,

Dari Banjir sampai Polusi, Perlu Kerja Keras Benahi Lingkungan Jakarta

Sabtu malam, medio Mei 2013, hujan deras, petir menyambar keras. Rafih tampak gelisah. Dia sibuk menelepon sana sini. “Jadi rumah gimana? Bagaimana rumah aku nih ga ada orang,” tanya Rafih.  “Ini di rumah air sudah masuk selutut,” jawab penelpon di seberang.

Rafih makin bingung. Akhirnya, di tengah hujan deras dia nekad pulang ke rumahnya di bilangan Kemandoran, Jakarta Barat. “Kasur saya sudah terendam. Air tinggi masuk rumah.” Rumah Rafih kebanjiran.

Menurut dia, banjir di sekitar tempat tinggalnya bukan barang baru. Setiap musim hujan, banjir bak jadi langganan tetap. Posisi rumah dia berdekatan dengan kali. “Cuma, hujan yang ini ga nyangka banjir. Baru hujan belum setengah jam, adek  saya bilang lewat telepon banjir sudah selutut. Saya juga bingung napa.”

Nasib serupa Rafih, juga ‘rutin’ dialami puluhan ribu warga Jakarta, yang lain. Banjir, rumah terendam. Terburuk, pada pertengahan Januari 2013.  Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, banjir menggenangi 500 RT, 203 RW di 44 kelurahan tersebar di 25 kecamatan. Jumlah penduduk terendam 25.276 keluarga atau 94.624. Pengungsi mencapai 15.447 jiwa. Warga meninggal dunia 20 an orang.

Usia Jakarta, 22 Juni 2013 sudah 486 tahun. Di usia yang terbilang tua ini berbagai masalah lama masih ‘setia’ bahkan memburuk, seperti banjir, sampah, sampai polusi.  Banjir salah satu ‘agenda’ tetap Jakarta, juga tak lepas dari rentetan masalah-masalah lain. Sampah, misal. Saluran-saluran air sampai kali-kali di Jakarta, penuh sampah hingga air tak mengalir lancar. Betapa tidak, volume sampah warga metropolitan ini setiap hari mencapai 6.500 ton! Ia sebagian besar dari sampah rumah tangga, 53 persen, 47 persen sampah industri.

Banjir juga dipicu daerah-daerah resapan air makin berkurang. Situ-situ banyak beralih fungsi. Bantaran kali sebagai ‘wilayah resmi’ airpun dibajak menjadi rumah-rumah penduduk.

“Pembangunan di Jakarta, lebih luas, Pulau Jawa sudah tidak lagi mampu didukung dan ditampung kondisi lingkungan,” kata Deddy Ratih, Manager Advokasi Tataruang dan Bioregion Walhi Nasional.

Dari seluruh problem lingkungan di beberapa provinsi di Jawa, memperlihatkan, bencana ekologis menempati posisi tinggi seperti Jakarta (51,9%), Banten (62,5%), dan Jawa Barat (48,0%).  Kondisi ini,  dipengaruhi model pembangunan dan perencanaan yang masih meletakkan lingkungan bukan faktor utama yang harus diperhatikan.

Tak hanya banjir dan turunannya, polusi udara juga tinggi di Jakarta, salah satu berkat kendaraan bermotor. Jika merujuk parameter pencemaran partikulat meter (PM10) tahun 2011 sampai 2012, mencapai 60 mikrogram (m3).

Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel, Oktober tahun lalu mengatakan, angka ini cukup tinggi mengingat standar nasional Indonesia 50 m3. Dari hasil studi mereka 2010, dampak pencemaran udara ini warga Jakarta harus membayar Rp38 triliun untuk biaya pengobatan di rumah sakit.

Tak berhenti di polusi udara, krisis lingkungan hidup bersih sekaligus krisis air juga masih menghiasi ibu kota negara ini.  Di tengah kemegahan gedung-gedung pencakar langit yang kokoh,  di beberapa titik Jakarta, warga ada yang masih tinggal di rumah-rumah kardus, gerobak, bahkan di bawah jembatan. Mereka hidup dalam lingkungan kumuh. Kekurangan air bersih, pencemaran air, sampai polusi udara pun, sudah jadi keseharian. Seperti Zuhaeri, yang tinggal di gerobak sejak 10 tahun belakangan ini. Sehari-hari dia bekerja sebagai pemulung, penghasilan sekitar Rp20-Rp30 ribu dan memiliki tiga orang anak. “Ya, mau bagaimana lagi. Nyari kerja susah,” katanya. Sebelum menjadi pemulung, dia biasa menjadi tukang rumah, atau bertani. “Kerja apa saja asal halal.”

Gerobak sampah yang kini mangkal di pinggiran rel kereta Jl Palmerah Selatan, sekaligus ‘rumah’ itu hanya berukuran 1 x 2 meter. “Ada tidur di situ, ya di sini juga.” Dia merujuk gerobak dan tanah di samping gerobak. Alias, sebagian besar anggota keluarga tidur di tanah, beralas terpal.

Menurut dia, mencari pekerjaan di Jakarta, tak mudah. Terlebih, bagi dia yang tak mengenyam pendidikan formal. Diapun sudah terbiasa hidup bersahabat dengan debu dan polusi. “Mudah-mudahan, Jakarta, makin baik bagi siapa saja. Makin mudah orang cari kerja. Jakarta jadi bagus, tertata, ga banjir juga,” kata Zuhaeri, ketika saya tanyakan harapan di hari jadi kota Jakarta ini.

Pemerintah Jakarta, bukan tak berbuat mengatasi berbagai persoalan ini,  hanya belum memberikan hasil nyata. Aksi-aksi itu seperti mengatasi banjir dengan bikin banjir kanal timur, menambah ruang terbuka hijau, aturan bangunan berwawasan lingkungan, pembenahan transportasi, gerakan bank sampah, sampai upaya-upaya relokasi warga yang hidup di pemukiman kumuh. Tak mudah memang membenahi kota ini. Tak semudah membalik telapak tangan.

Akhirnya, Sabtu (22/6/13) malam menjadi puncak perayaan HUT Kota Jakarta, berpusat di Bundaran Hotel Indonesia. Belasan ribu warga tumpah ruah memadati acara yang antara lain, diisi potong tumpeng dari Gubernur Jakarta, Jakowi dan jajaran, serta panggung musik. Kemeriahan acara HUT yang diikuti berbagai kalangan dari ‘borju’ sampai wong cilik ini, mudah-mudahan menjadi sinyal baik bagi pembenahan Jakarta, ke depan.

Air kali di Jakarta yang tercemar oleh sampah-sampah dan berbagai aktivitas merusak. Foto: Sapariah Saturi
PUncak perayaan HUT Jakarta ke 486 di BUndaran HI yang dipadari belasan ribu pengunjung. Moga saja bertambah usia menjadi sinyal baik sebagai bertambahnya pembenahan di kota ini. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,