,

Talang Mamak, Hak Ulayat Musnah Diterjang Budaya Uang

Sedikitnya enam ribu jiwa masyarakat adat Talang Mamak di Riau kini hidup “terjepit” dalam kepungan perusahaan sawit, hutan tanaman industri (akasia) dan pertambangan yang mengambil tanah ulayat dan hutan adat mereka. Bahkan hutan rimba pusaka seluas 2.300 hektar yang memperoleh penghargaan Kalpataru tahun 2009 lalu kini tinggal lima hektar saja.

Kegelisahan inilah yang membawa masyarakat Talang Mamak berhimpun dalam pagelaran Gawai Gedang, sebuah ritual adat besar yang diselenggarakan pertengahan Januari ini di Desa Talang Perigi, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau sekitar 200 kilometer dari Pekanbaru.

Gawai Gedang kali ini diikuti oleh 25 batin dari 29 kebatinan di Suku Talang Mamak yang dikepalai seorang Patih. Terakhir Gawai Gedang diselenggarakan tahun 2003. Batin sendiri merupakan wilayah kesukuan setingkat desa namun ada batin yang menguasai dua desa sekaligus. Talang Mamak termasuk suku Melayu Tua (Proto Melayu) yang mendiami wilayah hutan diperbatasan Riau – Jambi.

“Luas semua tanah ulayat dan hutan adat memang belum bisa kami pastikan angkanya, tapi sebaran masyarakat kami itu tersebar di lima kecamatan di Indragiri Hulu. Kini bisa dikatakan tinggal 20 persen itu pun masuk dalam kawasan hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jangankan untuk mengelolanya, untuk mengambil kayu buat rumah saja sekarang sudah ditangkap aparat,” ujar Abu Sanar (36), tokoh pemuda Talang Mamak kepada Mongabay Indonesia Jumat, 18/1/2013.

Patih Laman (kiri), pimpinan adat Talang Mamak tahun 2010 saat menunjukkan Kalpataru di sisa hutan Rimba Puaka. Foto: zamzami

Di akhir pagelaran Gawai Gedang beberapa hari lalu itu, terbitlah keputusan adat yang disebut Maklumat Talang Mamak. Maklumat itu seperti pernyataan berisi tuntutan juga rekomendasi untuk masyarakat itu sendiri. Selain menyadari hilangnya tanah ulayat dan hutan adat, mereka kini sadar bahwa segala aspek kehidupan seperti sumber penghidupan ekonomi, kekayaan adat budaya dan eksistensi mereka terancam punah. Investasi perusahaan swasta yang mengeksploitasi hutan mereka.

Suku Talang Mamak bukannya tidak pernah protes mempertahankan hak. Segala cara sudah mereka tempuh mulai dari mengadu ke kecamatan hingga pemerintah daerah kabupaten. Tapi hasilnya nihil. Meski tahun 2009 lalu, pemerintah pusat memberikan penghargaan Kalpataru kepada Patih Laman yang saat itu menjabat. Penghargaan itu diberikan setelah sang patih berjuang mempertahankan 2.300 hektar hutan rimba puaka, satu-satunya hutan adat yang tersisa. Namun bertahun setelah itu, pemerintah memberikan izin kepada perusahaan di wilayah hutan tersebut dan kini tinggal 2 kapling.

“Dulu kami banyak yang mencari penghasilan dari yang ada di hutan seperti mencari rotan, jernang, gaharu dan manau, sejak tahun 2000 tidak ada lagi. Pada waktu itulah banyak perusahaan masuk menghabisi lahan kami. Kini masyarakat hanya menjadi buruh sawit. Kalau pun ada yang punya sawit, karet, itu ditanam cuma di dekat pemukiman saja,” tutur Abu.

Masuknya investasi besar juga menyebabkan sebagian cara hidup masyarakat bertentangan dengan nilai adat. Diakui mereka, investasi itu telah masuk dengan cara sangat jahat. Sebagian kecil masyarakat terjebak pada cara-cara hidup instan yang diiming-iming uang dengan memperjual belikan tanah-tanah adat.

“Atas dasar itulah, kami ingin melakukan perubahan secara mendasar agar kami dapat berdaulat, mandiri dan bermartabat. Kami sepakat untuk menghentikan tindakan menjual tanah adat dan mempertahankan keutuhan wilayah adat dari segala bentuk pengambil alihan dan penguasaan oleh pihak luar mana pun,” demikian tertulis dalam maklumat yang ditandatangi 25 Batin dan Patih.

Efrianto, Ketua Badan Pelaksana Harian, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Riau mengatakan, keberadaan Suku Talang Mamak memang telah terancam. Bukan hanya dalam sektor kepemilikan sumberdaya alam. Pengakuan oleh negara juga belum diperoleh utuh. Mereka dipersulit untuk mendapatkan kartu identitas kewarganegaraan seperti KTP, KK dan sebagainya. Namun sebaliknya hanya dalam proses politik daerah dan nasional mereka dilibatkan untuk mencoblos.

“Kini masyarakat menemukan kesempatan untuk bangkit mengembalikan eksistensi mereka agar diakui dan dilindungi dalam bentuk peraturan daerah atau perundang-undangan di tingkat legislatif. Bahkan awal tahun 2012, sejumlah kelompok masyarakat adat nusantara termasuk masyarakat adat di Riau melakukan judicial review UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,” ungkap Efrianto.

Sementara itu mengenai tindak lanjut maklumat ini, Abu Sanar mengatakan, dalam waktu dekat, masyarakat akan melakukan pemetaan partisipatif yang diharapkan mengukur sejauh mana kepemilikan tanah ulayat versi masyarakat adat Talang Mamak dalam bentuk peta.

“Walau pohon-pohon tua sudah habis, tapi batas-batas kekuasaan ulayat adat akan dengan mudah ditentukan terutama dengan merujuk pada pembagian wilayah kebatinan seperti arah aliran sungai. Diharapkan dengan peta itu nanti, kami bisa memperjuangkan hak-hak adat dan bagi generasi kami,” kata Abu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,