COP-18: Konvensi Hukum Yang Tegas Diharapkan Bisa Mengikat Komitmen Lingkungan Negara-Negara Maju

Dari Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim yang tengah berlangsung di Doha, Qatar, dikabarkan tekanan dari aktivis lingkungan Indonesia agar tercipta sebuah konvensi yang memiliki ikatan hukum yang tegas semakin menguat. Para aktivis lingkungan meminta agar utusan Indonesia bisa melakukan yang terbaik agar tujuan ini bisa tercapai.

“Ini adalah sebuah kesempatan yang baik untuk mengejar target mencapai konvensi yang memiliki ikatan hukum,” ungkap Avi Mahaningtyas, dari Kemitraan kepada kantor berita Cina, Xinhua. Lebih lanjut Avi menyatakan bahwa para negosiator dari Indonesia akan menghadapi tugas berat dalam konferensi ini seiring dengan keengganan negara-negara maju untuk mematuhi kewajiban yang mengikat secara hukum setelah berakhirnya Protokol Kyoto pada akhir tahun ini.

Dari ruang sidang sendiri, salah satu isu penting yang dibahas dalam rangkaian konferensi ini adalah mengenai isu adaptasi terhadap perubahan iklim.  Isu adaptasi dibahas dalam tiga jalur negosiasi yaitu Subsidiary Body for Implementation (SBI), Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Ad hoc   Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA).

Dalam jalur negosiasi SBI, ada tiga sub item  isu adaptasi yang dibahas yaitu mengenai National Adaptation Plans (NAPs), Komite Adaptasi dan Pengembangan Kapasitas untuk Adaptasi. NAPs menjadi agenda prioritas dalam COP18 karena merupakan isu fundamental dalam tahapan pelaksanaan adaptasi. NAPs menjadi prioritas utama bagi negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga (Least Development Countrys / LDCs).

Sekretaris Pokja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Ari Muhammad menjelaskan dalam persidangan agenda Komite Adaptasi di bawah SBI, merekomendasikan tiga tahun rencana kerja (workplan) yang telah dilaporkan kepada SBI pada tanggal 1 Desember, 2012 yang lalu.

Ari mengatakan dalam rilis resmi Delegasi RI ke COP-18, beberapa pihak mengharapkan Komite Adaptasi dapat menghasilkan kesimpulan sementara dan merekomendasikan kepada SBI, untuk kemudian menuntaskan isu lainnya seperti mekanisme kerja yang dapat memenuhi harapan masyarakat dunia.

Sedangkan dalam jalur negosiasi SBSTA,  Ketua sidang menyampaikan usulan draft kesimpulan yang akan menjadi rekomendasi SBSTA/SBI kepada COP18. Poin utama adalah menyepakati rancangan rencana kerja tiga tahun komite adaptasi yang diharapkan dilaporkan pada COP19 mendatang, khususnya mengenai kemajuan dari pelaksanaan rencana kerja.

Delegasi RI sendiri mengharapkan adanya kesepakatan mengenai hal-hal yang bisa diimplementasikan, seperti dalam hal pendanaan, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Dan disepakatinya rencana kerja selama tiga tahun.

Dalam konferensi yang dijadualkan berakhir pada tanggal 10 Desember 2012 ini, delegasi Indonesia bertugas untuk melakukan lobi dengan delegasi lainnya untuk memperpanjang berlakunya Protokol Kyoto.

Menurut Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar,  jika di Doha ada negara yang mengusulkan penggantian Protokol Kyoto, maka dia berharap isinya masih mengacu “Bali Road Map” dan “Bali Action Plan” yang disepakati oleh negara-negara peserta UNFCCC pada bulan Desember 2007.

Protokol yang disepakati oleh para pihak yang mengikuti Konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change di bulan Desember 1997 di Kyoto, Jepang ini, menetapkan target bagi 37 negara industri dan Uni Eropa untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5,2% dari level emisi tahun 1990 antara periode 2008 hingga 2012. Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono dianggap memiliki langkah yang berani dengan mematok target mengurangi emisi sebesar 26% dari BAU (Business as Usual) dan 41% dengan bantuan asing di tahun 2020. Upaya yang dituangkan melalui skema REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) ini disampaikan secara terbuka dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat bulan September 2009 silam.

Janji presiden ini menuai pujian internasional, salah satunya dari Norwegia yang menggelontorkan 1 miliar Dollar AS untuk membantu pelaksanaan proyek REDD dan REDD+ di Indonesia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,