Hari ini tanggal 5 November kita memperingati Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Satu hari, yang didedikasikan secara khusus untuk meningkatkan kepedulian, perlindungan dan rasa cinta kepada satwa khas Indonesia. Hari khusus yang pertamakali diperingati tahun 1993 ini, biasanya diperingati dengan berbagai simbol cinta satwa di berbagai daerah.
Seperti misalnya tahun lalu, di kota Bekasi 30 ekor burung dilepas ke udara sebagai simbol sebuah kebebasan dan cinta terhadap satwa. Tahun ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia membentuk sebuah tim tanggap darurat untuk kasus-kasus satwa (yang bahkan sudah sering terjadi entah sejak kapan), lalu berbagai acara simbolis seperti berbagai lomba mewarnai untuk anak-anak juga digelar. Semuanya seru, semuanya ramai, dan semua bertema satwa.
Pertanyaannya, apakah hal ini yang seharusnya dilakukan untuk mengingat kembali perlindungan dan kepedulian publik terhadap satwa khas Indonesia yang laju kepunahannya semakin cepat? Mungkin ada bagusnya kita tilik kembali berbagai fakta yang terjadi di bawah ini. Fakta-fakta yang benar-benar segelintir dan hanya melingkupi satu dimensi: perlindungan satwa. Halaman ini terlalu terbatas jika harus membeberkan ribuan kasus yang menimpa satwa Indonesia dan habitatnya setiap tahun dari berbagai dimensi di tanah air kita ini.
Habitat Terumbu Karang yang Semakin Mengenaskan
Dari kondisi habitat terumbu karang dan ikan di perairan Indonesia, berdasar data tahun 2011 yang dihimpun dari 1.076 stasiun pengamatan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, hanya 5,58 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik dan 26,95 persen baik. Sisanya sebanyak 36,90 persen berkondisi cukup dan 30,76 persen kurang baik.
Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Zainal Arifin, mengatakan, kerusakan terumbu karang ini akibat dari ulah para nelayan yang masih menggunakan teknik-teknik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, seperti bubu, lampara dasar, kelong, gillnet, racun, dan bom.
“Hal tersebut yang menyebabkan kerusakan terumbu karang terus meningkat dari tahun ke tahun. Ini memprihatinkan, karena cara tersebut merusak terumbu karang dan hanya 5,48 persen terumbu karang di Indonesia dalam kondisi sangat baik,” kata Zainal Arifin, ketika ditemui VivaNews, pada acara workshop Coral Reef Information and Training Center (CRITC) di Jakarta, 1 November 2012.
Orangutan Masih Ditembaki, Gajah Masih Diracun
Hal lain yang juga baru terjadi adalah penyiksaan satwa dilindungi karena dianggap sebagai hama perkebunan sawit setelah tanggal 10 Oktober silam, seekor orangutan ditemukan dalam keadaan sekarat penuh bekas luka tembak di tubuhnya di perkebunan kelapa sawit, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Tak kurang dari 104 peluru senapan angin bersarang di tubuh Aan. Beberapa diantaranya bahkan bersarang di organ-organ utama, seperti jantung dan paru-paru. Aan ditemukan oleh tim penyelamat SKW II-BKSDA Kalimantan Tengah dan tim Orangutan Foundation.
Laporan dari tempo.co ini juga menyebutkan, beberapa peluru bahkan bersarang di mata dan telinga Aan, sehingga membuatnya kehilangan kemampuan untuk melihat dan mendengar. Menurut dokter yang merawat Aan dari Orangutan Foundation, drh. Zulfiqri, mata kiri Aan sudah buta saat dibawa keluar dari perkebunan sawit.
Hal yang sama terjadi dengan gajah Sumatera. Berbagai kasus kematian gajah Sumatera akibat diracun warga karena memasuki kebun sawit, masih kerap terjadi hingga kini, di tahun 2012 saja tak kurang antara 10-12 kasus kematian gajah masih terjadi di kebun sawit.
Tak heran, jika IUCN (International Union for Conservation of Nature) menaikkan kelas gajah Sumatera menjadi kritis atau ‘critically endangered’, setelah sebelumnya masuk di kategori ‘endangered’ atau terancam. Begitu pula dengan orangutan Sumatera, yang masuk kategori kritis, sementara saudaranya di Kalimantan masih masuk dalam kategori terancam.
Perdagangan Satwa Eksotis Indonesia Masih Marak
Dalam sebuah studi yang dilansir baru-baru ini jurnal Biodiversity and Conservation, antara bulan September 2010 dan April 2011, Daniel Natusch dan Jessica Lyons dari Universitas New South Wales Australia telah melakukan survey terhadap para pedagang reptil dan amfibi di propinsi Maluku, Papua Barat dan Papua.
Para penulis menemukan beberapa jenis spesies yang hingga kini masih banyak diperdagangkan, diantaranya: ular piton hijau (Morelia viridis), ular piton boelen (Morelia boeleni), kadal leher berumbai (Clamydosaurus kingii), Kura-kura Papua/snapping turtle (Elseya brndenhorsti), kadal lidah biru (Tiliqua Scincoides), katak pohon hijau (Litoria caerulea), dan beberapa spesies dari biawak (Varanus sp.)
Menurut hasil kajian ini, sekitar 5.370 individu dari 52 spesies berhasil ditemukan untuk diperdagangkan. Setidaknya sekitar 44% adalah dilindungi atau tidak untuk ditangkarkan, hal ini menjadikan perdagangan jenis-jenis spesies ini ilegal. Sekitar setengah dari jumlah spesies yang ditemukan ini tercatat dalam CITES atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna.
Peruburuan Hiu demi Nafsu Kuliner
Di negara kita, perburuan hiu sudah dimulai sejak era 1970-an, dan Indonesia adalah penyuplai sekitar 14% dari kebutuhan sirip hiu dunia antara tahun 1998 hingga 2002. Terkait dengan meningkatnya pasar bagi sirip hiu untuk dikonsumsi, maka tingkat perburuan ikan hiu di Indonesia juga terus meningkat. Perburuan ikan hiu di Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1000 Metrik ton di tahun 1950, menjadi 117.600 metrik ton di tahun 2003 dengan nilai ekspor mencapai 6000 Dollar AS di tahun 1975 dan membengkak hingga lebih dari10 juta dollar di tahun 1991. Sebagian besar sirip hiu ini dikonsumsi oleh para penikmat kuliner kelas hotel bintang lima dan sebagian restoran yang menyediakan masakan Cina kelas atas.
Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia, setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara, namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990-an dan kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur Indonesia.
Penegakan Hukum Hemah, Habitat Semakin Tergerus
Semua contoh kasus di atas, nampaknya bisa dihindari jika pemerintah Indonesia, lewat berbagai otoritasnya di lapangan berani mengambil sikap yang tegas terhadap para pelaku pelanggaran hukum. Lemahnya penegakan hukum ini, berdampak secara langsung pada laju turunnya luasan habitat dan populasi satwa di Indonesia.
Seperti yang sudah terjadi di Kalimantan Timur, para pelaku penyiksaan terhadap orangutan hanya dijatuhi hukuman ringan. Vonis Pengadilan Negeri Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur menjatuhkan hukuman 8 bagi dua terdakwa, yaitu Tajar dan Tulil adalah karyawan PT Cipta Prima Selaras, sementara dua terdakwa lain Leswin, dan Tadeus, karyawan PT Sabhantara Rawi Sentosa hanya dijatuhi 10 bulan penjara. Kasus serupa di Kutai Barat pun berakhir sama.
Ekspansi perkebunan dan industri kehutanan yang tidak disertai analisis mengenai dampak lingkungan yang sering diterabas, pengambilalihan lahan dan hutan tanpa prosedur hukum yang sah, serta kekuatan modal untuk mengubah keputusan hukum penguasa setempat, masih menjadi momok menakutkan bagi puspa dan satwa di Indonesia.
Cinta itu memberi BUKTI, bukan JANJI…..