Cagar Alam Tanjung Panjang, di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, merana. Kawasan seluas 3.000 hektar itu, kini tinggal sekitar 600-an hektar. Masalah yang muncul tidak hanya alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Ancaman konflik antaretnis: pendatang Bugis dari Sulawesi Selatan dan penduduk lokal Gorontalo.
Mayoritas pemilik tambak ikan dan udang dikelola masyarakat Bugis, orang-orang Gorontalo sebagai peladang. Perbedaan penghasilan bisa terlihat jelas di wilayah itu. Di Desa Patuhu, Kecamatan Randangan, Pohuwato, misal, kawasan mangrove dalam Cagar Alam Tanjung Panjang berubah menjadi tambak sekitar 1.015 hektar. Desa Patuhu, memiliki empat dusun, yakni Dusun Dunga, Mekar Jaya, Suka Damai, dan Satria Bone.
Noldi Mohi, Aparat Desa Patuhu, mengatakan, Dusun Satria Bone mayoritas penduduk suku Bugis. ”Setiap tahun dari Sulawesi Selatan datang dan menetap di Dusun Satria Bone terus bertambah, rata-rata 10 keluarga. Mereka ada yang memiliki tambak dan ada hanya penggarap tambak, baik bandeng maupun udang,” katanya.
Warga yang data dari Sulsel ini sebagian besar menetap dan membangun pemukiman di kawasan cagar alam yang berubah menjadi kaplingan tambak. Untuk menemui mereka, harus menggunakan perahu.
Di Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan, juga begitu. Menurut Usman Achir, Kepala Desa Siduwonge, luas tambak ikan di desanya 1.117 hektar. Luasan ini hanya ada di dua dusun: Simanagi dan Bolongga, semua dikelola etnis Bugis. Khusus Dusun Bolongga, untuk mencapai lokasi harus menggunakan perahu sekitar 45 menit. ”Dusun Bolongga seperti terpisah dari daratan, namun bukanlah pulau. Dusun itu dihuni 39 keluarga dan 140 jiwa, 77 laki-laki dan 63 perempuan. Semua beretnis Bugis dan petambak ikan.”
Berbeda dengan Desa Patuhu, di desa ini juga memiliki tambak garam seluas 52 hektar dikelola oleh orang Gorontalo. Kepala desa dan aparatur Desa Siduwonge mengetahui, lokasi tambak bandeng dan udang itu masuk dalam kawasan cagar alam. Namun, mereka tak tahu batas wilayah. Sebab, sampai saat ini tak ada petunjuk ataupun tapal batas jelas.
Usman Achir juga memiliki tambak ikan. Menurut dia, awal mula tambak masuk di kawasan cagar alam pada 1993. Ketika itu, Usman sebagai Sekretaris Desa Motolohu. Dia ikut survei awal ke lokasi Cagar Alam Tanjung Panjang oleh lima instansi pemerintah. Kala itu, Gorontalo, masih masuk Sulawesi Utara.
Lima instansi itu Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Perikanan, Transmigrasi, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), serta Haji Nompo asal Maros, yang akan membuka tambak.
Pemerintah, kata Usman, saat itu telah melegitimasi pembukaan tambak bandeng maupun udang di cagar alam. Bahkan dia menyebutkan, orang Gorontalo yang ikut andil dalam pembukaan tambak adalah Hidayat, saat itu pegawai di BPN. ”Dalam survei 1993 oleh Haji Nompo dengan bantuan pemerintah Sulawesi Utara, pemerintah melalui lima dinas memberikan rekomendasi agar membuka areal tambak 100 hektar.”
Sejak saat itu, tren pembukaan tambak di kawasan cagar alam mulai marak. Penduduk lokal Gorontalo ikut mengkonversi hutan mangrove menjadi tambak. Namun, tidak memiliki keahlian mengelola tambak ikan, hingga mereka menjual tambak pada orang Bugis yang dikenal pandai budidaya tambak.
Usman mengatakan, jika kawasan itu akan ditanami mangrove untuk rehabilitasi kawasan lindung, dia menerima. Namun, harus ada kompensasi, tambak ikan milik mereka harus diganti dengan luasan lahan lain yang sama.
Samsiar, perempuan asal Kabupaten Sinjai, Sulsel, memiliki tambak lima hektar di kawasan ini mengungkapkan, jika pemerintah ingin mengembalikan status cagar alam di Tanjung Panjang, tak masalah. “Namun pemerintah harus adil. Jika memang ingin ditanami kembali mangrove, harus tanam semua, tidak boleh pilih kasih.”
Mama Aco, panggilan akrab Samsiar, terkadang menjadi juru bicara warga Bugis dengan pemerintah setempat. Dia pernah mendengar ada surat edaran dari pemerintah kabupaten atau surat keputusan Bupati Pohuwato mengenai larangan membuka lahan di cagar alam. Namun, surat itu tidak pernah sampai di tangan mereka sebagai petambak.
Dia menceritakan, saat datang ke Gorontalo, orang-orang Bugis telah menjual seluruh harta mereka. Mereka membangun hidup baru dengan mengelola tambak di Pohuwato. Biaya membuat tambak tidak sedikit. Untuk sewa eskavator saja, harus mengeluarkan duit Rp700 ribu perjam. ”Untuk luas lima hektar tambak milik saya, total bayar untuk eskavator Rp30 juta. Itu belum beli bibit dan pakan ikan bandeng atau udang.”
Memang, hasil panen tambak cukup menggiurkan. Contoh, panen dalam 70 hari di tambak seluas dua hektar, berhasil meraup keuntungan Rp100 juta.
Menurut Samsiar, warga Sulsel ke Pohuwato dan menambak di cagar alam karena mendengar hasil penelitian bahwa tambak ikan yang paling bagus hanya di Pohuwato, khusus Cagar Alam Tanjung Panjang. Sebab, kualitas ikan sangat bagus, tidak becek, tidak bau rumput, dan tanah subur. Hasil panen bandeng pun mereka jual ke Manado, Palu, Makassar, Surabaya, dan Jakarta.
Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Kabupaten Pohuwato, Ambo Tang Matteru, mengatakan, polemik di cagar alam ini dimanfaatkan Polisi. Polisi seperti sedang memancing di air keruh. Ada beberapa oknum polisi memanfaatkan masalah petambak di cagar alam untuk memeras.
”Masyarakat Bugis yang mendiami kawasan cagar alam bisa direlokasi bertahap dengan berbagai pendekatan. Kami sudah mengimbau ini kawasan dilarang. Namun, pemerintah harus siap memberikan kompensasi kepada warga. “Sebab, mereka telah menjual aset di kampung asal dan membangun hidup baru di Gorontalo.”
Bupati Kabupaten Pohuwato, Syarif Mbuinga, menjelaskan, masalah di kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang, sudah lama, sejak 1980-an. Dia diadapkan dengan psiko-sosial masyarakat di wilayah itu. Sewaktu-waktu konflik horizontal bisa terjadi antara masyarakat pendatang dengan penduduk lokal.
Namun, dia sudah memilki konsep mengantisipasi persoalan ini, dengan pembauran dan pendekatan simpul tokoh masyarakat. Meskipun implementasi di lapangan belum maksimal.
”Untuk status kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang, pemerintah daerah sudah disurati pemerintah pusat (Kehutanan) untuk segera mengatasi, termasuk soal tapal batas.”
Hal serupa diungkapkan Jhoni Nento, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pohuwato. Menurut dia, sesuai rekomendasi Pansus Mangrove DPRD Gorontalo, cagar alam ini tetap dipertahankan dan diberi waktu merelokasi masyarakat di kawasan itu. ”Tahun ini Dinas Kehutanan bekerja sama dengan pihak terkait akan melakukan tata batas di kawasan ini. Juga sosialisasi kepada masyarakat.”
Iwan Abay, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Pohuwato, mengatakan, perjuangan membuat tata batas di Cagar Alam Tanjung Panjang, sudah dimulai dua tahun lalu. Namun, sampai saat ini belum terealisasi. ”Pemerintah daerah kurang berwibawa menyelesaikan polemik di cagar alam itu.”
Anshar Akuba, ketua LSM Insan Cita Pohuwato, mengatakan, tambak-tambak ikan di cagar alam khawatir menjadi pemicu konflik sosial dan bisa sampai pada nuansa etnis. Kesenjangan ekonomi antara warga pendatang dan lokal akan menjadi masalah utama. ”Solusi Bupati Pohuwato, tentang pembauran etnis Gorontalo dan Bugis, solusi tepat demi meredam gejolak. Salah satu pintu masuk paling cepat di Desa Siduwonge. Di desa itu sudah ada orang-orang Bugis yang menikah dengan orang Gorontalo.”
Cagar Alam Tanjung Panjang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut/TGHK 362/85). Kawasan yang meliputi Desa Patuhu, Desa Siduwonge, Desa Palambane, Kecamatan Randangan ini menjadi tempat hidup babi hutan, ular, buaya muara, burung-burung air, dan monyet Sulawesi. Bahkan maleo, dulu masih ada di daerah ini, namun kini tak ada lagi.