Maraknya konflik pertanahan antara masyarakat asli dan pihak perusahaan yang beroperasi dalam bisnis kehutanan di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya, seperti di Sumatra dan Kalimantan. Konflik serupa, bahkan masih terjadi di pulau yang memiliki varian bisnis tinggi seperti di Jawa. Potensi konflik tenurial di Pulau Jawa, diperkirakan bertambah hingga 92.000 hektar tahun ini.
Hal ini dikemukakan oleh Direktur Utama Perum Perhutani Bambang Sukmananto bahwa kasus tenurial rawan terjadi di sejumlah kawasan hutan yang dikelola perusahaan milik negara, Perhutani, seperti di Cilacap, Boyolali, Blitar, Malang, Kraksaan, Lumajang, Bondowoso, jember, Bogor, dan Indramayu. Bambang mengungkapkan kepada Bisnis.com, kecenderungan konflik akan terus terjadi apabila langkah akuisisi dan inventarisasi aset tidak segera dituntaskan. Dia berharap program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dapat menekan klaim dan penguasaan atas kawasan hutan. Menurut Bambang, pola pengelolaan hutan dengan melibatkan partisipasi masyarakat akan menyerap 600 tenaga kerja baru di sektor kehutanan. Optimalisasi PHBM di sekitar hutan juga akan membantu menekan gangguan keamanan di kawasan hutan. “Nilai ekonomi PHBM dari kayu dan non kayu yang dibagikan kepada rakyat telah mencapai Rp20,8 miliar,” jelas Bambang.
Pentingnya melibatkan masyarakat asli atau masyarakat adat dalam pengelolaan hutan ini juga ditekankan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Nyoman Nurjaya, di dalam sidang pengujian Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan di Gedung Mahkamah Konstitusi kepada Jurnal Nasional. “Fakta menunjukkan, bahwa hutan komunitas adat itu masih ada yang status dan posisi hukumnya setara dan sejajar dengan hutan negara, sehingga masyarakat adat wajib diberi informasi, diajak bicara terlebih dahulu serta memiliki kebebasan untuk menerima, menolak atau memberi persetujuan atas kebijakan pemutusan pemerintah dalam wilayah adat mereka,”
Data dari program PHBM yang dikemukakan Bambang Sukmananto ini mengindikasikan kawasan hutan yang telah memperoleh tahap penetapan dan mengantongi berita acara tata batas baru mencapai 11% dari 130,68 juta ha yang diklaim sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan legal akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang izin usaha kehutanan. “Kalau di sekitar hutan hingga kini belum ada masalah, justru masyarakat yang diluar hutan itu biasanya yang ribut. Makanya, penetapan tata batas harus dipercepat agar konflik tenurial tidak berkepanjangan” ujarnya pada Jurnal Nasional.
Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan Bambang Soepijanto mengungkapkan penuntasan tata batas merupakan bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Hingga kini, penataan batas kawasan hutan berjalan lamban karena baru terealisasi 8.000 kilometer, atau 12,7% dari target Kemenhut seluas 63.000 kilometer.
Menurut Bambang, tata batas kawasan hutan di Indonesia membutuhkan dana besar sekitar Rp 1,6 triliun tergantung kontur medan yang berbeda di setiap kawasan hutan. Meski begitu, Dia optimistis penuntasan tata batas dapat dikerjakan secara bertahap hingga 2014 mendatang. “Dengan begitu, konflik kawasan hutan dapat tereduksi karena sudah ada kepastian pembagian kawasan hutan yang legal dan legitimasi,” jelasnya kepada Bisnis.com
Sementara itu, Nyoman yang hadir sebagai ahli dari pemohon dalam kasus UU No.41 tahun 1999 tersebut mengatakan, UU tersebut belum secara jelas mengatur pelibatan komunitas adat dalam mengelola hutan adat mereka. Padahal, terdapat hubungan penting antara pemerintah dan rakyat dalam pengelolaan hutan supaya tidak rusak dan dapat memberikan kehidupan secara langsung dan tidak langsung bagi manusia. “Namun, politik pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukumnya, telah mengabaikan dan memarjinalisasi hukum masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya dalam mengelola hutan adat,” kata Nyoman.
Uji materi UU Kehutanan digugat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kengerian Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu Lebak, Banten. Pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya yakni pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (1), (2), 3 dan (4), pasal 50 ayat (2), pasal 67, dan pasal 68 ayat (3) dan ayat (4). Pasal-pasal yang dipersoalkan itu dinilai bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sekjen AMAN, Abdon Nababan, menilai UU Kehutanan telah digunakan negara sebagai alat untuk mengambil alih wilayah-wilayah adat. Disampaikan Abdon kepada Jurnal Nasional, hampir sebagian besar hutan yang dihuni masyarakat adat banyak terjadi pengusiran atau sengaja dipaksa meninggalkan hutan disertai tindakan kekerasan yang dilakukan aparat negara dan pihak swasta untuk dijadikan hutan negara.
UU Kehutanan tersebut, jelas Abdon, menyebabkan ketidakpastian hak bagi masyarakat adat atas wilayah adat mereka yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan bagi masyarakat adat itu sendiri lantaran hak pengelolaan diserahkan kepada pemilik modal. “Padahal hak masyarakat adat atas wilayah adat merupakan hak yang bersifat turun-temurun, “ujarnya.
Total hutan yang dikelola Perhutani kini mencapai 2,4 juta hektar. Luas areal kerja perlu dipertahankan sebagai aset negara sekaligus berfungsi dalam menyediakan jasa lingkungan seperti air bersih, oksigen, dan keanekaragaman hayati. Bambang menilai proses percepatan pengukuhan kawasan hutan akan membantu mengurangi konflik tenurial. Namun, hingga kini hanya sekitar 14,24 juta hektar hutan Indonesia yang telah dikukuhkan sebagai kawasan hutan negara.