Komitmen Penyediaan Pendanaan Harus Mencukupi Kebutuhan Penanganan Perubahan Iklim

Pendanaan menjadi salah satu isu yang menarik diikuti dalam setiap perundingan perubahan iklim, termasuk perundingan di Bonn, Jerman yang sedang berlangsung saat ini.  Pendanaan bagi penanganan perubahan iklim menjadi elemen penting dalam kesepakatan protokol baru yang akan disahkan pada konferensi perubahan iklim COP21 di Paris Perancis, pada Desember 2015 mendatang.

Indonesia menegaskan pandangan bahwa penyediaan pendanaan untuk aksi  pasca 2020 harus didasarkan pada komitmen para Pihak negara maju, sesuai dengan ketentuan Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim yang telah diratifikasi oleh 196 negara.

“Pendanaan yang disediakan harus baru dan tambahan di luar komitmen pembangunan internasional, memadai, berkelanjutan dan dapat diprediksi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara berkembang melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, untuk mencapai tujuan global mencegah kenaikan suhu 2 derajat” ujar Suzanty Sitorus, Sekretaris Kelompok Kerja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang juga anggota Delegasi RI.

Selain itu, Indonesia menyatakan bahwa kesepakatan 2015 perlu memberikan kejelasan mengenai tingkat komitmen pendanaan dan mekanisme apa yang akan digunakan untuk menyalurkan pendanaan. Bagi negara berkembang, melakukan pembangunan untuk kesejahteraan warganya sambil memastikan emisi yang dikeluarkan rendah merupakan tantangan  yang besar karena membutuhkan biaya yang besar.  Upaya negara berkembang, termasuk dalam penyediaan pendanaan perubahan iklim, dilaksanakan dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Perbedaan tersebut harus dicerminkan dalam kesepakatan 2015 sehingga perjanjian multilateral baru nanti akan diterima oleh semua Pihak karena memenuhi rasa keadilan.

Namun hal tersebut tidak berarti bahwa negara-negara berkembang belum dan tidak akan menyediakan pendanaan untuk kegiatan terkait perubahan iklim. Hasil kajian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Climate Policy Initiative baru-baru ini menunjukkan bahwa pada 2011 pendanaan terkait perubahan iklim dari sektor publik di Indonesia mencapai USD 951 juta, dimana 66% di antaranya berasal dari anggaran pemerintah nasional.

Pengeluaran ini utamanya untuk mitigasi dan adaptasi, alih teknologi, meningkatkan kapasitas, perbaikan tata kelola, kebijakan dan peraturan, insentif ekonomi dan fiskal. “Anggaran pemerintah ini digunakan untuk berbagai kegiatan terkait perubahan iklim, termasuk dalam upaya untuk mencapai ketahanan energi dan ketahanan pangan untuk menjamin keberlanjutan ekonomi kita” jelas Suzanty.

Indonesia menghargai kontribusi dari negara-negara maju ke dana-dana multilateral, namun sejauh ini dana tersebut tidak cukup untuk membiayai proyek-proyek dan program-program perubahan iklim di negara-negara berkembang. “Sumber eksternal masih sangat tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan Indonesia untuk memenuhi tujuan mitigasi dan adaptasi. Untuk itu penyediaan pendanaan oleh pemerintah negara-negara berkembang juga perlu ditingkatkan” ujar Suzanty.

Meskipun demikian, Indonesia menegaskan bahwa kontribusi negara berkembang tidak dalam level yang sama dengan negara-negara maju, karena kemajuan pembangunan yang tidak sama dan pertumbuhan ekonomi yang rentan terhadap penurunan.

 Konferensi perubahan iklim di Bonn yang berlangsung pada 4-15 Juni 2014 tersebut merupakan salah satu rangkaian perundingan menuju Conference of Parties (COP) ke-21 di Paris, Perancis, pada akhir tahun 2015. Negara-negara Pihak UNFCCC telah menyepakati bahwa pada COP21, akan diadopsi suatu protokol, instrumen legal atau keputusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan melibatkan semua negara Pihak sebagai basis kerangka kerja global baru untuk penanganan masalah perubahan iklim pasca-2020.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,