,

Warga Tolak Pembangunan Jalan di Cagar Alam Tangkoko

Proyek pembangunan jalan di Taman Wisata Alam Batu Putih, Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara (Sulut), mendapat penolakan warga sekitar. Aktivitas pembangunan jalan sepanjang 2,5 km ini diperkirakan menggusur ribuan pohon di kawasan itu.

Alfons Wody, warga setempat, mengatakan, pembangunan jalan ini wujud pengelolaan taman wisata alam yang tak konsisten. Pada 2012, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut pernah mengadakan penanaman pohon di lahan seluas 100 hektar. Namun, pengelola TWA malah menggusur pohon yang ditanam.

“Kurang lebih 25% lokasi penghijauan digusur. Belum lagi, 12 pohon besar dan ribuan pohon penghijauan habis karena aktivitas itu,” katanya kepada Mongabay, Sabtu (14/12/13).

Penggusuran pohon itu, katanya, akan mempengaruhi interaksi satwa dengan lingkungan. Warga kecewa karena tak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan jalan ini. Padahal, seharusnya TWA terbuka pada masyarakat sekitar.

Sejak Agustus, warga berupaya menjalin komunikasi dengan BKSDA, tetapi selalu gagal menemukan kata sepakat. Wargapun beberapa kali mencegat kendaraan pengangkut material yang hendak memasuki proyek.

Warga sempat unjuk rasa di depan DPRD Bitung. Pada Senin (9/12/13) ratusan warga aksi penanaman pohon pisang untuk menghalangi kendaraan pengangkut material. Aksi ini wujud protes karena belum ada penjelasan dari pihak berwenang. “Lokasi penanaman pohon pisang adalah tempat pohon digusur,” kata Yoseph Pantolowokang, warga yang ikut aksi penanaman pohon.

Bagi warga, kawasan Konservasi Cagar Alam Tangkoko dan Taman Wisata Alam Batu Putih masuk wilayah adat hingga memiliki nilai historis. “Sebelum dijadikan kawasan konservasi alam, hutan ini permukiman dan perkebunan rakyat.”

Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra), hanya ada di Sulawesi Utara. Satwa ini terancam perburuan untuk dikonsumsi maupun dipelihara. Cagar Alam Tangkoko, tempat hidup terbesar satwa ini. Foto: Sapariah Saturi

Sudiyono, Kepala BKSDA Sulut, mengatakan, penggusuran sejumlah pohon di TWA bukanlah permasalahan serius. Dia membantah terjadi penebangan ribuan pohon di kawasan itu. Dari rencana, sekitar 12 pohon yang terkenda dampak proyek ini. “Hanya pohon kelapa dan jati. Keduanya tidak dilindungi.”

Pembangunan jalan ini, katanya, mendapat legitimasi dari Menteri Kehutanan jadi tak ada satu pihak yang boleh menghentikan. “Selain menteri dan pelanggaran hukum, tidak ada yang bisa menghentikan pembangunan jalan ini.”

Menurut dia, proyek jalan di TWA sesuai ketentuan berlaku. Dalam UU Kehutanan, menyebutkan, di dalam kawasan konservasi bisa dibangun sarana prasarana berhubungan pengelolaan hutan seperti kantor pengelola, pal batas hutan, pos jaga, papan informasi, menara pengawasan, sarana komunikasi, dan transportasi.

Proyek ini, katanya, untuk memudahkan patroli agar perburuan satwa bisa diminimalisir dan memudahkan akses publik mengunjungi TWA. Dia meyakini, kemudahan akses bisa meningkatkan wisatawan dan kenyamanan pengunjung. “Batu Putih berbasis konservasi alam, budaya, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat lokal. Lebih ke arah ekowisata.”

Taman Wisata Alam Batu Putih merupakan wilayah Cagar Alam Tangkoko-Batuangus dengan luas 4.445 hektar. “Dalam perkembangan, fungsi diperkaya pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan untuk mengakomodasi kepentingan pelestarian alam melalui keterlibatan aktif dan konstruktif dari masyarakat luas.” Oleh Menteri Pertanian, tahun 1981, kawasan ini juga ditetapkan sebagai taman wisata alam dengan luas 615 hektar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,