Padi bagi masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar bukanlah sekedar komoditas pangan belaka, tetapi simbol dari kehidupan. Sebuah karunia dari sang Pencipta yang dipersonifikasikan sebagai Nyi Pohaci. Padi tidak boleh diperjualbelikan, siklus dan budi daya sistem pertanian diatur lewat aturan adat.
“Sampurasun wilujeng macag tina acara Seren Taun ka-644” (selamat datang, di acara Seren Taun yang ke 644) demikian suara dari mikrofon itu menyapa para tamu yang hadir di Ciptagelar. Rasa lelah dan penat karena sebelumnya terguncang berjam-jam dalam kendaraan jip berpenggerak empat roda, -melewati punggungan hutan hujan pegunungan Halimun, terasa hilang sudah.
Secara administratif, kampung Ciptagelar berada di wilayah dusun Sukamulya, desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, kabupaten Sukabumi.
Ciptagelar sore itu seolah bersolek untuk menyambut upacara adat Seren Taun. Debu kemarau yang beterbangan, tampaknya tidak bisa mengalahkan kesemarakan persiapan acara ini. Tidak saja orang dari Ciptagelar sendiri, namun ribuan tetamu dari berbagai daerah hadir di hajat besar ini.
Untuk menggambarkan besarnya hajatan ini, maka telah dipersiapkan 2 ekor kerbau, 1 drum minyak sayur, 2 drum minyak tanah, lebih dari 5 karung gula, 2 karung bawang, dan tidak terhitung jumlah ayam, gula merah, kelapa, kopi dan sayur. Seluruh rentetan acara dipersiapkan secara swadaya oleh masyarakat melalui iuran kolektif (ngalaukeun) yang dikumpulkan oleh Baris Kolot dari 568 kampung yang tergabung dalam Kasepuhan Adat Ciptagelar.
Bagi masyarakat adat Kasepuhan, haram hukumnya membiarkan orang maupun tetamu yang hadir kelaparan. Dalam acara seperti Seren Taun ini, tamu dipersilakan secara swalayan mengambil hidangan sendiri di ruang tamu Imah Gede yang hidangannya telah dipersiapkan oleh 19 baris bikang (barisan para ibu) yang bekerja bergiliran siang dan malam untuk memastikan kesuksesan acara.
Demikian pula, untuk menghibur tetamu yang hadir sepanjang Seren Taun, setiap malamnya secara paralel dilangsungkan acara hiburan di 8 panggung berbeda. Acara hiburan tersebut mencakup pementasan kesenian tradisional seperti golek dan perkusi bambu dogdog lonjor, jipeng, topeng hingga yang modern jaipong dangdut (pongdut). Para tamu yang hadir dapat memilih hiburan yang ingin ditontonnya.
Padi, Bagian Tidak Terpisahkan dari Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan
Terletak di antara lembah pegunungan Halimun, warga kasepuhan adalah masyarakat adat yang bersandar kepada budidaya padi. Sebelum negara Indonesia terbentuk, bahkan jauh sebelum bangsa Barat pertama sampai ke kepulauan Nusantara, maka 644 tahun yang lalu (1368 M), komunitas adat Kasepuhan Ciptagelar telah menyelenggarakan ritual perayaan padi yang eksis hingga saat ini.
Dalam sisi filosofis masyarakat adat Ciptagelar, seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Dari padi ditanam hingga padi dipanen, maka terdapat berbagai macam ritual yang dilakukan yaitu: Ngaseuk, Sapang Jadian Pare, Selamatan Pare Ngidam, Mapag Pare Beukah, Upacara Sawenan, Syukuran Mipit Pare, Nganjaran/Ngabukti dan Ponggokan. Seren Taun sendiri adalah ritual terakhir dari proses tersebut, sebagai wujud syukur terhadap anugerah alam.
Dengan konsep kosmos, padi dengan demikian menjadi pusat kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk penghormatan tertinggi, padi dipersonifikasikan sebagai seorang dewi, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang menampakkan dirinya dalam bentuk padi. Karena padi adalah pasangan hidup manusia, maka sudah menjadi kewajiban manusia untuk terus merawatnya, sejak ia ditabur di sawah hingga waktu panennya kelak. Dengan filosofi ini, maka masyarakat kasepuhan pantang untuk memperjualbelikan padi.
Berbeda dengan pola pertanian intensifikasi, maka siklus panen padi di Kasepuhan hanya dilakukan satu kali setahunnya selama 5-6 bulan untuk selebihnya di istirahatkan. Masyarakat adat percaya bahwa tanah perlu dipulihkan, dikembalikan untuk mencapai keseimbangan dan keselarasan alam. Lahan pertanian padi tidak boleh menggunakan kimia, kecuali menggunakan bahan yang tersedia di alam. Dengan pelbagai kearifan lokal ini, maka di Ciptagelar tidak pernah terjadi serangan hama padi seperti sering terjadi di tempat lain yang mempraktekkan pertanian intensif.
Dari akumulasi pengetahuan berabad-abad, maka lumbung-lumbung masyarakat Kasepuhan merupakan bank genetik dari berbagai varietas padi. Aki Karma, salah seorang Baris Kolot menyampaikan kepada Mongabay.co.id bahwa setidak-tidaknya terdapat 140 jenis varietas padi yang dikenal oleh masyarakat adat Ciptagelar. Seluruh varietas padi ini terawetkan dalam lebih dari 8.000 lumbung yang ada di seluruh wilayah kasepuhan.
Padi yang tersimpan di lumbung tidak dipisahkan dari tangkainya, tetapi tetap tergantung dalam keadaan terikat menggunakan tali bambu (pocongan). Pocong-pocongan padi disimpan pada galah bambu dengan menggunakan batang kayu yang bercabang. Maksud penyimpanan padi dengan cara ini adalah agar padi dapat mengering selama dibawa dan tetap dapat dipertahankan kadar airnya. Sistem penyimpanan ini menyebabkan padi menjadi tidak rusak akibat kelembaban.
Bentuk leuit yang unik; berpintu satu, berbentuk rumah panggung kecil dan beratap rumbia dirancang agar lumbung tidak bocor dan tidak mudah untuk dimasuki oleh hewan seperti tikus.
Rata-rata setiap keluarga di Ciptagelar memiliki beberapa lumbung padi kecil, dimana satu lumbung dapat menampung 500-1.000 pocong padi. Umumnya 1.000-2.000 pocong padi ekuivalen untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan untuk satu keluarga selama setahun. Secara produktivitas, sebuah lahan sawah berukuran 1 patok (400 meter persegi) dapat dihasilkan rata-rata 50-60 pocong padi.
Sesuai dengan penuturan Aki Karma, berdasarkan pengalamannya selama ini, bulir padi yang telah dipanen lebih dari puluhan tahun lalu pun masih dapat ditanam kembali di sawah.
Ngadiukeun: Puncak Acara Seren Taun
Minggu (2 September 2012), merupakan Puncak acara Seren Taun ditandai dengan Upacara Ngadiukeun, atau memasukkan dan mendudukkan ikat padi secara simbolik ke lumbung keramat Leuit si Jimat oleh Sesepuh Girang (Pimpinan Adat) Kasepuhan Ciptagelar yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Prosesi ini dimulai melalui pembacaan doa dan mantra melalui pantun seloka yang pada intinya mensyukuri atas restu alam semesta dan leluhur yang telah menjaga masyarakat Ciptagelar.
Sebagai pemimpin adat, abah Ugi membawahi lebih dari 30.000 masyarakat di 568 kampung di seluruh pegunungan Halimun yang secara turun-temurun tergabung dalam kekerabatan kesatuan adat Kasepuhan Ciptagelar. Abah Ugi sendiri menjabat pimpinan adat sejak tahun 2007, menggantikan Abah Anom, ayahnya yang meninggal dunia.
Leuit si Jimat adalah lumbung padi yang terdapat di tengah-tengah kampung Ciptagelar. Lumbung ini mampu menampung hingga 8.700 pocong padi. Leuit si Jimat sekaligus berfungsi seperti “bulog” yang diperuntukkan bagi masyarakat ketika mereka membutuhkan pinjaman padi.
Menurut penuturan Aki Ukad, salah satu Baris Kolot Ciptagelar, sejak 17 tahun terakhir ini masyarakat Kasepuhan Ciptagelar telah berhasil berswasembada padi. Untuk tahun ini saja terdapat tambahan 100 lumbung baru untuk menyimpan hasil panenan padi baru di seluruh Kasepuhan Ciptagelar.
Ketika di tempat lain harga bahan pangan naik karena inflasi, maka masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar tetap aman dengan kemandirian ketahanan pangan yang dimilikinya.
Tulisan Lanjutan: Konsep Tata Ruang Kasepuhan Ciptagelar dan Konflik Zonasi Lahan dengan Taman Nasional