo terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. “Sebagian besar desa di Kabupaten Gorontalo tergolong kategori risiko banjir cukup tinggi. Seperti, Desa Tamaila Utara Kecamatan Tolangohula, dan Desa Kaliyoso Kecamatan Dungaliyo.”

 

Menanam mangrove, merupakan salah satu cara menjaga lingkungan peisisir dari kerusakan. Foto: Christopel Paino

 

Kepala Sub Direktorat Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Ala Baster, menjelaskan tentang seperangakat regulasi di tingkat nasional yang dapat dijadikan acuan daerah untuk pengarusutamaan perubahan iklim.

Menurutnya, saat ini Kemendagri sedang merevisi Permendagri No 13/2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang salah satunya untuk mengakomodasi kegiatan dan pendanaan aksi mitigasi dan adaptasi di daerah. “Setelah revisi selesai, diharapkan pemda secara eksplisit membuat program dan anggaran perubahan iklim.”

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang diwakili Kepala Subdirektorat Perencanaan Adaptasi Perubahan Iklim KLHK, Syaiful Anwar turut mensosialisasikan Permen LHK P.33/2016 tentang Pedoman Penyusunan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim. Isinya langkah-langkah teknis berupa menyusun kajian kerentanan dan resiko iklim, membentuk tim penyelenggara, membuat pilihan dan prioritas adaptasi, serta mengintegrasikannya ke dokumen perencanaan.

 

Danau Limboto di Gorontalo yang penting bagi kehidupan masyarakat dan satwa sekitar. Foto: Wikipedia

 

Limboto Techno Science Park 

Pada 9 Februari 2016, pemerintah setempat menggelar kampanye adaptasi perubahan iklim di Bumi Perkemahan Desa Bongohulawa, Kecamatan Limboto. Di kesempatan itu, Nelson Pomalingo menyampaikan rencana kawasan Bumi Perkemahan, eks Pekan Penghijauan Nasional, yang akan diubah menjadi Limboto Techno Science Park.

Menurut Nelson, secara historis tempat ini dikenal dengan nama Bonguhulawa yang artinya kelapa emas. Luasnya sekitar 90 hektare. Bupati yang menjabat sebelumnya menjadikan tempat tersebut sebagai kebun binatang, lalu oleh bupati berikutnya dijadikan Bumi Perkemahan. “Hari ini saya lanjutkan cita-cita bupati sebelumnya membentuk Limboto Techno Science Park, yang didalamnya terkait adaptasi perubahan iklim,” ucap Nelson.

Limboto Techno Science Park, kata Nelson, akan menjadi taman ilmu pengetahuan, yang dalam pengembangannya selain tempat penghijauan atau konservasi, juga akan dikembangkan taman pertanian agroforestry, bambu, obat-obatan, taman lingkungan, hingga pengolahan biogas, sampah dan lainnya..

“Juga akan dibuat taman perairan karena di sini ada cek dam, serta akan menjadi lokasi wisata edukasi maupun wisata alam.”

 

Danau Limboto di tahun 1930-an yang alami dan begitu damai. Sumber: Wikipedia/Tropen Museum

 

Ketua Dewan Penasehat Yayasan Transformasi, Sarwono Kusumaatmadja, mengapresiasi langkah Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo. “Bupati bekerja cepat sehingga semua dokumen lengkap beserta jurus kebijakan lingkungannya. Ada tiga prioritas terkait perubahan iklim yang harus disikapi yaitu pangan, energi, dan air. Gorontalo sudah dijalur yang tepat.”

Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo, Winarni Monoarfa, juga ikut memberikan apresiasi terhadap inovasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Gorontalo. “Urgensi dari pertemuan yang digagas Pemerintahan Kabupaten Gorontalo ini akan direplikasi untuk tingkat provinsi. Kami akan masukkan aspek perubahan iklim ke level program provinsi, sehingga akan menjadi payung besar Gorontalo dalam lima tahun ke depan,” paparnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,