Kearifan Lokal: Wanatani Masyarakat Selamatkan Gambut Tanjung Jabung Timur

Kabupaten Tanjung Jabar Timur adalah sebuah kabupaten yang terletak di timur provinsi Jambi. Sebagai Kabupaten yang mayoritas kawasannya adalah lahan gambut, masyarakat Tanjung Jabung Timur memiliki model pemanfaatan lahan yang tetap menjaga kelestarian gambut. Sejak dulu masyarakat di Kabupaten ini menerapkan model pertanian agroforestry (wanatani), atau suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek seperti tanaman pertanian.

“Masyarakat Tanjabtim memiliki pengetahuan dan teknologi lokal dalam mengelola hutan gambut sehingga kelestariannya tetap terjaga” ujar Rakhmat Hidayat, direktur KKI Warsi. Ia mencontohkan dua desa yang berada di kabupaten Tanjabtim yaitu Desa Sinar Wajo dan Sungai Beras yang menerapkan model agroforestry yang memadukan tanaman kelapa dalam sebagai ajir tanaman lada. Disamping kelapa dan lada, kopi jenis Excelsa juga dapat dibudidayakan di lahan gambut dan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Perkebunan kelapa dan pinang masyarakat. Foto: KKI Warsi
Perkebunan kelapa dan pinang masyarakat. Foto: KKI Warsi

Kopi Excelsa adalah jenis tanaman kopi yang memiliki karakteristik sedikit berbeda dengan kerabatnya, kopi Robusta dan Arabica yang lebih cocok ditanam di dataran tinggi. Kopi Excelsa adalah tanaman kopi yang dapat hidup di ketinggian 1 hingga 200 meter diatas permukaan laut. Kopi ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli botani Perancis bernama Auguste Jean Baptiste Chavalier di Afrika Tengah pada tahun 1903.

Kopi ini mulai dibudidayakan di pulau Jawa pada tahun 1905. Pada usia 3,5 tahun, kopi yang lebih tahan terhadap penyakit karat daun ini telah dapat dipanen. Buahnya lebih besar dari buah yang dihasilkan oleh kopi Arabica. Dalam satu hektar tanaman kopi Excelsa dapat menghasilkan biji kopi sebanyak 800 hingga 1.200 kilogram.

Daerah Tanjung Jabung adalah salah satu daerah dari sedikit daerah di Indonesia yang membudidayakan kopi Excelsa. Kopi jenis ini telah dibudidayakan di daerah Tanjung Jabung sejak 50 tahun lalu. Beberapa perusahaan kopi terkemuka di Indonesia telah menggunakan kopi ini sebagai bahan baku. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir permintaan akan kopi Excelsa mengalami peningkatan terutama dari Malaysia dan Singapura. Harga jual kopi Excelsa dapat mencapai Rp 26.000 per kilogram. Daerah Tanjung Jabung khususnya kabupaten Tanjabtim 65% diantaranya adalah lahan gambut yang cocok untuk membudidayakan kopi jenis ini.

Kopi Excelsa, salah satu hasil wanatani masyarakat di Tanjung Jabung Timur. Foto: KKI Warsi
Kopi Excelsa, salah satu hasil wanatani masyarakat di Tanjung Jabung Timur. Foto: KKI Warsi

Selain kopi Excelsa lebih lanjut Rahmat menambahkan bahwa tanaman pinang dan kakao juga cocok ditanam di lahan gambut sehingga model pengelolaan agroforestry di lahan ini dapat memberikan multi manfaat. Selain tetap menjaga kelestarian gambut, upaya ini juga memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat.

Namun resiko beralihfungsinya lahan pertanian masyarakat di lahan gambut menjadi perkebunan monokultur berskala besar tetap menjadi ancaman besar bagi lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut yang masih berorientasi pada aspek ekonomi dan kebakaran lahan gambut mengakibatkan rusaknya ekosistem lahan gambut yang berdampak pada bekurangnya sumber pangan dan mata pencarian masyarakat serta meningkatkan konflik masyarakat dengan satwa, perusahaan atau dengan pemerintah.

Ketidakseimbangan pengelolaan lahan gambut juga telah menghilangkan hak-hak masyarakat adat/lokal terhadap sumber hidup dan penghidupannya dan juga meningkatkan resiko terjadinya bencana. Jika gambut Jambi terus dikelola tanpa memperhatikan aspek konservasi maka kemampuan gambut menyerap karbon dioksida lebih banyak jika dibandingkan dengan tanah mineral biasa akan hilang dan sebaliknya gambut justru melepas karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar ke atmosfir dan akan berdampak besar terhadap perubahan iklim. “Saat ini kita sudah merasakan dampak perubahan iklim, jangan sampai gambut kita salah kelola sehingga Jambi menjadi penyumbang emisi yang akan mengancam kehidupan di masa mendatang” jelas Rakhmat.

Lokasi agroforestry di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: KKI Warsi
Lokasi agroforestry di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: KKI Warsi

Untuk mengurangi resiko alih fungsi, lahan gambut yang telah dikelola masyarakat didorong untuk dijadikan kawasan agroforestry gambut melalui skema hutan desa. “Masyarakat memiliki motivasi kuat untuk melindungi sumber daya hutannya karena terkait langsung dengan penghidupan mereka sehingga jika pengelolaan hutan diberikan pada masyarakat maka orientasi pengelolaannya tidak terfokus pada aspek ekonomi saja tapi juga memperhatikan aspek sosial, ekologi dan religi” ungkap Rakhmat. Ia juga menambahkan bahwa dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini potensi konflik juga akan berkurang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Hingga saat ini telah ada tiga usulan hutan desa yang telah diverifikasi untuk penetapan permohonan areal kerja hutan desa oleh kementrian kehutanan. Tiga hutan desa yang telah diusulkan adalah hutan desa Sungai Beras seluas 2.096 hektar, desa Sinar Wajo seluas 5.089 hektar dan desa Kota Kandis Dendang seluas 6.374 hektar dan masih ada dua hutan desa lain yang masih dalam proses pengusulan.

Diperlukan komitmen nyata dari para pihak untuk melestarikan lahan gambut yaitu dengan menyelamatkan lahan gambut yang tersisa dan menghentikan pemberian izin pemanfaatan di lahan gambut. “Dan yang juga penting dilakukan sekarang adalah peninjauan ulang atas izin-izin yang sudah terlanjur dikeluarkan dan jika izin tersebut tidak sesuai peruntukannya maka pemerintah harus melakukan pemulihan kawasan gambut tersebut” pungkas Rakhmat.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,