Nasib Bekantan yang Jauh dari Sentuhan Rasa Peduli

 

 

Siapa yang tak kenal bekantan? Satwa dengan nama Latin Nasalis larvatus ini dikenal luas sebagai kera Belanda berhidung mancung. Hidup di ekosistem hutan mangrove, masa depan satwa endemik Borneo ini bertengger di ujung tanduk. Konversi habitat, perburuan, kebakaran hutan, dan illegal logging menjadi penyebab utama terjadinya penurunan populasi bekantan.

Hal ini terungkap di ajang bedah buku berjudul Bekantan: Perjuangan Melawan Kepunahan, Selasa (5/12/2017) di Perpustakaan Kemendikbud RI, Jakarta. Buku yang ditulis oleh para pakar dan pemerhati bekantan ini berkisah tentang tren populasi bekantan yang terus menurun di hutan-hutan bakau (mangrove) Pulau Kalimantan. Hal ini dipicu kian tergerusnya hutan mangrove oleh aktivitas manusia.

Sejumlah tokoh turut membahas nasib bekantan ke depan. Mereka adalah Hadi Sukadi Alikodra (Guru Besar Kehutanan IPB), Wiratno (Dirjen KSDAE), Sofian Iskandar (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KLHK), Gusti Hardiansyah (Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura), Chairul Saleh (Species Specialist WWF-Indonesia), Fairus Mulia (PT. Kandelia Alam), dan Fitrian Ardiansyah (IDH).

Dua publik figur sekaligus supporter kehormatan WWF-Indonesia turut meramaikan bedah buku ini. Keduanya adalah Nugie dan Davina Veronica. Mereka turut berbagi pengalaman saat mendapat kesempatan berkunjung ke habitat bekantan di Kalimantan Barat.

“Kepedulian terhadap satwa ini masih jauh dari harapan. Padahal, bekantan merupakan indikator ekosistem yang sehat dan dapat menunjang kesejahteraan manusia,” kata Hadi Sukadi Alikodra, salah seorang penulis buku tersebut.

Hadi mengatakan secara tak sadar, hidup manusia sesungguhnya bergantung pada bekantan. Keutuhan habitatnya turut menunjang kehidupan manusia yang ada di sekitarnya. “Masyarakat dunia juga turut menikmati keutuhan habitat bekantan. Sebab, hutan mangrove adalah penyerap karbon yang cukup tinggi,” jelasnya.

 

Berenang. Selain tangkas memanjat dan melompat dari pohon ke pohon, bekantan juga memiliki kemampuan berenang di sungai. Foto: Victor Fidelis Sentosa/WWF-Indonesia Program Kalbar

 

Dalam buku setebal 264 halaman itu disebutkan, degradasi hutan riparian sebagai habitat bekantan berlangsung cepat. Hal ini sangat beralasan. Sebab, umumnya kawasan mangrove mempunyai nilai ekonomi tinggi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran sungai.

Dalam kehidupan sehari-hari, sungai merupakan jalur transportasi utama masyarakat. Sedangkan hutan riparian, dimanfaatkan masyarakat sebagai permukiman dan ladang.

Penulis lainnya, M Bismark, berdasarkan catatannya menyebutkan kondisi tersebut membuat populasi bekantan terus menurun dan sebaran sub-populasi menjadi lebih terkotak-kotak.

Anggapan masyarakat bahwa satwa ini pengganggu ladang, dapat menjadi ancaman kelestarian populasinya di alam. “Perladangan dan aktivitas ekonomi masyarakat masih bisa diatasi dengan penanaman. Tapi kebakaran hutan dan lahan sangat sulit. Kebakaran bisa mengubah segalanya. Pun demikian, masih ada harapan untuk memperbaiki melalui bentuk baru konservasi bekantan,” jelas Hadi.

 

Melompat. Seekor induk bekantan menggendong anaknya sambil melompat dari satu pohon ke pohon lainnya di kawasan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Foto: Uji/PandaCLICK WWF-Indonesia Program Kalteng

 

Perlu dukungan multipihak

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melansir luasan hutan mangrove Indonesia pada 2015 mencapai 3.489.140,68 hektar. Hutan mangrove itu berada dalam garis pantai sepanjang 95.181 kilometer persegi. Dari 16.530.000 hektar luasan mangrove dunia, sebanyak 23 persen berada di Indonesia.

Laporan hasil penelitian UNEP (United Nation Environmental Protection) 2014 berjudul “The Importance of Mangrove to People: A Call To Action” menyatakan bahwa hutan mangrove dapat menyerap karbon dalam jumlah besar. Rata-rata sekitar 1.000 ton karbon per hektar selama ribuan tahun yang tersimpan dalam biomassa dan lapisan tanah.

Species Specialist WWF-Indonesia Chairul Saleh mengatakan, pemerintah telah memasukkan bekantan sebagai salah satu spesies prioritas konservasi yang akan ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen. “Kita harus mengakui bahwa target ini cukup berat untuk dicapai,” katanya.

Menurut Chairul, diperlukan komitmen dan kolaborasi semua pihak untuk menyelamatkan dan meningkatkan populasi bekantan. Misalnya, pemerintah daerah dapat berperan aktif memasukkan bekantan dalam perencanaan pembangunan dan tata ruang, sehingga habitat bekantan tidak semakin tergerus pembangunan.

Kuatnya tekanan terhadap populasi dan habitat bekantan saat ini menjadi dasar pertimbangan untuk mendorong kesadaran dan kepedulian masyarakat luas. “Terutama, pemangku kebijakan untuk bersama mendorong upaya konservasi bekantan di Kalimantan.”

 

Sketsa sebaran habitat bekantan di Pulau Kalimantan. Dok. WWF-Indonesia

 

Inisiatif pengelolaan habitat dan populasi bekantan secara kolaboratif sudah dimulai WWF-Indonesia di lanskap Kubu, Kalimantan Barat. Inisiatif ini berjalan melalui dukungan proyek IDH Sustainable Trade yang melibatkan peran pemerintah dan swasta.

Di sisi lain, potensi keanekaragaman hayati di habitat bekantan juga dapat dimanfaatkan secara maksimal, seperti penelitian bioprospeksi. Hal ini sangat bermanfaat dalam industri biofarmasi, sekaligus membuka lahan pekerjaan baru bagi masyarakat lokal di sekitar habitat.

“Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi konservasi dan perlindungan habitat bekantan. Selain, mendukung implementasi strategi dan rencana aksi konservasi bekantan,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,