Gubernur Kalimantan Barat Bersurat ke Presiden Jokowi Perihal “Investasi” di Gambut, Maksudnya?

 

 

Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo pada 25 April 2017 lalu. Isinya, perihal implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor. P.17/MENLHK/-SETJENKUM.1/2/2017 di Provinsi Kalimantan Barat.

Dalam surat itu, Cornelis melaporkan, sebelum dua peraturan tersebut diterbitkan, telah ada 43 perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan, khususnya hutan tanaman industri. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengeluarkan izin, mengacu tata ruang kawasan hutan sesuai peruntukannya. Perusahaan-perusahaan itu juga mendapatkan persetujuan kelayakan lingkungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Cornelis juga menuliskan, perusahaan-perusahaan tersebut masih beroperasi, mengacu pedoman pelaksanaan yang telah diterbitkan pemerintah. Namun, akan terkena dampak dari dua aturan baru yang diterbitkan belakangan. Surat tiga lembar tersebut ditembuskan juga ke Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kepala Badan Restorasi Gambut, dan Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.

Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat, Marius Marcellus, membenarkan surat tersebut. “Surat itu hanya meminta arahan lebih lanjut Presiden. Ada pertentangan aturan yang sempat menimbulkan reaksi.”

 

Baca: Kena Sanksi Administrasi, Seluruh Operasi PT. MPK di Sungai Puteri Harus Setop

 

Marius meluruskan adanya anggapan bahwa Kalbar tidak mendukung program restorasi gambut di Indonesia. Dia meminta semua pihak memandang permasalahan ini dengan jernih, tidak parsial. Surat itu juga bukan merupakan sikap tidak merespon positif itikad pemerintah untuk penataan pengelolaan sumber daya alam.

Kata dia, PP 57 Tahun 2016 di dalam pasalnya menyatakan, bagi perusahaan yang sudah mengantongi izin dapat terus lanjut dengan memperhatikan water management (pengelolaan air). Sehingga tidak terjadi kebakaran di lahan gambut. Namun, kemudian keluar lagi aturan dari KLHK, yang di dalam pasalnya tidak ada penjabaran lebih lanjut. “Ini yang menjadi persoalan. Pasalnya, teman-teman di HTI sudah membangun industri,” katanya.

Walau dalam peraturan disebutkan juga, untuk konsesi yang sebagain besar lahannya masuk kawasan gambut, akan dicarikan lahan pengganti. “Masalahnya dimana? Kalbar kan semuanya gambut,” tukas Marcel.

Mestinya, kata dia, peraturan pemerintah dan turunan pelaksanaannya harus sejalan. Fakta di lapangan, tidak sedikit perusahaan-perusahaan HTI yang sudah melakukan aktivitas sesuai dengan aturan yang berlaku. Bahkan, salah satunya mendapat penghargaan dari KLHK. Dia menyontohkan: Alas Kusuma.

Pemda Kalbar juga telah menganalisa dampak jika perusahaan-perusahaan tersebut hengkang. Salah satunya, 20 ribu warga akan kehilangan mata pencaharian. Jumlah itu didapat dari delapan perusahaan HTI yang ada. Akibatnya, sebut dia, Alas Kusuma telah mengurangi kegiatan operasional karena regulasi yang tidak sinkron ini.

Konsep Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), paling ideal menjawab permasalahan gambut di Kalbar. KEE mempunyai prioritas di areal kubah gambut. Untuk kubah gambut yang belum beralih fungsi tutupan lahannya, mutlak harus dikonservasi. Sedangkan yang sudah mengantongi izin, bisa diteruskan hingga batas izin berakhir, dengan pengaturan air yang ketat. “Industri kehutanan di Kalbar, hadir tanpa dana perbankan sebagai pembiayaan. Mereka pakai dana cash untuk membangun,” kata Marcel.

 

Lahan gambut, harus bijak mengelolanya. Foto: Rhett Butler

 

Preseden buruk

Walhi Kalimantan Barat menanggapi surat itu sebagai sikap Gubernur Kalbar, Cornelis, yang secara terbuka melawan peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Ini preseden buruk bagi perlindungan dan perbaikan tata kelola ekosistem rawa gambut di Indonesia,” kata Anton P. Widjaya, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Barat.

Sikap perlawanan tersebut, menempatkan kepentingan korporasi dan devisa negara dari kegiatan merusak ekosistem rawa gambut lebih penting dari pada inisiatif perlindungan dan perbaikan tata kelolanya, khususnya di Kalimantan Barat. “Kami meminta Pemerintah Daerah Kalimantan Barat tidak menutup mata fakta bahwa rezim keterlanjuran izin-izin konsesi kebun kayu berkontribusi terhadap penghancuran lingkungan hidup di Kalimantan Barat,” ujar Anton.

Pemerintah Daerah Kalimantan Barat harus menunjukkan komitmen kuat untuk melakukan pembenahan tata kelola SDA khususnya sektor kehutanan dan perkebunan. Juga,  upaya penegakan hukum yang tengah dijalankan pemerintah dan berbagai komitmen Presiden Joko Widodo lainnya. Seperti, moratorium dan pemulihan ekosistem gambut.

Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.17/MENLHK/-SETJENKUM.1/2/2017 adalah tindakan kongkrit negara mewujudkan perlindungan dan perbaikan ekosistem rawa gambut terdegradasi di seluruh wilayah Indonesia.

“Peraturan tersebut bersifat mandatori, mengikat seluruh pemangku kepentingan dibawahnya untuk menjadi implementor, mengawal, jika diperlukan memaksa sanksi pidana,” paparnya.

 

Surat Gubernur Kalbar yang ditujukan ke Presiden Jokowi. Foto: Istimewa

 

Dalam kasus Kalbar, hanya 15 perusahaan yang berada di gambut dari  47 IUPHHK-HTI. Jadi, surat gubernur tersebut hanya mewakili segelintir pihak. “Seharusnya Pemprov Kalbar melakukan revitalisasi izin HTI, bukan melawan kebijakan penyelamatan gambut,” cetus Muhammad Lutharif, dari Eyes of Forest Kalimantan Barat.

Sebelum PP 57 terbit, Menurut Lutharif, korporasi kehutanan seperti Asia Pulp and Paper (APP Grup) dan April Grup pada tahun 2013 dan 2014 telah meluncurkan komitmen Kebijakan Konservasi. APP meluncurkan Forest Conservation Policy (FCP) dan APRIL meluncurkan Sustainable Management Forest Policy (SMFP). Dua kebijakan tersebut berkomitmen mematuhi hukum Indonesia, melindungi dan melestarikan gambut, selain mereka juga berkomitmen menghentikan penebangan hutan alam hingga 2019 dan 2020.

Selain industri kehutanan, industri perkebunan kelapa sawit juga meluncurkan komitmen sama. Korporasi Asian Agri, Wilmar, GAR, Salim dan Sinarmas juga menerbitkan komitmen menyelamatkan gambut dan mematuhi hukum Indonesia. Saatnya mereka semua konsisten dengan komitmen-komitmen tersebut.

Di dunia global, bahkan korporasi kehutanan dan sawit telah mengkampanyekan bahwa mereka telah berubah dan berjuang mematuhi hukum Indonesia dan menyelamatkan gambut. “Faktanya, ketika Pemerintah Indonesia meminta mereka mematuhi hukum untuk menyelamatkan gambut, mengapa korporasi malah tidak patuh,” ungkapnya.

Pemerintah harus mengambil tindakan tegas kepada seluruh jajaran pejabat dibawahnya baik pusat maupun daerah yang melakukan perlawanan. Atau, menghambat target perlindungan dan pemulihan gambut akibat karhutla yang terjadi.

“Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus menegur keras dan menertibkan jajarannya yang tidak menjalankan PP 57 dengan konsisten,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,