Trend Kulit Ular Fashion Dunia Akan Musnahkan Reptil Indonesia Lebih Cepat

Sejak lama, kulit ular lekat dengan dunia busana perempuan atau yang lebih sering disebut ‘fashion’. Kulit ular, adalah komoditi mahal dan eksotik bagi banyak produsen pakaian, tas, sepatu dan jaket berkat corak unik yang melekat dari kulit satwa melata ini. Banyak produsen kelas dunia memiliki produk dengan bebahan dasar kulit ular. Selebriti dunia, seperti Kylie MInogue, juga beberapa kali ditemui menenteng tas bermotif kulit ular.

Semua produsen pakaian dan sepatu tersebut selalu berkelit bahwa mereka mendapat bahan mentah kulit ular dari satwa yang sudah ditangkarkan, dan bukan dari alam liar. Namun laporan terakhir dari lembaga TRAFFIC dan International Trade Center membuktikan sebaliknya, ada sebuah rantai perdagangan ilegal kulit ular piton di Asia Tenggara yang menyuplai kebutuhan kulit ular untuk kebutuhan fashion dunia.

Proses pembunuhan ular untuk diambil kulitnya. Foto: O. Caillabet

Menurut salah satu penulis dari International Trade Center, Olivier Caillabet,”Saya sudah mengunjungi puluhan ‘penangkaran piton’ namun hanya satu yang menangkarkan, sisanya hanyalah kedok belaka untuk menyimpan ular-ular piton yang dtangkap dari alam.”

Negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Kamboja, Thailand selalu mengklaim mereka melakukan penangkaran ini, namun para pemerhati lingkungan menyatakan tak mungkin ada penangkaran ini karena ular piton itu terlalu besar untuk bisa ditangkarkan dan terlalu mahal untuk dibiarkan di alam liar.

Pada prakteknya, penangkaran ini banyak membayar warga desa lokal untuk menangkap ular dengan bayaran murah.

Tabel: Negara Sumber Ular Sanca Kembang. Klik untuk memeprbesar tabel

Satu hal yang paling disayangkan adalah, kendati pemerintah tahu bahwa kisah-kisah penangkaran ular piton itu hanya mitos belaka, namun mereka tetap menyebut bahwa komoditi ini sebagai sesuatu yang legal. Lebih dari 350.000 dari ular sanca kembang (reticulated phyton/Phyton reticulatus) setiap tahun dikirim ke Eropa tahun 2005 dan jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tak pernah ada data yang jelas berapa banyak penangkaran ular yang sudah berkontribusi dalam ekspor ini, atau semua ular itu berasal dari alam liar secara ilegal. Setidaknya setiap tahun sekitar satu juta kulit ular sanca kembang ini berangkat ke AS dan Eropa dalam keadaan terpisah dari tubuhnya. Antara tahun 1985 hingga tahun 1998, Indonesia sudah mengekspor 4,5 juta ular sanca kembang, baik dalam keadaan mati maupun kulitnya saja.

Tabel: Negara Sumber Ular Peraca. Klik untuk memperbesar tabel

Kebanyakan ular yang ditangkap berusia antara 3 hingga 4 tahun oleh sepasukan penangkap ular yang bekerja di ladang rumput dan hutan. Mereka menjebak ular dengan memasang jaring, jebakan hingga umpan berupa hewan. Ular yang sudah tertangkap, dimasukkan ke dalam karung dan dikirim untuk dikuliti.

Di Indonesia, menurut laporan dari TRAFFIC dan ITC ini bisnis pengulitan dan penangkapan ular ini mempekerjakan sekitar 175.000 orang, dimana 150.000 orang diantaranya adalah penangkap ular. Selebihnya adalah bagian menguliti ular dan agen penjualan.

Dua jenis ular yang paling populer untuk bahan pakaian dan tas adalah ular peraca (Phyton curtus) dan ular sanca kembang (Phyton reticulatus). Namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan jenis ular apapun sepanjang memiliki corak yang bagus di tubuh mereka, baik itu ular laut, ular sungai, kobra, anakonda atau apapun.

Tabel: Tujuan ekspor kulit ular asal Indonesia. Klik untuk memperbesar tabel

Hingga kini, Uni Eropa adalah importit terbesar kulit ular . Antara tahun 2000 hingga 2005 diperkirakan 3,4 juta kulit ular dikirim ke Eropa. Italia adalah konsumen terbesar untuk kulit reptil untuk membuat dompet, tas, ikat pinggang dan sepatu. Jerman adalah negara kedua terbesar, diikuti oleh Perancis.

Semua produk jadi itu dikespor kembali oleh Uni Eropa. Negeri Paman Sam, atau AS, adalah importir sekitar 50% dari  produk kulit reptil buatan Italia, lalu diikuti oleh Jepang dengan 35%, sisanya sekitar 15% dipasarkan di Eropa sendiri. Kulit ular piton yang sudah siap pakai harganya sekitar 10.000 dollar AS. Nilai impor Amerika Serikat sendiri untuk berbagai produk jadi dari bahan kulit reptil adalah sekitar 257 juta dollar AS per tahun.

Perdagangan satwa liar dan turunannya, termasuk kulit ular sudah diatur secara globa dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Namun pelaksanaannya terbukti sulit di lapangan. Misalnya di negara bagian California, perdagangan ular piton sudah dilarang selama 25 tahun, namun peraturan serupa tidak diberlakukan di negara bagian lain, atau di negara sumbernya seperti di Eropa.

Hasil akhir dari penyiksaan ular piton. Foto: R. Arbeid

Amerika Serikat sendiri bersama dengan 114 negara lainnya sudah menandatangani CITES untuk mengimplementasikan pelarangan perdagangan kulit dan bulu satwa terancam, namun pelaksanaannya juga sulit. Hingga kini hanya sekitar 20% barang yang masuk ke AS melewati inspeksi resmi imigrasi.

Lagi-lagi lemahnya peraturan dan ketidaksinkronan aturan antara satu negara dengan negara lain sebagai mata rantai perdagangan dunia, akan memusnahkan ular piton lebih cepat dari yang diperkirakan, demi memenuhi kebutuhan gaya selebriti dunia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,