Walhi Kaltim: REDD+ Hanya Langgengkan Emisi Negara-Negara Maju

Mekanisme REDD+ yang akan diterakapkan di berbagai wilayah Indonesia, hingga kini masih menimbulkan pro kontra. Mekanisme yang secara umum akan memberikan insentif bagi negara-negara berkembang yang menjaga kelestarian hutan tropis mereka ini, dinilai sebagai sebuah arena bagi negara maju untuk tetap mengeksploitasi bumi dan upaya berhemat dari keharusan menurunkan emisi, sementara negara berkembang akan menjadi lumbung masalah. Salah satunya, adalah potensi konflik dalam distribusi insentif tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim, yang menggelar aksi damai di depan Hotel Aston Samarinda, Rabu 18 Juli 2012. Pada waktu bersamaan, pemangku kebijakan dari 14 Kabupaten/Kota di Kaltim tengah berkumpul di hotel tersebut dalam rangka Lokakarya  Pemberian Input terhadap Draft SRAP (Startegi dan Rencana Aksi Provinsi) REDD + Kaltim.

Deputi Direktur Walhi Kaltim Fathur Roziqin Fen mengatakan REDD merupakan bentuk kesepakatan yang tidak adil. Menurutnya, REDD bukan solusi terhadap persoalan perubahan iklim dan kerusakan hutan. Fathur menilai, skema REDD dimanfaatkan negara maju berbasis industri untuk cuci tangan dari tanggung jawab menurunkan emisi di negara mereka sendiri.

“Dengan REDD, negara seperti Amerika, China, belakangan menyusul Norwegia dan Australia tidak perlu lagi menurunkan emisi akibat industrinya karena sudah merasa membayar kepada negara berkembang,” jelas Fathur kepada Tribun Kaltim.

Dijelaskan Fathur, REDD merupakan mekanisme insentif ekonomi (dana hibah) yang diberikan kepada negara berkembang guna mendorong pengelolaan hutan secara lestari.

“Ini dana besar dengan nilai triliunan. Apalagi dengan pola REDD +, di mana pihak ketiga (swasta) bisa ikut di dalamnya. Tidak hanya swasta luar negeri, tapi lokal juga bisa. Akibatnya, industri lokal bisa saja sesuka hati melakukan eksploitasi alam, karena merasa sudah memberikan dana hibah,” tegasnya.

Tidak hanya itu, menurut Walhi, REDD akan memperpanjang rentetan konflik masyarakat adat dengan lingkungannya. Skema REDD dianggap akan mengikis kearifan lokal masyarakat sekitar hutan.

“REDD akan memutus akses masyarakat yang bergantung terhadap hutannya, dengan dalih penyelamatn hutan dari aktivitas masyarakat. Padahal, masyarakat adat sendiri memiliki budaya, kearifan lokal dalam melestarikan hutan mereka. Yang merusak hutan bukanlah masyarakat adat,” jelasnya.

Sementara itu, menanggapi penolakan yang dilakukan oleh Walhi, kepada Tribun Kaltim Koordinator penyusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) REDD+, Prof Musthofa Agung Sardjono menyatakan mengapresiasi aksi damai yang dilakukan Walhi terhadap rencana penerapan mekanisme REDD + di Kaltim.  “Kita apresiasi dan harus hormati kalau Walhi punya pandangan berbeda. Bahwa mereka berpandangan REDD + hanya akal-akalan negara maju untuk tidak mengurangi emisi mereka,” kata Musthofa, yang ditemui di Hotel Aston, kemarin.

Kendati dianggap masih belum jelas, Menurut Musthofa, REDD + merupakan momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan Indonesia yang kian carut marut. “Jangan dipandang bahwa REDD ini kita melayani kemauan pihak luar, tapi REDD + ini lebih kepada momentum perbaikan tata kelola hutan. Dan perbaikan tata kelola hutan itu tertuang dalam visi SRAP yang kita susun,” jelasnya.

REDD +, kata Musthofa, dapat mendorong pengelolaan hutan secara lestari. Lebih dari itu, REDD + dapat memengaruhi upaya memperoleh ekonomi dari hutan, dengan cara ramah lingkungan dan rasional. “Llantaran terdapat upaya konservasi di dalamnya, sekaligus membuka pengembalian hak masyarakat adat terhadap hutannya,” katanya lagi.

Di dalam pelaksanaan REDD +, terdapat pula pengelolaan masyarakat terhadap hutan. “Jauh sebelum ada REDD + masyarakat sudah terpinggirkan dari hutannya. Justru dengan adanya REDD + ini, kita ingin mengembalikan hak-hak masyarakat terhadap hutannya, tentu dengan cara yang lebih soft,” tandas Musthofa.

Menurut Musthofa, REDD + harus dilihat secara utuh sebagai upaya perbaikan tata kelola hhutan. “Sekali lagi ini momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan, karena momentum seperti ini jarang ditemukan.  Kita jangan hanya menolak-dan menolak tapi tanpa ada upaya memperbaiki juga,” paparnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,