, , ,

Berkaca dari Ciliwung, Balthasar Ingatkan Banjir dan Longsor Dampak Kerusakan Ekologi

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, bersama rombongan Kementerian Lingkungan Hidup memantau hulu Sungai Ciliwung di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Senin (20/1/14). Di desa ini, vila-vila ilegal dirobohkan oleh pemerintah Kabupaten Bogor. Kawasan ini, seharusnya menjadi daerah resapan air.

“Kami dukung upaya pemerintah daerah membongkar bangunan di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan dalam menegakkan peraturan daerah tentang tata ruang,” katanya dalam pernyataan yang dikirim kepada media, Senin (20/1/14).

Upaya pemerintah daerah ini, kata Balthasar, untuk mengembalikan fungsi ekosistem hutan dan lingkungan seperti semula. “Menjadi daerah resapan air agar lingkungan tetap terjaga dengan baik dan tak terjadi bencana alam.”

Sebelum itu, rombongan ke pintu air Katulampa Bogor. Di sana Balthasar ditemani Joko Widodo, Gubernur Jakarta, dan Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat serta Bupati dan Walikota Bogor. Agoes Widjanarko, Sekretaris Jenderal Kementerian Pekejaan Umum, juga hadir. Mereka membicarakan penanganan banjir di Jakarta, dan sekitar.

Dalam penelusuran DAS Ciliwung itu, Menteri melihat betapa alih fungsi banyak terjadi di sepanjang DAS Ciliwung, baik di hilir, tengah maupun hulu terutama untuk pemukiman. Menurut dia, kondisi ini,  mendorong banjir dan longsor di sekitar DAS Ciliwung yang berdampak ke Jakarta.

Tak hanya di Jakarta, katanya, fenomena banjir dan longsor di sejumlah daerah di Indonesia, merupakan bentuk kerusakan ekologis. Sebab, sebagian daerah hulu sungai, merupakan daerah resapan air banyak beralih fungsi hingga perlu upaya pengendalian.

Laju kerusakan ekologis atau degradasi lingkungan di Indonesia dari tahun ke tahun makin memprihatinkan. Kondisi ini, katanya, dapat terlihat dari penurunan luas tutupan hutan di Indonesia dari 49.37% tahun 2008 menjadi 47,73 % tahun 2012. Selama rentang waktu itu laju degradasi lingkungan sebesar 1,64 %.

Alih fungsi ini terjadi di DAS Ciliwung, dan sangat mengkhawatirkan. Ini tercermin dari penurunan luas tutupan hutan dari 9,4 % tahun 2000 menjadi 2,3% tahun 2010 laju degradasi lingkungan 7,14 %  atau 0,7 % per tahun.

Menurut dia, kerusakan ekologis DAS Ciliwung seperti lahan kritis dengan erosi dan sedimentasi tinggi, fluktuasi debit tinggi antara musim kemarau dan penghujan. “Ini salah satu faktor penyebab kejadian banjir di daerah Jakarta dan tanah longsor di beberapa daerah hulu DAS Ciliwung.”

Keadaan itu, katanya, menandakan DAS Ciliwung makin tak sehat, perbedaan debit air musim kemarau dan musim penghujan lebih dari 300 kali lipat. Semua ini, salah manusia. “Perilaku manusia tidak ramah lingkungan seperti tak peduli lingkungan khusus di Sungai Ciliwung, sampah banyak dibuang langsung ke sungai, diperparah limbah rumah tangga.”

Berbagai masalah menjadi beban berat yang harus ditanggung DAS Ciliwung. Jadi, harus didukung perencanaan tata ruang yang baik dan sinergis antara hulu dan hilir.

Kondisi Ciliwung, tambah parah karena airpun tercemar. Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas air Pusarpedal 2012, menyatakan, kualitas air Sungai Ciliwung sampai saat ini tercemar berat. Ini berdasarkan indek storet, dengan batas cemar berat 30, mulai dari Masjid Atta’awun di hulu DAS Ciliwung (nilai -66) sampai di PIK, merupakan hilir DAS Ciliwung (nilai -102).

DAS CIliwung. Sumber: Konservasidasciliwung

Hasil kajian daya tampung beban pencemaran air di Sungai Ciliwung juga menunjukkan, beban pencemaran terbesar pada seluruh segmen dari limbah domestik berkisar antara 57,0%-85,4%. Disusul limbah industri antara 8,1%-31,4%, limbah peternakan 0,4%-19,9%.

Sejalan dengan analisis Walhi yang menyatakan, bencana ekologis baik frekuensi, intensitas dan sebaran meningkat menunjukkan ekosistem kolaps. Daerah-daerah masif mengeksploitasi hutan untuk tambang dan perkebunan besar, terbukti paling banyak bencana ekologis.

Di Sumatera, Aceh merupakan provinsi tertinggi bencana. Pada 2013, dari 23 kabupaten dan kota tak satupun luput dari bencana, terbesar pada wilayah deforestasi seperti di Aceh Barat dan Aceh Timur. Begitu pula Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

Sedang wilayah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Medan, Gorontalo, Bandung, Cirebon, Surabaya, Semarang, Samarinda dan Serang, yang terkena banjir, antara lain karena minim ruang terbuka hijau, kehilangan hutan mangrove, dan daerah resapan air menyusut. Juga sendimentasi dan degradasi pada anak-anak sungai serta darainase tak berfungsi maksimal.

Usulan Solusi 

Kementerian Lingkungan Hidup memandang, banjir di Indonesia dan Jakara, saat ini merupakan bencana ekologis serta menyarankan penyelesaian didasarkan konsep “One River, One Ecosystem, One Management.” Konsep ini, rencana dan pengelolaan terpadu hulu dan hilir dengan dukungan sinergi antarpemangku kepentingan dan tak parsial.

Arief Yuwono, Deputi III KLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, mengatakan, solusi jangka menengah, lewat rehabilitasi kawasan hulu, dan penegakan hukum harus ditingkatkan guna menjaga kawasan lindung untuk hidrologi.

Untuk jangka panjang, harus ada komitmen pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, penertiban tata ruang, peningkatan partisipasi masyarakat, serta penegakan hukum.

Banjir menggenangi Kota Manado, dan beberapa kabupaten di Sulawesi Utara. Sampai 17 Januari 2014, korban jiwa mencapai 19 orang, dua masih hilang dan ribuan rumah rusak. Foto: Rommy Carter Toloh
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,