Laporan World Development Movement yang dirilis Selasa (1/10/13) mengungkapkan, lima bank ternama dari Inggris, HSBC, Barclays, Standard Chartered, RBS dan Lloyds telah ‘membakar’ alam Kalimantan. Lewat pendanaan kepada perusahaan-perusahaan tambang batubara, bank-bank ini andil dalam perubahan iklim, menyengsarakan masyarakat dan lingkungan di hutan Kalimantan.
Bank-bank Inggris ini memberikan pinjaman untuk mengeksploitasi batubara Indonesia, lebih dari bank lain sejak 2009. Sekitar 83 persen batubara yang diproduksi di Kalimantan, dari perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan dengan bank top di Inggris ini.
Dari laporan berjudul Banking while Borneo burns ini terlihat, Barclays telah mendanai PT Bumi Resources, pemilik tambang batubara terbesar Indonesia sebesar £127 juta. PT Kaltim Prima Coal, anak perusahaan ini ‘menciptakan’ banyak orang kehilangan lahan, seperti masyarakat adat di Segading yang harus berpindah tempat sampai tiga kali.
Standard Chartered pun meminjamkan US1 triliun atau sekitar £640 juta untuk perusahaan Indonesia, PT Borneo Lumbung dalam 2012. Tambang batubara Borneo Lumbung mencemari sungai yang menjadi tempat hidup masyarakat di Desa Maruwei, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Masih ada lagi. Sejak 2009, perusahaan tambang raksasa dari London, HPP Billiton menerima £6.3 triliun dari Barclays, Standard Chartered, RBS dan Lloyds, termasuk dana-dana pensiun di Inggris. BHP Billiton berencana membuka tambang batubara melintasi kawasan-kawasan di Kalimantan. Ia mengancam penghancuran hutan yang menjadi tempat hidup masyarakat adat.
Yesmaida, warga Desa Maruwei, dalam laporan itu mengatakan, kini sungai mereka hitam dan kotor. “Kadang ketika kami mencuci terasa gatal. Paling penting, kami tak bisa minum air itu lagi. Padahal, sebelumnya sungai itu bersih dan jernih. Kini tak lagi…”
Senada diungkapkan Gagay, Ketua Adat Dayak Basap di Segading. Dia mengatakan, Dayak Basap tergantung hutan tetapi perusahaan malah menghancurkannya. “Kami pernah berburu di dalam hutan. Kini, kami tak dapat berburu lagi, kamipun tak dapat bekerja di perusahaan karena tak memiliki pendidikan cukup.”
Untuk itu, World Development Movement mendesak, bank-bank dan lembaga pendanaan pensiun di Inggris, berhenti mendanai perubahan iklim dan menciptakan gelembung karbon yang mengancam krisis keuangan baru.
Alex Scrivener, pengkampanye World Development Movement mengatakan, ledakan batubara meninggalkan jejak kehancuran, merusak hutan dan kehidupan masyarakat Kalimantan. “Di sini dan banyak proyek minyak fosil di dunia, tangan semu lembaga keuangan Inggris bekerja. Kita harus menghentikan bank kita menyirami triliunan ke dalam energi kotor. Energi yang menciptakan perubahan iklim, menghancurkan lingkungan masyarakat lokal dan tempat hidup mereka.”
Arie Rompas, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, mengatakan, tak hanya bank, dana pensiun Norwegia pun menaruh investasi pada perusahaan-perusahaan tambang batubara Kalimantan sekitar US$34,2 juta. “Ini tentu bermuka dua dan tak sejalan dengan tujuan pemberian US$1 miliar Pemerintah Norwegia bagi penyelamatan hutan Indonesia.”
Bank lain, yang membakar dunia dengan batubara Kalimantan adalah Bank Dunia lewat jaminan pendanaan infrastruktur Indonesia (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund -IIGF). Salah satu program ini, adalah proyek rel kereta api batubara Kalimantan, dari Puruk Cahu ke Bangkuang.
Arie mengatakan, pemanasan global, proyek jalan kereta api ini akan mempercepat pengerukan batubara di Kalteng. “Ia berdampak bagi kerusakan lingkungan karena akan membuka hutan dan wilayah tangkapan air di wilayah hulu pulau Kalimantan,” katanya Kamis(3/10/13). Proyek ini, katanya, akan mendorong konflik dan perampasan tanah masyarakat adat Dayak akibat.
Tak jauh beda dikatakan Pius Ginting, Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional. Menurut dia, saatnya bagi negara-negara dan bank internasional mengurangi dan menghentikan investasi di sektor batubara Indonesia. “Pemerintah Indonesia harus segera membuat strategi phasing out batubara, karena tren global sedang mengarah ke energi terbarukan.”
Bank Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup, yang belum lama ini menggagas prinsip green banking, sebaiknya mendorong bank-bank nasional dan internasional tidak berinvestasi pada energi kotor, seperti batubara.