Walhi: Ubah Perilaku Ekonomi Eksploratif

PEMERINTAH Indonesia didesak segera mengubah perilaku ekonomi eksploratif dan mendorong kongkrit perbaikan mutu lingkungan.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan mengatakan, dengan perbaikan itu dengan mempertegas moratorium balak dan konversi hutan alam dengan berdasarkan pada prinsip dan kriteria. Bukan pada batasan waktu atau tahun.

Lewat peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2012 ini, Abetnego, juga mengajak masyarakat untuk mengubah perilaku konsumsi yang cenderung boros sumber daya alam dan merusak lingkungan.

“Seperti penting mendorong penggunaan energi terbarukan, transportasi massal sebagai alat transportasi publik, pengurangan penggunaan kantong plastik, pengelolaan limbah dan sampah rumah tangga yang baik,” katanya, Selasa(5/6/12).

Tak ketinggalan, masyarakat juga diajak memonitor perilaku industri dan tidak memilih wakil-wakil rakyat atau kepala pemerintahan yang terlibat perusakan lingkungan.

Pius Ginting, pengkampanye tambang dan energi Walhi mengatakan, model green economy menjadi salah satu slogal yang membius perhatian dunia lewat agenda global yang malah mendorong akumulasi kapital dan eksploitasi sumber daya alam berbungkus hijau.

Ekonomi hijau, hanya menaikkan komodifikasi, privatisasi dan finansialisasi alam. “Juga pemusatan kendali atas alam oleh elit-elit bisnis dan elit politik dunia ke level yang lebih tinggi,” katanya.

Model ekonomi hijau yang dibicarakan saat ini, ucap Pius, makin memfasilitasi penguasaan dan monopoli atas sumber daya penting kehidupan, seperti penguasaan atas air, keragaman hayati, atmosfer atau udara, dan hutan. Lalu, penguasaan lahan secara besar-besaran, bibit serta sarana produksi lain.

Ekonomi hijau akan makin mengintensifkan hak memonopoli dan menguasai sumber daya alam ini. Menurut dia, komodifikasi, privatisasi dan finansialisasi dari keseluruhan ekosistem dan fungsi-fungsi alam telah terjadi.

“Ini makin menguat. Bisa kita lihat dari proyek-proyek REDD yang bermunculan untuk penguasan alam dengan mengatasnamakan penyelamatan lingkungan dan iklim.”

Peran-peran negara pun diubah. Lalu, digantikan peran pasar dalam melindungi, memfasilitasi dan mengelola sumberdaya alam.

“Ini tentu berimplikasi besar bagi kehidupan masyarakat. Mereka yang lingkungan dan ekosistem diubah menjadi komoditas diperdagangkan,”ujar Pius.

Walhi memandang, model ekonomi yang dikembangkan akan makin mendorong dunia pada keterpurukan dan kebangkrutan ekologis. “Kapitalisasi sumber daya alam secara besar-besaran, bukan hanya berakibat pada kehancuran tatanan ekosistem tetapi berdampak luas dengan tatanan sosial dan penghidupan masyarakat.”

Deddy Ratih, pengkampanye hutan Walhi menambahkan, dalam praktik industrialisasi kehutanan Indonesia saat ini, model pembangunan ini memperlihatkan rentetan panjang konflik tenurial. Ini berlanjut pada konflik sosial dan keterpurukan masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan.

Dampak nyata terlihat gamblang. Pemerintah sejauh ini tidak mampu efektif memonitor kegiatan penebangan haram yang terjadi, perilaku industri kehutanan tidak mampu memperbaiki distorsi pasar dan pemborosan kayu alam.

Kondisi ini, makin memperbesar defisit kehutanan. Model pembangunan kehutanan saat ini berpotensi mendorong Indonesia kehilangan basis produksi hutan, di luar industri pulp dan kertas seperti non timber forest product.

“Berarti juga Indonesia akan kehilangan potensi penerimaan devisa negara dari sektor kehutanan di luar balak kayu alam.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,