, ,

Berkonflik dengan TN Lore Lindu, Petani Dongi Jadi Sasaran Aparat

Konflik antara warga dan taman nasional kembali terjadi. Kali ini, petani Dongi dituding menebang pohon secara ilegal di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), yang menjadi tempat tinggal mereka. Padahal, mereka di sana tahun 1970-an, karena dipindahkan pemerintah dari gunung sebelah barat Palu, ke kawasan yang kini menjadi taman nasional ini.

Sore itu, 27 Januari 2014, sekitar pukul 16.30, masyarakat di Desa Dongi-dongi dan Desa Kamarora, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng), dikagetkan penangkapan 13 petani.

Masyarakat heboh. Saat itu bersamaan berlangsung pembukaan Kongres Forum Petani Merdeka (FPM) V, juga dihadiri beberapa pejabat daerah di Kabupaten Sigi  seperti Wakil Bupati Sigi Livingstun Sango, Camat Palolo, dan Kapolsek Palolo.

Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng, mengatakan,  penangkapan petani itu tidak bisa dilihat sebagai persoalan mereka memasuki wilayah taman nasional dan menetap di sana, lalu menjadi sebuah desa. Karena warga yang tinggal di sana itu adalah penduduk yang dipindahkan pemerintah dari gunung sebelah barat Palu pada 1970-an.“Jadi di desa itu sudah dibangun sekolah, puskesmas pembantu, dan lain-lain.”

Walhi Sulteng mengeluarkan pernyataan mengenai penangkapan petani dari Desa Dongi-dongi dan Desa Kamarora. Penangkapan oleh aparat gabungan, antara lain, kepolisian, TNI, Polhut dan Balai Besar TNLL. Ketigabelas petani ini ditangkap saat bekerja di kebun.

Kala itu, beberapa aparat menaiki mobil mini bus berhenti di salah satu kebun warga, mendekati warga yang sedang bekerja. Satu persatu para petani ditangkap. “Aksi penangkapan ini sangat mengagetkan, saat bersamaan di tempat itu sedang berlangsung FPM V,” kata Aries Bira, Divisi Advokasi Walhi Sulteng.

Petani yang ditangkap tak pernah diberi surat panggilan ataupun pemberitahuan. Bahkan, aksi ini lebih mirip penculikan karena tak ada surat penahanan atau pemberitahuan terhadap keluarga maupun aparat desa. Aksi main tangkap ini sering terjadi bahkan hampir di setiap kongres.

Warga Dongi-dongi pun melakukan aksi gabungan di Kantor Balai Besar di Palu, pada 28 Januari 2014. Dikutip dari Facebook, Azmi Sirajuddin, seorang aktivis lingkungan di Sulteng, menyebutkan, dari hasil negosiasi panjang akhirnya menyepakati beberapa hal. Pertama, pembebasan 13 petani yang ditahan BB TNLL, dan pengembalian semua alat alat kerja petani yang disita.

Kedua, menjatuhkan sanksi adat (givu) kepada BBTNLL, pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sigi. Ketiga, persidangan adat (pogombo) untuk penetepan vonis adat akan pada Sabtu, 1 Februari 2014, di Dongi-dongi, Kecamatan Nokilalaki, Kabupaten Sigi. Pihak terkait yang diundang  Balai Besar TNLL, Gubernur, Kapolda, Ketua DPRD Sulteng, Bupati Sigi, dan Ketua DPRD Sigi.

Sumber: Taman Nasional Lore Lindu

Namun Polisi berdalih bukan ditangkap hanya minta keterangan. AKBP Soemarno, Kepala Bidang Humas Polda Sulteng mengatakan, petani Desa Dongi-dongi dan Kamarora hanya dimintai keterangan. “Informasi penangkapan petani itu tidak benar, apalagi sudah menyebut penculikan,” katanya via pesan singkat.

Soemarno mengatakan, polisi beraksi atas permintaan Polisi Kehutanan dan Hutan Lindung (Pohutlindung) di Danau Lindu, Kecamatan Palolo, agar meminta keterangan 13 warga karena sering terjadi penebangan pohon ilegal. Para petani itu dibawa ke kantor Polhut. “Usai beri keterangan, pada malam hari dipulangkan.”

Menurut dia, ini terkait kepatuhan hukum dan aturan yang belum sepaham dengan masyarakat terhadap aturan perlindungan hutan dan pemeliharaan.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam pernyataan sikap menyebutkan, aksi ini upaya pemberangusan dan pelemahan organisasi petani di Dongi-dongi diinisiasi TNLL. Mereka berupaya mengusir petani saat kongres V FPM.

“Keberadaan TNLL nyata-nyata menyingkirkan akses rakyat terhadap lahan garapan telah melahirkan konflik agraria yang mengancam keadilan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya petani,” kata Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal KPA.

Padahal, peta wilayah TNLL beserta tapal batas tak pernah jelas. Kondisi ini, memperjelas kesewenang-wenangan taman nasional kepada petani atas tuduhan penyerobotan. “Namun, atas alasan dan dasar apapun, aksi penculikan petani tidak dapat dibenarkan oleh rasa kemanusiaan dan keadilan.”

Pengambil paksa petani ini, katanya, bukti pemerintah makin absen, melindungi dan menghormati hak-hak petani berserikat, berkumpul. Pemerintah juga makin abai melindungi akses petani terhadap tanah dan memicu konflik agraria struktural makin massif.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,