,

World Day to Combat Desertification: Catatan Kecil Kasus Kehutanan Indonesia

Tanggal 17 Juni 2012, diperingati sebagai Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Sedunia (World Day to Combat Desertification). Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia dinilai memiliki posisi strategis dalam menjaga keberadaan hutan tersebut bagi dunia. Ironisnya, sebagai pemilik salah satu paru-paru dunia terbesar, Indonesia kini justru dihadapkan dengan berbagai masalah kehutanan dan lahan yang masih belum terselesaikan. Banyak kasus-kasus utama, justru masih gelap hingga kini.

Dalam paruh pertama 2012, sejumlah kasus kehutanan besar terus menghiasi laman-laman berita utama di negeri ini. Di Aceh, kasus hancurnya hutan akibat dikonversi ke perkebunan kelapa sawit, menyebabkan sejumlah satwa memasuki wilayah manusia. Di Aceh, kawanan gajah yang lapar memasuki desa untuk mencari makan dan berebut wilayah hidup dengan manusia. Penduduk desa yang terancam pun meracun mereka hingga mati. Menurut catatan Mongabay Indonesia, hingga paruh pertama tahun ini setidaknya 8 gajah Sumatra yang tercatat tewas akibat racun penduduk.

Hal yang sama juga terjadi dengan spesies yang terancam punah, harimau Sumatra. Di Propinsi Jambi, di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, harimau terus terjebak jerat babi hutan dan rusa yang dipasang manusia setelah memasuki wilayah hidup penduduk desa. Peristiwa serupa juga terjadi di Bengkulu. Seekor harimau cacat, dan selebihnya terpaksa direhabilitasi sebelum dikembalikan ke alam liar.

Di Hutan gambut Rawa Tripa, ekspansi perkebunan kelapa sawit membunuh orangutan dan habitatnya. Kasus berawal dari mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf memberikan izin pengelolaan lahan kepada PT Kalista Alam untuk menggunakan 1.605 ha bagi perkebunan sawit, Agustus 2011. Kebijakan ini mendapatkan protes dari kalangan pecinta lingkungan baik di dalam maupun luar negeri. Mereka meminta penghentian izin operasi PT Kalista Alam, karena tak hanya merusak alam, merusak lahan gambut juga mengancam habitat hewan dan tumbuhan yang ada di sana. Tim Satgas REDD + bahkan sempat turun ke lapangan dan melihat terjadi beberapa pelanggaran. Zulkifli mengatakan, lahan 1.605 ha di Rawa Tripa itu berstatus areal penggunaan lain. Artinya, kewenangan penggunaan ada pada pemerintah daerah, bukan Kementerian Kehutanan.

Hutan Sumatra yang kini menjadi perkebunan kelapa sawit. Foto: Rhett A. Butler

Kasus lain terkait kehutanan, adalah lemahnya koordinasi antar-lembaga dalam penanganan berbagai izin terkait bisnis kehutanan di Indonesia. Masih terkait kasus Rawa Tripa, Greenomics Indonesia mempertanyakan kredibilitas dan kualitas data dalam peta indikatif moratorium.  Sebab, ada perbedaan data dari BPN terhadap areal PT Kalista Alam, dengan yang diberikan BPK kepada Satgas REDD+. Terlebih, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) meminta klarifikasi ulang terhadap seluruh data dan informasi terkait perizinan dari BPN, tak hanya PT Kalista Alam. Greenomics Indonesia berpandangan, kedua surat ini menunjukkan bagaimana data dalam penyusunan peta indikatif moratorium itu dibangun.

Di Kalimantan, kasus penebangan liar masih terus terjadi dan mergikan negara sebesar Rp 321 triliun. Berdasar data dari Kementerian Kehutanan, dua organisasi yaitu Indonesia Corruption Watch dan Save Our Borneo, dalam pernyataan bersamanya mengatakan bahwa Propinsi Kalimantan Tengah kehilangan hampir setengah hutan mereka karena banyak perusahaan perkayuan yang beroperasi di wilayah ini ‘cacat izin’.

ICW dan Save Our Borneo menyatakan bahwa 282 perusahaan perkebunan dan 629 perusahaan tambang bertanggung jawab atas terjadinya deforestasi di wilayah seluas 7 juta hektar di propinsi Kalimantan Tengah. “Dari kalkulasi yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, dengan asumsi bahwa setiap hektar hutan bisa menghasilkan 100 kubik kayu, dan dengan ditambah biaya reforestasi 16 dollar serta ganti rugi kayu senilai Rp 60.000 per meter kubik, jumlah total kerugian yang harus ditanggung negara adalah Rp 158 triliun,” diungkapkan dalam pernyataan tersebut. Dalam pernyataannya mereka juga mengungkapkan kerugian serupa senilai Rp 121.4 triliun di Kalimantan Barat, Rp 31.5 triliun di Kalimantan Timur dan Rp 9.6 triliun di Kalimantan Selatan.

Hutan Kalimantan terus terpapas, negara rugi 321 triliun. Foto: Rhett A. Butler

Dari program REDD di Indonesia, kasus terbaru adalah sorotan senator Australia terhadap pelaksanaan program REDD+ di Kalimantan. Kendati program ini dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia, namun Senator Christine Milne, dari Partai Hijau Australia menilai, bantuan Australia lewat AusAID senilai lebih dari 30 juta dollar adalah sebuah pemborosan belaka, dan program REDD di Kalimantan dinilai gagal total, setelah hanya berhasil menanami kembali hutan seluas 1000 hektar, dari target awal 50.000 hektar. Lemahnya pelaksanaan di lapangan, menjadi sorotan utamanya sebagai penyebab kegagalan.

Kasus lainnya terjadi di Papua, berdasar laporan dari Telapak dan Environmental Investigation Agency, sebuah perusahaan kelapa sawit bernama PT Henrison Inti Persada, mengambil alih lahan Suku Moi di Papua dengan harga Rp 6000 rupiah per hektar, untuk lahan senilai 5000 dollar Amerika. Selama penelitian di tahun 2009, EIA dan Telapak telah mewawancarai suku Moi tentang interaksi mereka dengan produsen kelapa sawit PT Henrison Inti Persada (PT HIP). Kendati suku Moi tidak pernah menerima salinan kontrak, namun EIA berhasil menyimpan kontrak dengan tulisan tangan untuk 1.420 hektar hutan.

“Model kesepakatan yang satu sisi seperti ini diwarnai oleh persuasi dan tekanan dari pihak perusahaan yang didukung oleh staf pemerintah lokal, dan sesekali intimidasi dari militer dan kepolisian,” diungkapkan laporan tersebut. “Para pemilik tanah telah bersedia melepaskan hak atas tanah mereka dan dibayar dengan uang tunai di depan, mereka juga dijanjikan untuk mendapat keuntungan lainnya seperti rumah baru, kendaraan, dan pendidikan gratis bagi anak-anak mereka.”

Laporan ini kemudian mengarah pada tuduhan ke negara Norwegia yang mengambil keuntungan dengan melakukan eksploitasi kepada orang Papua dengan berinvestasi di Noble Group, meski negara ini menghabiskan miliaran dollar untuk melakukan start awal di Indonesia untuk menekan deforestasi. Norwegia adalah pendukung utama program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Indonesia, namun pada saat yang bersamaan berinvestasi di Noble Group senilai 50 juta dollar dengan dana mereka yang berlimpah.

Hutan di Papua Barat. Foto: Rhett A. Butler

“Norwegia mungkin sekarang adalah negara investor terbesar -yang secara tidak langsung- dalam deforestasi di Papua dan Papua Barat,” ungkap laporan tersebut, dimana juga ditambahkan bahwa hal ini “Bagaimana sebuah pasar investasi global yang belum direformasi mempertahankan insentif yang kemudian menjadi ancaman terbesar bagi hutan dan kesusesan REDD+.

Berita terbaru datang dari Sumatra, setelah kepulan asap dari propinsi Riau akibat kebakaran hutan dan lahan membutakan udara di sekitar propinsi tersebut, dan menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan masyarakat, molornya jadual penerbanga, dan bahkan menyerang wilayah udara negara tetangga.

Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Sedunia (World Day to Combat Desertification) nampaknya saat yang tepat bagi Pemerintah Republik Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan, untuk melihat lagi lebih serius ke dalam beberapa kasus-kasus di atas, yang mungkin hanya merupakan contoh yang amat kecil, dibandingkan puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu kasus lain yang belum tersentuh dan merugikan anak-anak bangsa sampai sekarang.

Klaim menurunkan tingkat deforestasi dari 3 juta hektar menjadi setengah juta hektar, memang sebuah prestasi. Namun jika dibandingkan dengan dampak sosial dan ekologis yang masih terus terjadi di berbagai kasus di atas, nampaknya data itu untuk sementara bisa dikesampingkan. Masyarakat masih menanti tindakan nyata, untuk memperbaiki kualitas hidup bagi mereka dan generasi di masa mendatang.

Kekayaan hayati seperti Julang Sulawesi bisa sekedar jadi kenangan jika kita gagal menyelesaikan berbagai masalah kehutanan yang terus terjadi. Foto: Rhett A. Butler
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,