Ketika Kehidupan Orang Mentawai Dalam Keterancaman

 

 

Indonesia patut berbangga dengan keberagaman suku dan budaya, salah satu, Suku Mentawai, masyarakat adat dan tertua dari Kepulauan Mentawai, sebelah barat Pulau Sumatera.

Sejak 500 Sebelum Masehi, nenek moyang Suku Mentawai sudah mendiami Kepulauan Mentawai yang terdiri atas tiga pulau yakni Pulau Utara, Pulau Pagai Selatan dan Pulau Siberut.

Baca juga: Kala Wilayah Kelola Warga Mentawai Makin Menyempit

Masyarakat Mentawai sangat erat dan kuat dengan tradisi dan adat istiadat yang mereka miliki secara turun temurun. Alam mereka indahn dengan hutan dan laut yang menyediakan segala keperluan.

Sayangnya, kehidupan mereka mulai terancam dengan segala bentuk perusakan alam, seperti hutan terus berkurang.

Samantha Lee, Manager Operasional Indigenous Education Foundation (IEF) mengatakan, hutan hilang menyebabkan mereka kehilangan jati diri, hubungan dengan tradisi dan budaya asli.

”Ditambah pemindahan paksa dari tanah adat, telah meningkatkan kemiskinan dan keputusasaan di antara orang Mentawai,” katanya.

Bagi orang Mentawai, budaya mereka jelas bergantung pada kekayaan hutan di sekitar.

Saat ini, tak bisa hanya fokus penyelamatan keragaman hayati. Untuk itu,  IEF memiliki cara dengan memberdayakan sumber daya manusia yang ada agar memahami dan merawat ekosistem, serta melanjutkan praktik keberlanjutan mereka.

”Kita juga memperkuat potensi budaya dan bioregion yang kini sangat terancam dan sifatnya sangat penting dalam menjaga aset bagi generasi mendatang,” katanya.

Samantha mengatakan, melindungi dan memperkuat budaya ini, tidak hanya bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Mentawai, juga berkontribusi dalam pelestarian keragaman hayati global.

 

Orang Mentawai dan hutannya yang terus tergerus. Foto: Rob Henry/ Mongabay Indonesia

 

Kini, masyarakat Mentawai melalui Yayasan Pendidikan Suku Mentawai telah mengembangkan program berbasis masyarakat. Ia dirancang untuk memberi kesempatan bagi orang Mentawai mempelajari aspek terpenting pendidikan budaya dan lingkungan di wilayah mereka sendiri.

Baca juga: Baru Terbebas dari HTI, Mentawai Kembali Terancam Ekspansi Sawit

Temuan lapangan, Rob Henry,  Pendiri dan Direktur IEF memperlihatkan, kehancuran terjadi di masyarakat, dimana perencanaan pembangunan berkelanjutan jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan terabaikan.

Keragamanhayati dan kebudayaan, katanya, merupakan kekayaan alam luar biasa dan penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial.  “Jika terabaikan akan terjadi kelangkaan sumber daya, ketidakstabilan iklim dan ekologis yang kian terdegradasi.,” katanya.

Kondisi ini, katanya, perlu disadari sebagai masalah global dimana konflik kepentingan seperti politik dan ekonomi menyebabkan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial bagi masyarakat.

Romantisme era globalisasi saat ini, katanya,  secara pragmatis tak memihak lingkungan. “Dengan memisahkan manusia dan lingkungannya secara tidak sadar itu tidak akan mengatasi sebuah permasalahan pembangunan secara mendasar.”

Padahal, kata Samantha, keragamanhayati merupakan aset global yang luar biasa untuk pembangunan sosial ekonomi dan sebagai integritas lingkungan, dan peningkatan keingintahuan–masih banyak daerah belum tereksplorasi– dan unsur penting penghormatan bumi.

”Sebagian besar spesies di dalam hutan itu unik dan tak tergantikan. Padahal diperkirakan 50% spesies di dunia secara umum diasumsikan sebagian besar masih belum diketahui,” katanya.

Hal inilah yang jadi kekhawatiran di Mentawai, dengan laju deforestasi dan perusakan habitat yang tak akan pernah tergantikan.

Hutan,  sebagai rumah masyarakat adat dan mereka telah mengembangkan pemahaman kuat terkait hewan, tumbuhan dan roh yang mendiami wilayah itu.

”Mereka adalah penjaga pengetahuan ekologis yang berharga dan sumber keragaman budaya yang kaya di bumi.”

Perempuan Mentawai. Foto: Samantha Lee/ Mongabay Indonesia

 

Nonton film, dukungan bersama

IEF pun merangkum perjalanan dalam menelusuri keindahan potensi Mentawai lewat film dokumenter. Selama 10 tahun terakhir, Rob Henry, sang pembuat film tinggal bersama orang Mentawai.

Film dokumenter berjudul “As Worlds Divide” ini bercerita tentang kisah suka duka orang Mentawai dalam melindungi hutan dan budaya asli mereka.

Cerita, tradisi Mentawai melalui upacara adat istiadat yang sudah turun temurun mampu membekali anak-anak mereka dengan keterampilan dan kemampuan berkembang selaras dengan hutan dan mengatur generasi penerus.

Yayasan Pendidikan Suku Mentawai bermitra dengan IEF pun mengumpulkan dukungan dari masyarakat guna menjalankan Program Pendidikan Budaya dan Lingkungan. Mereka memobilisasi generasi digital dalam mengembangkan dengan hastag #wafsac– watch a film, save a culture. Artinya, dengan menonton film berarti ikut menyelamatkan budaya mereka.

Melalui film ini, menceritakan terkait bagaimana masyarakat Mentawai dalam mempertahankan budaya mereka dengan keanekaragaman kehidupan dan ekosistem yang ada di Kepulauan tersebut.

Pada Oktober ini, film ini akan tersedia secara online selama 30 hari. Adapun sumbangan sederhana untuk menonton film ini, penonton akan aktif membantu mengabadikan budaya Mentawai. Tunggu apalagi, mari bantu mereka dengan nonton filmnya dengan mengunjungi website  iefprograms.org!

 

 

 

 

Orang Mentawai, sumber hidup dari alam dari pangan sampai obat-obatan. Foto: Rob Henry/ Mongabay Indonesia

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,