,

Kala Masyarakat Soana Pagu Kehilangan Sumber Hidup, Menhut Apresiasi Tambang NHM

Menhut Zulkifli Hasan, memuji reklamasi tambang emas PT NHM. Di sisi lain, masyarakat Soana Pagu kehilangan lahan dan sumber hidup dampak kehadiran perusahaan. Sebagian mereka terpaksa menambang ‘gelap’ meskipun nyawa sebagai taruhan.

Pada Kamis (13/6/13), Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengunjungi tambang emas Gosowong milik PT Nusa Halmahera Minerals (PT NHM) di Halmahera Utara, Maluku Utara (Malut). Kunjungan ini untuk melihat kemajuan reklamasi di area tambang Gosowong.

Menhut bersama rombongan melihat lokasi reklamasi di tambang Gosowong, kolam pengendapan dan waste dump Gosowong, serta waste dump Toguraci. Ada prosesi penanaman pohon di sana sekaligus meninjau lokasi pembibitan. Zulkifli memberikan apresiasi tinggi bagi kemajuan reklamasi di PT NHM dan kontribusi ekonomi serta kemasyarakatan selama beroperasi.

Bagaimana nasib masyarakat sekitar tambang? Munadi Kilkoda, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut, punya cerita.

Menurut dia, perusahaan tambang asal Australia itu, mengeksploitasi sumberdaya alam di wilayah adat Soana Pagu, sejak 1997.  Luasan lahan tambang perusahaan 29.622 hektar.

Dulu, ikan teri di Teluk Kao, primadona dan lumbung ekonomi masyarakat adat Pagu. Kini tak ada lagi. Diduga terjadi pencemaran di beberapa sungai, salah satu Sungai Kobok– sumber kehidupan masyarakat Soa Balisosang. Bukan itu saja. Warga juga mengalami penyakit benjol – benjol terindikasi karena mengkonsumsi air tercemar limbah perusahaan.

“Lahan buruan warga pun berkurang. Parah lagi, pembukaan lahan baru oleh perusahan dalam wilayah adat Pagu tidak pernah ada komunikasi kepada masyarakat adat,” katanya dalam surat elektronik, 9 Juni 2013.

Perusahaan,  menguasai wilayah adat sepihak, akses masyarakat Soana Pagu kepada sumber daya alam hilang. “Kemiskinan menjadi tontonan di atas kilauan emas.”

Munadi mengatakan, kedaulatan masyarakat adat Soa Pagu, terampas karena UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999, sebagai landasan pemberian izin tak mengindahkan hak – hak masyarakat adat.

Alhasil, katanya, ketika mata pencaharian hilang, warga makin terdesak. Mereka hidup sulit di tengah tuntutan memenuhi keperluan sehari-hari. Akhirnya, awal tahun 2013, sebagian warga mulai mencari hidup dengan menambang di lokasi open pit PT NHM. Mereka ini laki-laki dan perempuan dari desa – desa di Soana Pagu maupun warga pendatang. “Tengah malam sekitar pukul 01.00, warga menyusuri hutan gelap gulita bermodal senter di kepala. Berjalan sekitar empat jam melintasi sungai dan gunung.”

Mereka berangkat tengah malam, pulang ke rumah siang hari dan berkelompok. Satu kelompok ada empat sampai enam orang, bahkan sampai 100 orang. “Dari pengakuan warga, tak ada lagi pekerjaan bisa mereka lakukan di desa sekitar open pit.”

Dia mengatakan, tantangan warga ke open pit tak  mudah, selain melawan cuaca malam yang berat, mereka harus kucing-kucingan dengan petugas keamanan perusahaan dan brimob penjaga tambang.

“Warga nekad, selain tak ada alternatif, hasil tambang lumayan. Jika beruntung, semalam mereka bisa memperoleh lima sampai 15 gram emas. Bisa sampai Rp5 juta.” Namun, hasil itu harus dibagi dengan anggota kelompok dan aparat.

Mereka yang berada di lubang tambang tak hanya berisiko ditangkap atau dianiaya keamanan perusahaan, paling menyeramkan ancaman longsor. Lokasi tambang ini terletak di Gunung Dunga dengan lebar open pit sekitar satu kilometer dan kedalaman sekitar 500 meter. “Warga menambang di dasar lubang, yang sewaktu-waktu jika longsor dipastikan mereka akan tertimbun. Belum lama ini seorang warga tewas tertimbun batu.” Miris.

AMAN Malut meminta pemerintah baik pusat maupun daerah memaksa PT NHM negosiasi kembali dengan masyarakat adat Soana Pagu sebagai pemilik wilayah adat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,