Tanggapan Terhadap Tulisan “Angka Deforestasi Belinda, Kajian Ilmiah Bermuatan Politis”

*Belinda Arunarwati Margono

Penulis adalah PNS, staf teknis Dit IPSDH Direktorat Jenderal Planologi Kementrian Kehutanan, pada tahun 2000-2007 menjadi penanggungjawab pembuatan peta tutupan lahan Indonesia. Riset yang dibahas merupakan bagian disertasi studi doktoral penulis, yang telah dipertahankan pada Februari 2014 yang kemudian dipublikasikan secara terpisah, bertahap dan berkesinambungan.    

Tulisan ini adalah opini dari penulis. Tulisan ini merupakan tanggapan dari artikel yang sebelumnya dimuat di Mongabay Indonesia

Sangat menyedihkan membaca artikel bapak Agus Purnomo (BAP) yang menyebutkan riset kami di Nature (Margono et al 2014) dan di Science (Hansen et al 2013) dilakukan dengan dasar politis. Apalagi BAP saat ini mempunyai posisi dalam pemerintahan, yang seharusnya paham mengenai etika berkomunikasi kepada publik.

Sebagai author utama artikel tersebut, saya berharap, BAP memahami bahwa sebuah riset sebelum berhasil dipublikasikan dalam jurnal Internasional, terlebih jurnal sekelas Science atau Nature  (dan direfer oleh berbagai media dengan bahasa dan interest-nya masing-masing), telah menjalani proses akademis yang sangat panjang.

Tulisan BAP sungguh memprihatinkan, bahkan cenderung membingungkan; sehingga walaupun kami telah memberikan respon (teks asli dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan), namun saya menyampaikan tulisan ini sebagai follow up, agar pembaca dan pemerhati hutan di Indonesia, memahami persoalan yang ada. Saya seorang forester, dan riset ini saya lakukan dengan analogi “tidak ada pengobatan yang tepat bagi suatu penyakit, tanpa diagnosis atas data yang tepat dan akurat”; demikian juga dengan hutan Indonesia. Terlebih dengan beragamnya angka deforestasi yang beredar diluaran sana (check supplementary material artikel Nature).

Untuk itu, data-informasi hutan yang didukung sumber data konsisten, metodologi jelas, definisi mudah diklarifikasi, dan hasil dapat diakses oleh publik (sebagai fungsi kontrol) harus dijadikan acuan bagi pengelolaan sumberdaya hutan. Idealnya data-informasi tersebut tersedia dalam skala nasional; skala project mungkin cukup ideal karena detil, namun lebih bersifat specific atau sesuai dengan wilayah (dengan kondisi biogeografis) dimana proyek itu berada.

Lebih lanjut, perlu saya jelaskan, riset ini sudah diinisiasi sejak tahun 2005/2006 dan terus dikembangkan dan dipublikasikan secara bertahap dan berseri, baik tahapan hasil maupun metodologinya (al: Broich et al 2011a, 2011b, Potapov et al 2008, 2010, 2011, Margono et al 2012, 2014, Hansen et al 2008, 2009, 2013, 2014). Riset inipun saya lakukan, berdasarkan pengalaman teknis selama mengabdi lebih dari 15 tahun di Kementrian Kehutanan dalam bidang pemantaun sumber daya hutan. Disamping itu, riset ini juga saya tujukan untuk memperkuat sistem pemantauan yang sudah ada, dimana memang ada beberapa kelemahan sebagai konsekwensi perkembangan teknologi, metodologi, keahlian dan infrastruktur yang ada.

Jadi riset ini bukan ditujukan sebaliknya, seperti untuk mencari salah dan benar. Riset ini juga diarahkan untuk mendukung the good forest governance in Indonesia melalui transparency data dan informasi hutan (dibuktikan dengan ketersediaan data kami secara online, mudah dilihat, dapat diakses bahkan di download oleh siapa saja yang memerlukan). Dalam hal ini, BAP sebagai negosiator di forum UNFCCC tentu memahami pentingnya arti transparansi data/informasi dalam meningkatkan kredibilitas suatu negara dalam melakukan negosiasi.

Artikel di Nature, sudah dilengkapi dengan definisi dan deskripsi lengkap mengenai berbagai istilah dan terminologi yang dipergunakan, bahkan disertai dengan perbandingan terhadap data penutupan lahan yang sudah lebih dahulu dikenal di kalangan pemerhati hutan di Indonesia (yaitu penutupan lahan Kementrian Kehutanan – saya menggunakan data tahun 2000 karena tahun tersebut adalah tahun dimulainya tahapan analisa).

Tujuannya kelengkapan itu tentu untuk memberikan latar belakang akademis dan pemahaman yang lengkap kepada para pembaca dan users mengenai apa yang dibicarakan, bagaimana menggunakannya, juga menjamin bahwa perbandingan hasil yang diberikan adalah perbandingan sepadan (membandingkan apple to apple).

Selanjutnya saya memperhatikan bahwa tulisan BAP kurang tepat dalam menggunakan gambar untuk visualisasi, dan ini sungguh menyesatkan. Gambar yang ditampilkan adalah Hansen forest cover dari Hansen et al 2013 yang dalam definisi sudah kami sebut sebagai tree cover dan bukan natural forest atau primary forest yang ada di tulisan Margono et al 2014. Demi kejelasan, kami sertakan definisi yang kami maksud.

Forest was defined as tree cover with a minimum height of 5m and canopy cover of at least 30% (Hansen et al 2013, Margono et al 2014). In Margono et al (2014), the primary forests is defined as all “mature forests of 5 ha or more in extent that retain their natural composition and structure and have not been completely cleared in recent history (at least 30 years in age)” (referring to Ministry of Forestry 2008, FOFC-GOLD 2010, Margono et al 2012, Wilcove et al 2014). The class description of primary forest refers to natural forest. The primary forest is disaggregated into two types: intact (undisturbed type), and degraded (disturbed type).

Tree cover memang cakupannya global (tentu saja karena kami menggunakan earth observation data), namun pada setiap biome, dilakukan tahapan riset lebih mendalam sesuai dengan kondisi iklim dan geografisnya. Untuk Indonesia, (secara sederhana) tree cover mencakup semua tutupan pohon dengan batasan tersebut diatas, mencakup hutan alam, hutan tanaman, kebun karet, agroforestry, kebun sawit, tanaman/hutan rakyat, dsb.

Angka 30% merefer pada threshold yang dipakai Kementrian Kehutanan (MOF 2008), dimana apabila kita menggunakan 10% (FAO), maka hampir seluruh wilayah Indonesia bervegetasi (pohon). Harus diingat, kami menggunakan data satelit, yang melihat sesuatu obyek hanya dari “atas”, tanpa kecuali. Kami kemudian menggunakan istilah primary forest untuk merepresentasikan “hutan alam”, dengan meng-exclude/extract/mengeluarkan tutupan pohon lainnya. Bagaimana meng-exclude/extract, ada dalam metodologi (sebagaimana dijelaskan di Margono et al 2012, 2014).

Jadi apabila BAP menggunakan angka forest loss dari Hansen et al 2013, maka BAP merujuk pada gross loss-nya, artinya semua apapun tutupan pohonnya, bahkan termasuk rotasi panenan hutan tanaman/kebun. Namun pada Margono et al 2014, forest loss tersebut sudah di-exclude hanya loss (kehilangan) pada hutan alam (primary forest), dan tidak memperhitungkan lagi bentuk tutupan yang kemudian tumbuh kembali (gain).

Hal ini penting dipahami, karena salah interpretasi berujung pada komentar yang kurang tepat.Untuk kepentingan penghitungan emisi karbon dan inisiatif REDD+ misalnya, gross loss ataupun loss (hanya) hutan alam, idealnya dihitung semua, dan dikombinasikan dengan gain-nya apabila datanya sudah tersedia; Ini agar tidak hanya carbon release yang dihitung namun juga carbon sequestration-nya.

Namun saya akui, karena kedinamisan vegetation cover di Indonesia, penghitungan gain forest skala nasional masih membutuhkan validasi lebih jauh, khususnya untuk Indonesia, dimana masalah awan cukup menganggu. Sebagai catatan, apa yang telah dilakukan untuk Indonesia, menjadi model untuk diterapkan di negara yang lain, bahkan pada biome yang lain.

Lebih jauh apabila BAP cukup jeli, sesungguhnya laju perubahan tutupan hutan alam (primary forest cover loss), kami hitung setiap tahun, tidak melulu hanya dalam bentuk angka atau tabulasi statis, namun juga menghasilkan peta sebaran dan bahkan menggambarkan tahapan prosesnya. Ini bukan penghitungan penyederhanaan, sebaliknya bahkan menggambarkan komplikasi yang terjadi dalam suatu “proses” deforestasi.

Pembaca artikel di Nature bahkan bisa melihat proses atau historical information dimana dan kapan suatu tutupan hutan alam menjadi terganggu (degraded) dan kemudian selanjutnya hilang (cleared). Pembaca jadi bisa melihat fakta, bahwa umumnya hutan alam tidak langsung begitu saja di clearing, namun dia akan mengalami “proses” terdegradasi dulu, dimana tanpa treatment yang pas, semakin lama degradasinya akan semakin parah dan akhirnya memenuhi kriteria untuk terjadi clearing (sangat menyedihkan).

Kondisi hutan gambut yang terbakar di konsesi PT Sumatra Riang Lestari pemasok kayu bubur kertas grrup APRIL pada Mei 2014. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Informasi cover inilah yang saya peroleh dari data remote sensing yang seharusnya bagi yang memahami hakekatnya, kemudian di cross-check dengan informasi pemanfaatan, peruntukan dsb, untuk memberikan gambaran situasi yang sesungguhnya terjadi, sekaligus sebagai kontrol.

Jadi saya perhatikan, BAP mencampurkan adukkan pemahaman antara land cover dan land use, dan terus terang pemahaman ini memberikan hasil kajian yang kurang tepat dan salah sasaran. Apabila seseorang menggunakan data remote sensing, maka informasi yang diperolehnya adalah land cover (penutupan lahan) dan bukan land use. Untuk kajian lebih jauh (sekaligus kontrol), idealnya informasi land cover di cross check dengan informasi land use nya melalui analisa GIS. Jadi bukan dengan mencampuradukkan kedua terminologi tersebut secara bersamaan. Sebagai contoh: kelas primary degraded forest atau hutan alam yang telah mengalami gangguan (khususnya logging), di Indonesia dinamai secondary forest (hutan sekunder); kelas ini tidak termasuk hutan yang tumbuh kembali setelah sebelumnya di-clearing (SNI 2010, Margono et al 2012, MoF-UNREDD 2013, Wilcove et al 2014).

Hutan sekunder adalah terminology land cover, sedangkan pada saat BAP bicara APL (areal penggunaan lain), HL (hutan lindung), tata ruang dsb; itu adalah terminology land use. Secara sederhana land use adalah apa yang didesain oleh manusia untuk peruntukan atau pemanfaatannya, dan pada prakteknya belum tentu sesuai dengan tutupan (cover) nya (bukan sebaliknya).

Dengan pengertian ini, adalah sangat wajar bahwa sebaran hutan alam (primary forest), baik intact maupun degraded, bisa berada baik di dalam maupun diluar kawasan hutan. Ini barangkali juga pemahaman paling mendasar yang perlu diketahui apabila melakukan kajian mengenai data hasil penginderaan jauh.

Hal lain, saya mengangkat terminologi primary forest (atau hutan alam-apabila BAP memperhatikan definisi yang telah saya sampaikan di atas), untuk merepresentasikan kedua kelas yang ada dalam cakupannya, baik primary intact forest (undisturbed) maupun primary degraded forest (disturbed).

Mengapa juga hutan sekunder? Karena pada dasarnya hutan alam sekunder (atau saya sebut primary degraded forest atau Kementrian Kehutanan menyebutnya hutan sekunder) merupakan hutan yang masih mempunyai kandungan karbon yang signifikan, bahkan merupakan habitat penting bagi satwa terancam punah seperti harimau dan orangutan. Ulasan BAP (dalam konteks moratorium) bahwa tidaklah benar memasukkan (memperhitungkan) kelas hutan sekunder ke dalam hutan alam (primary forest), bahkan sangat membahayakan kelestarian hutan alam sendiri.

Message artikel Nature bukan mengatakan bahwa seluruh kawasan hutan (land use) harus dikonservasi atau dilindungi, toh kawasan hutan sudah punya sub-kelas dengan fungsi masing-masing (konservasi, lindung, HP, HPT, dan HPK). Artikel Nature hanya menyampaikan fakta di lapangan. Saya paham bahwa pembangunan tidak terelakkan, dan hutan kadang tidak punya peluang untuk dipertahankan. Namun pengelolaan hutan harus memperhatikan baik land cover maupun land use atau tata ruang-nya (dan idealnya juga landform serta tipe tanahnya). Ini dapat dilihat dalam kerangka sebagai berikut: untuk mengatur lebih jauh suatu tutupan hutan (cover), maka dipergunakanlah aturan land use.

Artinya apabila hutan sekunder (cover) berada pada land use konservasi dan lindung (HK dan HL), maka kelas tutupan ini seharusnya terus dilindungi dan dijaga kelestariannya; apabila berada di hutan produksi (HP dan HPT), maka dia “idealnya” harus di treatment untuk rotasi tebangan berikutnya; apabila berada dalam hutan konversi (HPK) dan “idealnya” potensi-nya dibawah ambang yang telah ditetapkan, dia secara hukum boleh dikonversi; dan apabila berada di APL, maka menjadi tanggung jawab dan kesepakatan bersama antara masyarakat dan negara untuk menjaga atau mengkonversinya.

Hal tersebut, semestinya juga harus memperhatikan landform serta tipe tanahnya, misalnya apakah tanah mineral atau gambut (peat swamps). Ini penting apabila kita memperhatikan berapa konsekwensi emisi carbon yang akan timbul apabila clearing dilakukan di suatu areal. Urusan perubahan iklim semestinya memperhatikan hal semacam ini. Intinya, keseimbangan primary forest cover didalam tiap kelas land use harus menjadi perhatian. Ini tidak akan tercapai apabila kita tidak memiliki data-informasi yang lengkap, tepat, akurat, konsisten dan kredibel, dan artikel Nature, menyediakan itu.

Situasi land use-land cover ini analog dengan moratorium. Moratorium didesain, dibuat dengan memasukkan kelas land use terpilih (konservasi, lindung, HP, HPT, HPK, dan bahkan APL), ditambahkan dengan kriteria cover yang, mencakup hutan primer (merujuk pada istilah Kementrian Kehutanan, dan identik dengan kelas primary intact forest di riset kami), plus tutupan lahan gambut (Inpres 10/2011 dan 6/2013). Mengeluarkan kelas hutan sekunder dari bahasa moratorium merupakan suatu hal yang sesungguhnya sangat disayangkan, apalagi untuk areal di dalam “kawasan hutan”.

Mengingat kawasan hutan sudah mempunyai aturan tersendiri, dan excluding hutan (alam) sekunder dari moratorium secara tidak langsung membuat kontroversi aturan kehutanan yang sudah berlaku terhadap hutan alam dalam “kawasan hutan”, misalnya hutan sekunder dalam hutan konservasi (TN, SM, CA, TB dsb), pertanyaannya apakah tetap terlindungi/tidak?

Hasil kami menunjukkan bahwa lebih dari 90% primary forest cover loss 2000-2012 berada dalam kelas degraded forest (hutan sekunder). Jadi hutan sekunder sangat rawan clearing, ini penting diketahui, terlebih memperhatikan teori suksesi hutan, dimana hutan yang telah terganggu (entah disebut primary degraded forest, atau hutan sekunder) apabila mendapatkan perlindungan dan treatment yang sesuai, dapat mencapai suksesi klimaksnya dan kembali menjadi hutan tegakan tua.

Bicara moratorium, sejauh informasi yang saya terima, pemerintah Indonesia menyebut moratorium ini sebagai alat untuk menuju good forest governance, dan bukannya semata-mata moratorium of logging (bisa dilakukan cross-check dengan kantor UKP4 dan tim PIPIB). Alasan ini bisa saya terima, karena apabila tujuannya memang moratorium of logging, maka pengecualian tidak seharusnya diberlakukan. Logika ini seharusnya juga dipahami oleh BAP.

Katakanlah apabila moratorium ini memang moratorium untuk logging, sebelum dilihat dimananya, mengapa ada peningkatan deforestation dari 2011 dan 2012?  Dan mengapa 2012 mengalami peningkatan? (catatan: angka gross loss hutan primer+hutan sekunder 2012 Kementrian Kehutanan juga mengalami peningkatan); sedangkan tahun 2011-2012 adalah masa berlaku moratorium. Peningkatan inilah yang sebenarnya menimbulkan pertanyaan, “mengapa” dan bukan menyalahkan moratoriumnya.

Hutan gambut yang dibakar untuk pembukaan perkebunan di Pelalawan, Riau pada Januari 2013. Foto: Zamzami Tanjung

Saya adalah pendukung kebijakan moratorium, namun apakah moratorium itu “bahasanya” atau “sasarannya” tepat? Apakah juga sudah dipahami sebagaimana seharusnya? Itu yang menjadi pertanyaannya. Jadi sebenarnya paper Nature membuka kenyataan ini, dan mengarahkan pada perlunya investigasi lebih jauh mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, bagaimana moratorium ini sebenarnya dipahami, serta apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki, termasuk melihat apakah good forest governance telah dicapai, atau bahkan sebaliknya.

Jadi saya kira, kita (seharusnya) sedang mendiagnosis demi pengobatan terbaik, dan bukan mencari kambing hitam atau menuduh yang tidak semestinya, seperti menghubungkan dengan kepentingan politis.

Disini, saya tidak akan membahas mengenai moratorium lebih jauh, karena pada saat ini saya bersama co-authors masih mengerjakan tulisan mengenai efektivitas moratorium lebih specific. Tulisan tersebut specific menganalisa dalam PIPIB/IMM, dan tentu saja tulisan tersebut akan melalui proses peer-review secara akademis dan baru akan dipublikasikan apabila seluruh proses telah selesai dilakukan.

Namun demikian, saya ingin mengingatkan, bahwa secara tekstual moratorium yang ada pada saat ini memang mempunyai berbagai pengecualian (yang memungkinkan terjadi perubahan tutupan hutannya), salah satunya dimana hak pengusahaan (konsesi) yang telah ada sebelum moratorium ini diberlakukan, tetap boleh melakukan kegiatan seperti biasa. Belum termasuk dengan adanya pengecualian lainnya seperti masih dimungkinkannya penebangan apabila itu untuk kepentingan nasional seperti kebutuhan pangan dan energi.

Telah banyak tulisan yang khusus menyoroti pengecualian-pengecualian ini, termasuk pengecualian terhadap hutan sekunder, misalnya tulisan Murdiyarso et al 2011, Edward and Laurance 2011, Austin et al 2012. Dengan dasar tersebut, dan didukung pesan artikel Nature, saya rasa sangat wajar pertanyaan yang timbul perlu diperhatikan dan diinvestigasi atau diteliti mendalam guna mengetahui efektivitas moratorium tersebut, dan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan politik.

Mengenai rentang waktu studi mengapa 2000-2012? Sungguh memprihatinkan apabila rentang waktu ini dikaitkan dengan nuansa politis. Mengapa? Karena ini semata disebabkan ketersediaan data penginderaaan jauh yang dipakai. Apabila BAP memahami konsep dan kebijakan akuisisi data Landsat atau data yang kami pergunakan (dapat dikomunikasikan dengan LAPAN), maka BAP akan mengerti mengapa kami belum berhasil mengolah data sebelum tahun 2000.

Sebagai informasi, kami pada saat ini masih berusaha mencari partner untuk mengumpulkan seluruh data archive Landsat (tahun 1980-an ke 2000 khusus Indonesia), membuatnya pada format dan standard data yang sama, dan mengolah serta menganalisanya sebagaimana yang telah kami lakukan untuk data tahun 2000-2012.

Yang terakhir, saya secara pribadi sangat menyayangkan bahwa BAP tidak melakukan komunikasi terlebih dahulu dengan kami: saya atau para co-authors, dalam membuat tulisan berjudul “Angka Deforestasi Belinda, Kajian Ilmiah Bermuatan Politis”. Demikian juga dengan GIZ, pihak GIZ belum pernah berkomunikasi dengan saya. Saya lihat ini tidak sesuai dengan etika jurnalisme, terlebih tulisan tersebut (barangkali) bersifat personal karena menyebut nama saya di judul (walau saya anggap sih tidak), dan menggunakan istilah-istilah yang kurang pantas, terlebih juga dikeluarkan oleh seorang pejabat dalam pemerintahan. Apalagi dengan memberikan kesimpulan yang kurang tepat karena didasarkan pada pengertian-pengertian yang tidak/kurang pada tempatnya, dan cenderung diarahkan pada tuduhan yang tidak beralasan.

Perlu diketahui, sepanjang riset ini kami lakukan, komunikasi teknis baik formal/informal dengan Kementrian Kehutanan, LAPAN, berbagai pihak terkait, termasuk UKP4 melalui seri round-table discussion di 2012 dan 2013, telah kami lakukan. Jadi tuduhan muatan politis yang disampaikan BAP, sungguh sangat tidak beralasan, bahkan cenderung berlebihan.

Tanggapan ini semata-mata saya sampaikan secara profesional, tidak ditujukan untuk kepentingan politis maupun personal, dan semata-mata untuk memberikan informasi yang baik dan tidak menyesatkan. Semoga dapat dipahami dan bermanfaat.

Artikel yang diterbitkan oleh
,