Ternyata, Pantai Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar) tak hanya pantai peneluran penyu. Ia juga bak sampah raksasa bagi negara-negara tetangga. Tak tanggung-tanggung, sampah yang dikirim beragam bentuk, baik sampah organik maupun non-organik. Kebanyakan kemasan botol plastik air mineral.
Hasil penelusuran WWF-Indonesia di pantai peneluran penyu itu, berbagai sampah dijumpai pasca-cuaca buruk. Selama, November – Februari 2014, gelombang besar menjadi agenda tahunan. Setelah musim normal, tersisa hanya tumpukan sampah di sepanjang Pantai Paloh.
Dwi Suprapti, Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF–Indonesia, mengatakan, sampah utama kayu, plastik, dan botol-botol air mineral. “Setelah kami telusuri botol-botol air mineral yang terdampar di Pantai Paloh bukan produksi Indonesia, tertera label Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand hingga China,” katanya di Pontianak, Minggu (23/2/14).
Keadaan itu, mengindikasikan, sampah kiriman dari berbagai negara. Secara geografis, Pantai Paloh berhadapan langsung dengan Laut China Selatan yang dikelilingi beberapa negara.
Dwi menambahkan, Pantai Paloh yang sudah tertimbun sampah bisa mengganggu aktivitas peneluran penyu. Meskipun belum memasuki musim puncak peneluran, namun dua sampai lima penyu per malam masih dijumpai mendarat di pantai ini. Banyaknya sampah membuat penyu enggan bertelur. Satwa dilindungi itu, kesulitan melintasi pantai dan membuat sarang akibat terhalang tumpukan sampah.
Sampah pantai yang tidak dibersihkan berpotensi terbawa kembali oleh air laut dan terombang ambing di lautan hingga menyamarkan makanan bagi tukik (bayi penyu). Tukik yang baru belajar makan menduga sampah plastik adalah ubur-ubur atau makanan terapung. Hingga, seringkali tukik dijumpai mati. Setelah dinekropsi, dijumpai sejumlah sampah plastik di lambung.
Dari fakta itu, sejumlah pihak yang peduli Pantai Paloh, antara lain, Pokmaswas Kambau Borneo, Ormas Kalilaek Paloh, mahasiswa magang dari Universitas Tanjungpura dan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta. Lalu, WWF-Indonesia, Komunitas Bujang Dara Penyu Paloh dan sejumlah warga menggelar KolaborAKSI Kumpul Sampah di Pantai Peneluran Paloh Minggu (23/2/14) pagi. Aksi ini menjadi rangkaian peringatan Hari Sampah Nasional setiap 21 Februari.
Hermayani Putera, Kalimantan Regional Leader WWF-Indonesia, menambahkan, fenomena sampah dari luar negeri memperlihatkan persoalan lingkungan hidup bersifat multidimensi, lintas wilayah administrasi, termasuk lintas negara.
Untuk itu, kata Hermayani, penting aksi bersama lebih massif. Jadi, bisa dimulai dari semangat aksi para komunitas seperti saweran sampah ini hingga langkah lebih strategis di tingkat antar-negara. “Kita perlu highlight dan complain isu sampah di Paloh agar menjadi perhatian otoritas di Malaysia dan Singapura. Sama ketika Singapura complain ekspor asap dari Indonesia ke negara mereka beberapa waktu lalu,” ujar dia.
Di Kota Pontianak, agenda KolaborAKSI Kumpul Sampah dipusatkan di GOR Galaherang – Ahmad Yani. Lokasi ini dipilih karena hampir setiap Minggu aktivitas manusia di kawasan itu cukup padat hingga menghasilkan banyak sampah.
Maria Theresia, Koordinator Kota Earth Hour Pontianak 2014 mengatakan, KolaborAKSI ini berhasil mengumpulkan sampah 16 karung atau 15 kilogram dalam waktu satu jam. Sampah itu terdiri dari botol plastik, kantong plastik, styrofoam dan kertas. “Kita sayangkan warga Pontianak kurang kesadaran membuang sampah demi kenyamanan bersama.”
Dia menyadari, sejumlah orang yang beraktivitas di sekitar GOR Galaherang mulai peduli kebersihan. Mereka ingin membuang sampah di tong-tong sampah. Namun, tong sampah di area pedagang sangat minim dan sulit dijumpai. Akibatnya, warga buang sampah sembarangan. “Saya berharap Pemerintah Pontianak lebih banyak menyediakan tempat-tempat sampah terutama di lokasi umum.”
KLH Cari Solusi Kelola Sampah
Pada 21 Februari, diperingati sebagai Hari Peduli Sampah, sekaligus mengingat tragedi TPA Leuwigajah di Kabupaten Bandung. Longsoran sampah di TPA itu merenggut sekitar 150 orang. Tragedi itu cermin betapa buruk pengelolaan sampah di tanah air.
Rasio Ridho Sani, Deputi VI Kementerian Lingkungan Hidup, di Jakarta, Rabu (19/2/14) mengatakan, belajar dari tragedi TPA Leuwigajah hingga terbitl UU No. 18 tahun 2008 tentang pengeloaan sampah. “UU itu mengamanatkan perlu perubahan mendasar dalam pengelolaan sampah.”
Dia mengatakan, pendekatan pengelolaan sampah yang tepat dengan mendorong perilaku masyarakat mengimplementasikan reduce, reuse, recycle (3R). Begitu juga extended producer responsibility (EPR) terus didorong. EPR mengharuskan produsen memikirkan kemasan produk mereka. KLH mendorong perusahaan menggunakan bahan mudah didaur ulang dalam kemasan produk mereka.
“Kami sedang menyiapkan peraturan mengenai ini. Pengelolaan sampah harus melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat,” kata Rasio.
Data KLH, keseluruhan sampah penduduk Indonesia mencapai 200 ribu ton per hari atau sekitar 73 juta ton per tahun. Perhitungan itu muncul dengan asumsi satu orang menghasilkan sampah 0,8 kg per hari. Jumlah sampai di kota metropolitan– penduduk lebih dari 1 juta jiwa–mencapai 1.300 ton. Lalu, di kota besar, dengan penduduk 500 ribu-1 juta jiwa sebanyak 480 ton.
“Ini tantangan kita semua. Kalau kita melihat data, 25 persen sampah belum sampai ke TPA. Artinya banyak sampah tidak terkelola atau dibuang begitu saja.”
Berdasarkan studi tahun 2008 di beberapa kota, sampah yang ditimbun di TPA sebanyak 69%. Sisanya, dikubur 10%, dikompos atau daur ulang 7%, dibakar 5%, sisanya 7% tidak terkelola.
KLH merancang tiga agenda besar memperingati Hari Peduli Sampah yang terpusat di Surabaya. Kegiatan ini memperingati Hari Peduli Sampah pada 24 Februari di Taman Surya, Kantor Walikota Surabaya, Pertemuan The 5th Regional 3R Forum in Asia and The Pacific (25-27 Februari), dan pertemuan The 5th High Level Seminar onEnvironmentally Sustainable Cities (28 Februari-1 Maret).
Kondisi TPA
Sementara itu, Djoko Mursito, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Kementerian Pekerjaan Umum, mengatakan, sejak 2006, Kementerian PU sudah membangun 438 TPA ramah lingkungan tetapi baru 10 persen dikelola menggunakan teknik sanitary landfill atau controlled landfill.
UU Pengelolaan Sampah mengamanatkan lima tahun sejak berlaku, pemerintah daerah menutup semua TPA open dumping. Untuk kota sedang dan kecil, pengelolaan TPA harus menggunakan sistem controlled landfill. Untuk kota metrolopitan, TPA harus dibangun dengan konstruksi sanitary landfill. Hal serupa diamanatkan Permen PU No. 3 tahun 2013 tentang penyelenggaraan dan sarana persampahan rumah tangga.
“Banyak TPA menggunakan open dumping. Hingga pengelolaan sampah tidak memadai. Sampah rumah tangga bercampur dengan B3 danlain-lain. Kita sedang menyiapkan PP yang mengatur pengelolaan sampah secara spesifik,” kata Djoko.
Dia mengatakan, pemerintah pusat hanya menyediakan sarana, sedang pengelolaan kepada pemerintah daerah. Dia berharap, semua TPA bisa dikelola menggunakan teknik sanitary ladfill. Perlu komitmen dari pemerintah daerah guna mewujudkan ini.
Pembangunan TPA sanitary landfill membutuhkan biaya Rp4-Rp6 miliar per hektar. Untuk pengoperasian perlu dana Rp80 ribu per ton sampah. Laporan dari Pontianak dan Jakarta