Pola arah angin, nampaknya lebih mempengaruhi kenaikan polusi udara akibat kabut asap hingga mencapai titik tertinggi di Singapura dan Malaysia dibandingkan dengan meningkatnya titik api, setidaknya itulah hasil analisis yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) baru-baru ini.
Lewat data titik api yang dirilis oleh NASA dalam 12 tahun terakhir, selain ditemukannya banyak peringatan yang tidak seperti biasanya terkait kemunculan titik api tahun ini, namun faktor terbesar yang menyebabkan kabut asap semakin parah di Singapura adalah pola arah angin yang terus berhembus ke arah negara kota ini.
“Kendati data sejarah menunjukkan bahwa kebakaran hutan memang dalam kondisi tidak seperti biasanya tahun ini di Sumatera, hal lain yang juga penting adalah peningkatan yang dramatis dunia internasional terhadap kebakaran ini. Banyak titik api yang tidak terdeteksi oleh orang-orang dan media diluar propinsi-propinsi yang banyak bermunculan titik api, yaitu Riau, Jambi dan Sumatera Utara,” jelas WRI dalam blog post mereka. “Kali ini, semuanya berbeda -terutama akibat tiupan angin dan pola pergerakan udara yang bergerak menuju ke Singapura.”
“Arah angin bergerak mendorong kabut asap menuju ke Singapura, negara kota yang sangat padat dan merupakan pusat keuangan dunia serta media. Akibatnya kabut asap yang memasuki wilayah ini segera memancing perhatian dari dunia internasional.”
Kabut asap di Singapura ini telah memicu peringatan terhadap kondisi kesehatan dan perdebatan antar-pejabat negara di Indonesia dan Singapura dalam dua pekan terakhir. Singapura sendiri mengkritik Indonesia karena dinilai gagal mengendalikan kemunculan kebakaran hutan di Sumatera, sementara Indonesia yang telah meminta maaf atas insiden ini juga melihat bahwa sejumlah perusahaan kelapa sawit dan produsen bubur kertas terkait erat dengan munculnya kebakaran hutan yang mengirim kabut asap ke Singapura tersebut.
Sebagian besar dari api yang masih menyala kini terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang telah gundul dan dibuka untuk perluasan perkebunan. Titik api di lahan gambut yang dikeringkan, sangat rentan terbakar di musim kering, dan menjadi sumber utama polusi udara dan emisi karbon dioksida. Kurang dari 4% dari titik api yang ada di Sumatera berada di kawasan lindung.
Pemerintah Siapkan Hujan Buatan
Sementara itu dari Pusat Hubungan Masyarakat di Kementerian Kehutanan RI diperoleh kabar bahwa para menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono telah menggelar Rapat Koordinasi di Kantor Kementerian Kehutanan terkait tindak lanjut penanggulangan bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Rapat ini dihadiri oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Wakil Menteri Luar Negeri Wardana, serta beberapa pimpinan dari Polri, Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Bappenas, BPPT, LAPAN, Ristek, Kementerian Pertanian, Wakil Pemda Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan.
Dari hasil rapat ini, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa pemerintah saat ini fokus pada upaya pemadaman api. “Kita butuh dukungan semua pihak dan semua perusahaan harus menjaga hutannya masing-masing dan fokus kita memadamkan api”, ujarnya. Apabila terbukti ada perusahaan yang melakukan pembakaran akan ditindak tegas tanpa toleransi dan serahkan pada kepolisian. Namun, menurut Menhut semua ini masih berproses. Hingga saat ini ada sekitar 14 orang yang disidik. 11 orang dari perusahaan perkebunan dan 3 orang masyarakat. Apabila terbukti mereka bisa kena Sanksi 5 tahun pidana penjara dan bisa dicabut izinnya.
Hal senada diungkapkan oleh Menko Kesra Agung Laksono yang menegaskan bahwa Rakor Menteri yang baru dilakukan tidak hanya membahas upaya yang dilakukan untuk Riau saja tapi juga untuk antisipasi 8 propinsi dan dilakukan mulai sekarang sampai oktober selama 4 bulan dengan biaya sekitar Rp 100 miliar untuk keperluan hujan buatan, bahan baku garam NHCL dan penyediaan pesawat terbang untuk menjatuhkan water bomb.