Konflik terkait penguasaan lahan kembali meletup. Setelah minggu lalu konflik berdarah pecah di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan dengan korban satu remaja tewas tertembak dan 4 warga lainnya kritis, dua bentrokan terjadi lagi di Riau hari Sabtu 28 Juli 2012.
Bentrokan di Riau terjadi di dua tempat yakni di Desa Danau Lancang, Kabupaten Kampar dan Desa Batang Kumu, Kabupaten Rokan Hulu. Sabtu siang ratusan warga Desa Danau Lancang Kecamatan Tapung Hulu mendatangi barak-barak pekerja PT RAKA (Riau Agung Karya Abadi) dan membakarnya. Emosi warga tersulut karena mereka memergoki perusahaan melakukan pemanenan sawit di lahan konflik.
Konflik antara warga desa dengan PT RAKA sudah berlangsung beberapa kali di tahun ini. Bahkan pada tanggal 7 Mei 2012 terjadi bentrokan fisik dengan 6 korban penembakan. Bukan saja di Tapung Hulu, PT RAKA juga berkonflik dengan masyarakat di Kecamatan Tapung Hilir.
Sementara di hari yang sama warga Desa Batang Kumu, Rokan Hulu bentrok dengan PT Mazuma Agro Indonesia (MAI). Tiga rumah warga dirusak. Pada 2 Februari 2012 lalu, konflik warga dengan PT MAI menelan korban 5 luka akibat penembakan. Saat kejadian pihak keamanan perusahaan dibantu puluhan Brimob BKO Polda Sumatra Utara.
Berdasarkan data LSM Scale Up, Riau merupakan provinsi dengan tingkat kerentanan konflik tertinggi pertama dari empat provinsi yang sering terjadi konflik agraria di Sumatra. Pada tahun 2011 terdapat 34 konflik pada luas 262.877 hektar lahan di Riau, sementara di Sumatra Selatan luas lahan yang berkonflik 192.500 hektar dan di Jambi terdapat 176.335 hektar yang diperebutkan antara warga dengan perusahaan.
“Ini akan terus terjadi jika pemerintah tidak melihat pangkal masalahnya yang terdapat justru di kebijakan agraria, cara pandang pemerintah dalam membuat regulasi yang terlalu pro investasi dan penguasaan lahan. Bahkan untuk kawasan Area Penggunaan Lainnya (APL) saja jika dilihat sekarang ini penguasaan kawasan hutan hampir 100 persen diberikan ke sektor swasta. Peluang masyarakat sangat kecil,” kata Harry Octavia, Wakil Direktur Scale Up kepada Mongabay Indonesia hari ini.
Penelitian di Riau menunjukkan bahwa jumlah konflik berdasarkan sektor usaha pada 2011, 16 konflik terjadi di sektor usaha perkebunan dengan luas lahan 39.246 hektar dan 14 di kehutanan dengan luas 262.877 hektar.
Direktur WALHI Riau, Hariansyah Usman mengatakan, penyelesaian konflik lahan saat ini hanya ada di atas kertas tanpa eksekusi di lapangan. Konflik masyarakat dengan PT RAKA seharusnya tidak terjadi jika pemerintah lokal mengeksekusi temuan ribuan hektar lahan yang digarap perusahaan tanpa memiliki izin.
“Daerah itu dampingan WALHI. Terakhir pemerintah daerah mengungkapkan temuan bahwa ada lahan yang digarap tanpa izin. Temuan itu harus direalisasikan di lapangan tidak menjadi sekadar informasi bagi media dan masyarakat. Konflik terjadi sekarang ini adalah dampak dari ketidaktegasan pemerintah. Selain itu pemerintah juga harus mengedepankan dialog dengan turun ke masyarakat yang berkonflik untuk membicarakan pengelolaan kawasan,” kata Hariansyah.
Sementara Komisi Mediasi Konflik Dewan Kehutanan Nasional, Ahmad Zazali mengatakan, kompetisi kepemilikan lahan di Riau berada pada level perang.
“Pembiaran konflik tanpa solusi inilah yang menaikkan situasi pada level perang. Ini artinya berkeinginan menghancurkan lawan atau menghalalkan secara cara. Masyarakat yang tidak memiliki modal semakin tertekan oleh pemodal besar yang memiliki relasi di pemerintah. Masyarakat frustasi. Tidak percaya pada alat negara untuk membela mereka,” ujar Zazali kepada Mongabay
Selain frustasi masyarakat dan ketidakpercayaan pada negara, berlarutnya konflik lahan ini juga terjadi karena tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik di sektor kehutanan. Padahal hampir 70% penguasaan lahan ada di wilayah kerja kementrian kehutanan dan perkebunan dan hanya 30% di kawasan non hutan yang di kelola badan pertanahan.
Begitu juga mekanisme penyelesaian konflik dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan hanya menyebutkan bahwa konflik bisa diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan penyelesaian di pengadilan.
“Mekanisme di undang-undang juga tidak menegaskan bagaimana menjalankan penyelesaian musyawarah. Padahal harus diperjelas siapa saja yang terlibat. Dan kita (DKN) saat ini sedang mendorong agar ada pejabat setingkat direktur di kementrian yang memiliki fungsi khusus untuk konflik. Sementara di tingkat daerah, bisa dibuat badan atau lembaga penyelesaian konflik secara lebih permanen,” Kata Zazali.
Sementara terkait dengan keterlibatan aparat kepolisian, Direktur WALHI Riau, Hariansyah mengatakan, pihak kepolisian harus bisa objektif dan profesional melihat kasus yang terjadi di setiap wilayah konflik.