Indonesia Harus Perkuat Instrumen Hukum Global Merkuri

Draf konvensi pengaturan merkuri global dinilai masih banyak kelemahan. Delegasi Indonesia diharapkan berperan memperkuat itu. Organisasi masyarakat sipilpun memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah RI.

Pada 13-18 Januari 2013,  akan ada pertemuan kelima panitia negoisasi antar-negara (intergovermental negoitating committee/INC). Pertemuan ini mempersiapkan instrumen hukum global yang mengikat mengenai mercuri. Untuk itu, kalangan organisasi masyarakat sipil,  seperti Walhi, Yayasan Bali Fokus, Greenpeace, dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mendesak delegasi pemerintah Indonesia, agar berusaha sekuat tenaga memperkuat substansi dari perjanjian global ini.

Organisasi masyakarat sipil menilai, draf konvensi pengaturan merkuri ini tidak sekuat yang diharapkan. Ada beberapa kelemahan dari draf konvensi INC5 ini. Antara lain, tidak ada kewajiban bagi pencemar membersihkan lokasi yang tercemar, membayar biaya pembersihan, serta tidak ada kewajiban memberi kompensasi kepada korban.

Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi mengatakan, instrumen hukum global tentang merkuri ini sangat penting. Sebab, sifat zat ini tergolong sebagai bahan berbahaya beracun. “Ketika masuk ke lingkungan dapat menimbulkan dampak besar dan berjangka panjang. Sifatnya tak dapat terurai di alam dan bisa mengakibatkan bioakumulasi ketika masuk ke dalam rantai makanan,” katanya dalam pernyataan kepada media di Jakarta, Rabu(9/1/13).

Tragedi Minamata tahun 1950-an, salah satu contoh tragedi industri terbesar dalam sejarah. Di mana pencemaran merkuri mengakibatkan dampak kesehatan jangka panjang, hingga saat ini belum diselesaikan tuntas dan memenuhi rasa keadilan para korban.

Dyah Paramita dari ICEL mengungkapkan, delegasi pemerintah Indonesia,  berkewajiban memastikan substansi konvensi ini benar-benar kuat hingga bisa memberikan perlindungan warga negara terhadap ancaman bahan kimia berbahaya seperti merkuri.

Penelitian organisasi masyarakat sipil di Indonesia menunjukkan pelepasan merkuri ke lingkungan, terutama di badan-badan air jika tidak dilakukan pencegahan sejak dini sesuai precutionary principle (prinsip kehati-hatian dini) khawatir timbul dampak kesehatan serius bagi masyarakat.

Penelitian Greenpeace Indonesia, menemukan berbagai bahan kimia berbahaya seperti merkuri dibuang industri ke Sungai Citarum. Bahan-bahan kimia berbahaya ini bisa terakumulasi dalam rantai makanan manusia dan mengancam kesehatan manusia pada akhirnya.  “Satu-satunya cara mengatasi pencemaran bahan kimia berbahaya industri dengan memastikan bahan itu tidak digunakan sedari awal produksi, atau nol pembuangan,” kata Ahmad Ashov, Pengkampanye Toksik Greenpeace Indonesia.

Pelepasan senyawa merkuri ke lingkungan yang cukup besar juga terjadi di pembangkit-pembangkit listrik tenaga batubara (PLTU batubara). Menurut Pius, emisi merkuri dari pembangkit listrik tenaga batubara adalah sumber tunggal terbesar pencemaran merkuri global. “Diperkirakan 80 persen merkuri elementer dilepaskan ke udara dari aktivitas manusia, khusus dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, kayu, migas. Lalupertambangan, smelter, dan pembakaran sampah.”

Tak hanya itu, penamaan dengan kata ‘konvensi’ menjadi permasalahan pelik yang perlu diputuskan dengan mekanisme lebih adil. Yuyun Ismawati, Advisor BaliFokus dan Indonesia Toxics-Free Network menyatakan, draf perjanjian merkuri ini sangat lemah dan tidak mencerminkan kebijakan maupun tindakan-tindakan yang bisa mencegah tragedi Minamata modern.  “Lebih dari 30.000 korban Minamata menderita sejak 50 tahun lalu, sampai sekarang masih memperjuangkan pengakuan dan kompensasi dari pemerintah Jepang,” ujar dia.

Organisasi masyarakat ini mengingatkan, perjanjian mengikat tentang merkuri global ini  harus menjadi satu perjanjian kuat, hingga bisa meminimalkan risiko dampak gangguan kesehatan terhadap masyarakat.

Merekapun mengajukan beberapa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.  Pertama, delegasi pemerintah RI harus berupaya sekuat tenaga memperkuat draf konvensi dan memastikan tidak lebih lemah dari peraturan di Indonesia. Untuk itu, beberapa prinsip yang diadopsi pemerintah Indonesia dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), prinsip pencemar pembayar (polluters pay principle), serta prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle) harus tercermin dalam substansi konvensi.

Dua, Indonesia segera memberlakukan phase-out (penghapusan berangssur-angsur) pemakaian merkuri dalam rantai produksi, dan pengelolaan limbah merkuri secara terencana. Hingga tercapai zero-discharge merkuri ke lingkungan, dengan penjangkaan waktu jelas dan transparan.

Ketiga, Indonesia segera memenuhi hak warga untuk mengetahui sumber-sumber mekuri dan pelepasan merkuri, dan bahaya merkuri bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Caranya, melalui sistem informasi transparan dan mudah diakses publik. Keempat, Indonesia bisa memperluas partisipasi masyarakat dalam Tim Teknis Merkuri Indonesia. Tidak hanya dibatasi kalangan industri.

Terakhir, pemerintah segera menetapkan daftar prioritas nasional penghapusan bahan berbahaya dan beracun. Termasuk, rencana aksi penghapusan, yang transparan dan terbuka, serta melibatkan partisipasi masyarakat luas.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,