Pelabuhan Khusus Menjamur, Pesisir Kutai Timur Terancam Rusak

Beberapa tahun lagi mangrove di kawasan Kabupaten Kutai Timur diperkirakan akan binasa, pasalnya, di sepanjang garis pantai Kabupaten Kutai Timur, sepanjang 152,5 kilometer yang membentang dari kawasan Teluk Pandan hingga Tanjung Mangkalihat, akan berdiri lebih dari 26 titik pelabuhan khusus. Dan saat ini  telah dipersiapkan izin membangun pelabuhan khusus yang diperuntukan untuk memuat batubara dan CPO atau minyak kelapa sawit mentah.

Sebagian pelabuhan sudah digunakan dan sebagian lain sudah memperoleh izin dan bersiap melaksanakan pembangunan. Tak hanya pelabuhan, sebagian juga terkoneksi dengan jalan hauling, baik kebun maupun tambang.

Dosen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Siti Kotijah, SH, MH mengatakan laporan akhir tahun 2010 PBB bidang Program Lingkungan (UNEP), disebutkan saat ini sebaran hutan mangrove berada di 132 negara, yang meliputi areal seluas 150 ribu kilometer persegi. Luas hutan mangrove terbesar ada di Indonesia, yaitu 21% (2010:86). Termasuk di pesisir Kabupaten Kutai Timur, dengan garis pantai 152,5 kilometer

Daerah pesisir Kutim pun termasuk dalam bagian Selat Makasar yang merupakan kawasan dengan kekayaan terumbu karangnya, yang termasuk salah satu yang terbaik di dunia, dan sudah menjadi bagian integral ekosistem Segitiga Terumbu Karang Dunia (World Coral Triangle).

“Keberadaan mangrove sebagai  sebagai kekayaan alam diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, dan UU Nomor 27 tahun 2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau‑Pulau Kecil,” kata Kotijah, yang juga mahasiswa Program Doktoral Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya tersebut. “Imbasnya, hilanglah penyangga pantai dari tsunami, hilanglah ikan, rusaklah terumbu karang, hilanglah mata pencarian nelayan, serta hilanglah keindahan kawasan bawah laut (terumbu karang) yang sudah diakui dunia.”

Dengan luas area pelabuhan umum dan khusus di pesisir Kutim yang mencapai 3.666,2 hektar, menunjukkan terjadinya pengabaian tata kelola pemerintahan yang baik. Juga  melahirkan mal‑administrasi, terkait rusaknya ekosistem dan kesimbangan ekologi pada kawasan mangrove.

Harus diketahui bahwa kedudukan pemerintah daerah merupakan lembaga yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan hutan mangrove yang ada di daerahnya. Hal ini sesuai amanah UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‑pulau Kecil.

Kewenangan mengelola mangrove ada di pemerintah daerah, termasuk izin untuk pemanfaatan kawasan mangrove. Meskipun ada larangan mengkonversi atau merusak ekosistem dan menebang mangrove, pada pasal penjelasan UU tersebut, membolehkan penebangan asalkan dialokasikan dalam perencanaan wilayah/tata ruang. Pemerintah pusat tidak bisa memaksa.

“Permasalahan di lapangan, kabupaten Kutim belum memiliki peraturan di daerah tentang pengelolaan mangrove, khususnya di kawasan berstatus Area Pemanfaatan Lain (APL). Juga belum ada Perda RTRW. Sehingga pemerintah pusat (atas rekomendasi dan izin lokasi dari kabupaten) dengan mudahnya memberi izin pelsus,” Lanjut Kotijah.

Berdasar ketentuan Pasal 14  ayat (1) huruf j UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dijelaskan urusan wajib yang menjadi kewenangan melekat pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota. Dalam hal ini termasuk kewenangan pengendalian lingkungan hidup.

Seharusnya pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan atas izin pelsus tersebut. Terutama terkait dampak yang dirasakan masyarakat. Pengabaian terhadap tata pengelolaan pemerintah yang baik ini, secara umum akan merugikan Kabupaten Kutim sendiri, apalagi masyarakat sekitar banyak berprofesi sebagai nelayan.

“Pemerintah daerah sudah saatnya membuat langkah yang tegas dan tepat, untuk menjaga ekosistem alam. Terlebih dengan perubahan iklim ekstrem yang sekarang yang terjadi di berbagai belahan dunia. Jangan jadikan Kutim daerah bencana karena kepentingan sesaat. Karena itu, batalkan izin pelabuhan khusus,” tembah Kotijah lebih lanjut.

Sementara itu Pemkab Kutim Bakal Evaluasi Pelabuhan Khusus tersebut. Sorotan tajam tertuju kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur terkait maraknya pembangunan dan perizinan pelabuhan khusus di pesisir Kutim. Wakil Bupati Kutim, Ardiansyah Sulaiman, mengatakan pihaknya akan mengevaluasi kondisi tersebut.

“Sebenarnya masalahnya bukan apa‑apa. Mungkin mereka (pihak swasta) ingin mudah saja Di sisi lain kita ingin menyelamatkan pesisir kita. Nanti akan kita coba evaluasi,” kata Ardiansyah, beberapa minggu lalu. “Saya memang pernah meminta SKPD terkait untuk mengkaji. Namun sampai sekarang belum ada informasi pasti dari Dishub, Disbun, dan Distamben,” jelas Ardiansyah.

Sementara itu, Ketua DPRD Kutim, Alfian Aswad, 25 Januari 2014 silam mengatakan, pihak legislatif tidak mengetahui tentang banyaknya pelabuhan khusus di pesisir Kutim. Pihaknya pun siap untuk mengevaluasi eksekutif terkait masalah tersebut.

“Kami belum tahu tentang pelsus‑pelsus tersebut. Saat saya memimpin DPRD belum ada pembahasan itu.  Demikian pula saat saya menjadi anggota pada periode awal 2009‑2014. Tidak ada dikoordinasikan dengan kami. Dan kami siap melakukan evaluasi tentang masalah tersebut,” ungkap Alfian.

Dari data 2013, telah dipetakan zonasi untuk 2 kawasan industri, 1 pabrik semen, 4 pelabuhan pemerintah, 20 pelsus, dan 10 jalan hauling. Luas area untuk pelabuhan umum dan pelsus di pesisir Kutim mencapai 3.666,2 hektar. Kemungkinan jumlah usulan di tahun 2014 sudah meningkat, mengingat semakin banyak perusahan tambang dan sawit yang memulai operasi produksi.

Pada awal tahun 2013, Dinas Pengendalian Lahan dan Tata Ruang (PLTR) Kutim. sempat menginisiasi dan berkoordinasi lintas sektor di SKPD Kutai Timur untuk melaksanakan pola pelabuhan khusus terintegrasi. Sekaligus “mengerem” banyaknya penambah pelabuhan khusus.

Pada sisi lain, perusahaan juga bisa memaksimalkan pelabuhan pemerintah yang sudah ada sebagai outlet mereka. Terlebih saat ini sedang dilakukan percepatan pembangunan pelabuhan umum Kenyamukan dan KIPI Maloy. Namun tindak lanjut konsep tersebut terkesan jalan di tempat.

Lokasi Awal KIPI Maloy yang Terletak di Desa Maloy Kecamatan Kaliorang Kutim. Foto: Hendar
Lokasi Awal KIPI Maloy yang Terletak di Desa Maloy Kecamatan Kaliorang Kutim. Foto: Hendar

Terbukti Merusak Lingkungan, Izin Dicabut

Sementara, anggota Komisi V DPR RI, Hetifah, yang membawahi bidang bidang infrastruktur dan perhubungan menilai, diperlukan pendataan, evaluasi, dan audit situasi kepelabuhanan secara serius. Tak hanya di Kutai Timur, namun di seluruh wilayah Kalimantan Timur. Dan bila terbukti merusak lingkungan, maka izin pelsus tersebut harus dicabut.

“Menurut saya, tidak otomatis pembangunan pelsus itu merusak lingkungan, terutama bila ada sentuhan teknologi. Idealnya dalam pemberian izin dari pemerintah, semestinya sudah ada jaminan bahwa pembangunan sudah memenuhi syarat‑syarat, termasuk dampak lingkungan,” kata Hetifah.

Artinya, bila sudah ada izin, semua aspek terkait pasti sudah diperhitungkan. Karena itu perlu dilakukan evaluasi dan audit situasi secara mendalam. “Namun jika memang terbukti melanggar UU Pelayaran dan PP Nomor 70 tahun 1996 tentang Kepelabuhanan, dan merusak ekologi, maka pemerintah pusat harus mencabut izin pelabuhan tersebut,” katanya.

Ia menyarankan, sebaiknya pemerintah segera merealisasikan pembangunan pelabuhan terintegrasi, seperti ide Pemerintah Provinsi Kaltim untuk membangun Pelabuhan Maloy. “Anggaran ratusan milyar sudah dialokasikan untuk pembangunan pelabuhan dan jalan. Saya sepakat bahwa pelabuhan integrasi bisa menjadi solusi untuk meminimalisir dampak kerusakan lingkungan,” katanya.

Mengenai hal ini dibutuhkan kerjasama dari pihak perusahaan untuk sama‑sama membangun Kaltim. Tidak hanya untuk saat ini, tapi mengembangkan paradigma pembangunan berkelanjutan. Yaitu keuntungan dapat dirasakan hingga generasi yang akan datang dengan menjaga lingkungan salah satunya.

UU RTRWP ini penting sebagai acuan utama bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten untuk menentukan zona‑zona pembangunan. Juga memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha serta perlindungan bagi masyarakat.  Dalam konteks ini, Hetifah berharap pemerintah bisa berperan maksimal. “Dari banyaknya kasus, seharusnya DPRD bisa berperan aktif mengawasi pembangunan, khususnya pelabuhan. Peranan kepala daerah pun sangat penting. Kita harus mewujudkan keseimbangan. Kerusakan lingkungan harus dicegah. Pemerintah harus lebih selektif,” katanya.

Secara umum, Hetifah menilai permasalahan “menjamurnya pelabuhan khusus” bukanlah semata permasalahan Kutai Timur, namun juga Kaltim yang dikenal sebagai daerah kaya sumber daya alam. Dalam kunjungan kerjanya di berbagai daerah di Kaltim, ia melihat langsung betapa banyaknya pelsus di pesisir, baik sungai maupun laut.

“Saya berharap pemerintah bersikap adil. Perusahaaan bukan segala‑galanya. Masyarakat lokal‑lah yang harus menjadi prioritas bila terjadi konnflik kepentingan. Bukan pengusaha pendatang yang masuk belakangan,” katanya.

Sebagaimana diwartakan, mayoritas pelabuhan di pesisir Kutim merupakan pelabuhan khusus (pelsus) batubara, crude palm oil (CPO), semen, dan BBM yang dibangun pihak swasta. Dan sisanya pelabuhan milik pemerintah yang didanai uang rakyat. Luasnya pun beragam, mulai dari puluhan hingga ratusan hektar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,