Kasus kematian orangutan akibat ulah manusia masih terus terjadi. Mulai dari pemberantasan orangutan karena dinilai mengganggu perkebunan, hingga berbagai kasus minimnya informasi yang ada di masyarakat tentang orangutan yang mengakibatkan kematian satwa dilindungi ini.
Pada hari Kamis 27 Juni 2013 silam, seekor orangutan betina dewasa yang baru dijemput tim kerjasama BKSDA Aceh, SOCP, YOSL-OIC tewas dalam perjalanan ke pusat karantina orangutan SOCP di Sibolangit, Sumatra Utara, saat hendak dirawat setelah mengalami pukulan dan luka saat ditangkap secara ilegal oleh masyarakat di Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang, Aceh Selatan.
Informasi ini diterima oleh tim dari Human Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU) dari Orangutan Information Center pada tanggal 26 Juni 2013 silam. Krisna, Koordinator lapangan HOCRU-OIC menyatakan, orangutan tersebut ditangkap untuk dipelihara dan kemudian diperdagangkan. “Dapat dipastikan bahwa orangutan ini ditangkap dengan kekerasa yang mengakibatkan luka fatal,” ungkap Krisna dalam media rilis mereka.
Hal senada juga disampaikan oleh Drh. Ikhsan yang bekerja untuk Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). “Waktu kami terima informasi kami langsung koordinasi dengan BKSDA dan bergerak untuk coba menyelamatkanya. Tetapi, dari foto foto kami terima di awal dan pada saat tim rescue datang untuk menjemput dan merawat orangutan tersebut pada pukul tujuh pagi hari ini, sudah cukup jelas bahwa orangutan tersebut sudah sekarat dan tidak ada harapan bahwa dia mampu bertahan hidup. Sayangnya, akibat keseriusan luka-lukanya, akhirnya mati setelah dua jam perjalanan”
Panut Hadisiswoyo, direktur OIC, menyatakan bahwa “Khasus ini jelas melanggar Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Pemerinath No 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar. Seharusnya yang menangkap orangutan dapat diproses. Kasus seperti ini terlalu sering terjadi dan jarang sekali ada pelangar yang diproses sampai penjara.”
Ian Singleton, Direktur Konservasi SOCP, menyatakan bahwa “Jumlah orangutan hasil sitaan dari masyarakat yang kami terima setiap tahun secara illegal tidak pernah turun. Bahkan naik terus dalam beberapa tahun belakangan ini, akibat dari pembukaan lahan dan lemahnya penegakan hukum. Aneh juga bahwa warga setempat melaporkan ditangkap untuk dipelihara dan diperdagangkan. Orangutan ini betina dewasa, bukan anak, dan tidak mungkin ditangkap dewasa untuk dipelihara atau perdagangan. Menurut kami, dari awal penangkap bermaksud membunuh orangutan ini dan siapa tahu mungkin dia punya anak yang sekarang tertinggal di hutan tanpa induknya,” dia menegaskan.
Kepala BKSDA Aceh, Amon Zamora mengutarakan, “pembunuhan, penangkapan dan pemeliharaan orangutan dan satwa dilindungi lainnya jelas melanggar hukum. Jika masyarakat ada masalah konflik dengan satwa liar sebaiknya dilapor dulu kepada kami dan tidak langsung tangani sendiri. Di masa depan kami berencana meningkatkan jumlah kasus-kasus yang diproses sampai ke meja hijau, maka kami harap semua kasus penangkapan, pembunuhan dan peliharaan satwa dilindungi di Aceh segera di laporkan kepada kami sekarang.”
Amon menghimbau agar semua lapisan masyarakat tidak melanggar hukum dengan memelihara orangutan. “Karena memelihara orangutan merupakan pelanggaran nyata terhadap peraturan dan perundang-undangan Indonesia dan konvensi-konvensi internasional, maka cepat atau lambat, suka atau tidak suka, para pelanggar hukum tersebut akan tetap berhadapan dengan penegak hukum dengan resiko penjara dan hukuman denda,” tegasnya.
Hingga kini berbagai kasus pelanggaran yang menimpa satwa, serta para pelaku perdagangan satwa di Indonesia, tidak pernah diseret ke meja hijau. Dari banyak kasus yang terjadi, hukuman yang diberikan kepada para pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi, sekitar 5 hingga 8 bulan penjara.