Hujan turun cukup deras. Air mulai meninggi di sawah dan rawa-rawa yang dibatasi kanal, yang oleh warga Dusun Srikembang, Kecamatan Muarakuang, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan (Sumsel), disebut arisan. Arisan juga digunakan untuk menyebut wilayah sawah dan rawa-rawa.
Dusun Srikembang berada di tepi Sungai Ogan. Jaraknya dengan Palembang sekitar 100 kilometer atau sekitar 2-3 jam dengan kendaraan bermotor. Waktu yang cukup lama ini karena jalan menuju dusun tidak begitu baik. Meskipun beraspal tapi banyak lubang.
Hujan yang turun sejak sore membuat Bahtiyar dan bapaknya yang bernama Abdullah, biasa dipanggil Mang Ujang, berdiam di bawah pohon durian (Hevea brasiliensis). Sebagai penerang gelapnya malam, mereka menyalakan lampu teplok. Suara kodok, air yang jatuh ke tanah dan rerumputan, gesekan ranting pohon yang basah, serta sesekali guntur, menemani keduanya.
Dalam sepekan, satu atau dua kali, Mang Ujang pulang ke rumahnya di dusun. Dia bersama istri dan anak bungsunya Bahtiyar, lebih banyak hidup di pondok yang berada di arisan. Sementara rumahnya di dusun, ditempati anak tertuanya Karim yang sudah berkeluarga.
“Kami tidak takut hujan atau binatang buas, tapi kami takut dengan petir,” katanya, beberapa waktu lalu.
Warga di dusunnya ada yang meninggal akibat tersambar petir. “Saya bae pernah terkena jalaran petir setelah menyambar pohon kelapa, tapi saya selamat. Saya hanya mengalami luka bakar di kaki kanan,” kata Mang Ujang yang akhirnya sering dipanggil “Ujang petir”.
Beragam cara menangkap ikan
Saat musim penghujan, Mang Ujang dan Bahtiyar mencari ikan dengan cara memancing, memasang jaring dan bubu, serta menggunakan pesap.
Pagi, mereka memasang bubu yang terbuat dari anyaman bambu sebanyak 30 buah. Bubu berbentuk kerucut dipasang di sela-sela aliran air dangkal atau di rawa-rawa. Sementara bubu berbentuk petak di air yang dalam.
Bubu berbentuk kerucut diisi umpan daging gondang (Ficus variegata) yang sudah dibuang cangkangnya. Ikan yang didapat gabus (Channa striatus), toman (Orheichepalus micropeltes), atau baung (Macrones nemurus). Sementara bubu berbentuk petak berisi umpan potongan kelapa. Hasilnya adalah udang air tawar (Cambarus virilis) dan terkadang juga ikan belida (Notopterus chinata).
Sore hari, bubu-bubu itu diambil. Hampir semuanya berisi ikan.
Sebelum mengambil bubu, Mang Ujang bersama Bahtiyar mencari ikan dengan memasang jaring dan memancing. Umpan mancingnya gondang, anak ikan atau katak. Ikan yang didapat umumnya gabus, toman dan baung.
Sedangkan jaring dipasang di air yang dalam, tanpa menggunakan umpan. Saat diangkat mereka mendapatkan ikan bersisik seperti lempan (Puntius schwanefeldi), bawal (Pampus argenteus) atau jelawat (Leptobarbus hoeveni). Terkadang, dari menjaring itu mereka mendapatkan ikan tidak bersisik seperti baung, juaro (Pangasius polyuranodon), tapah (Wallago leeri), patin (Pangasius2), lais (Cyptopterus micronema), bujuk (Channa lucius), atau udang air tawar.
Saat musim kemarau, mereka tetap memasang jaring. Jaring dipasang di air dangkal. Ikan yang didapat seperti sepat (Trichogaster trichopterus), selinca (Polycanthius hasselti), putak (Notopterus notopterus), betok (Anabas testudineus), betutu (Oxyeleotris marmorata), atau tebakang (Helostema temmincki).
Pada musim kemarau, warga juga mencari ikan dengan cara melebung. Melebung dilakukan pada genangan air di arisan. Ikan diambil dengan cara merogoh atau ditangkap menggunakan tangan.
Sebelum merogoh, mereka membersihkan rumput yang ada di genangan air itu. Kemudian membuat pembatas wilayah yang akan dilebung. Selanjutnya mereka menimba atau membuang airnya, sehingga yang tertinggal hanya lumpur.
Cara lain yakni nanau. Berbeda dengan melebung, nanau dilakukan di kolam atau kambang milik warga. Cara menangkap ikannya menggunakan racun ikan, seperti getah pohon tube. Ikan-ikan yang mabuk akibat terkena racun diambil menggunakan serok.
Hasilnya pun tidak dibagi rata seperti melebung, tergantung pemberian si pemilik kolam atau kambang.
Cara lain menangkap ikan yakni jebakan empang. Jebakan empang terbuat dari anyaman bambu sepanjang lima meter dengan tinggi dua meter. Jebakan empang dipasang berdiri, ujungnya merapat ke tepian sungai dengan menggunakan seutas tali, sehingga bentuknya setengah lingkaran. Agar ikan-ikan dapat masuk, ujung jebakan yang masuk ke air, tidak menyentuh dasar sungai. Posisinya diangkat sekitar 15 centimeter.
Jebakan ini hanya dilakukan di Sungai Ogan. Sepanjang Sungai Ogan yang melintas dusun terdapat beragam tanaman pohon, seperti sungkai (Peronema canescens), pulai (Alstonia spp.), kapuk (Ceiba pentandra), kemang (Mangifera kemanga), rambutan hutan (Nephelium lappaceum), ketapang (Terminalia copelandii), nangka (Artocarpus integra ), cempedak (Artocarpus rigidus), rengas (Melanorrhea wallichii), kendal (Cordia bantamensis), rotan (Daemonorops rubra), gelam (Melaleuca spp.), dan sejumlah pohon karet (Hevea brasiliensis ) milik warga.
Sebagai umpan jebakan, digunakan seekor bebek yang sudah mati. Bangkai bebek ini dimasukan ke air yang badannya ditusuk menggunakan bambu. Di atas bambu itu diikatkan kaleng bekas minuman susu yang berisi batu kerikil.
Tetapi, bukan hanya bebek yang dijadikan umpan jebakan empang. Sejumlah warga menggunakan bangkai monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).
“Mamang tidak mau menggunakan monyet. Selain tidak tega kan juga haram kalau ikannya dimakan,” katanya.
Saat kaleng yang berisi batu kerikil berbunyi berulangkali, itu pertanda ikan sudah banyak masuk ke jebakan empang. Bunyi itu disebabkan umpan bangkai bebek bergerak karena dimakan ikan.
Sebelum mengambil ikan dalam jebakan, Mang Ujang melepaskan salah satu ujung tali yang mengikat empang, sehingga ujung empang yang masuk ke air menyentuh dasar sungai. Ikan-ikan yang sudah terkumpul itu pun terkurung.
“Dulu, cara itu yang kami lakukan buat mencari ikan di sungai. Setiap kali menjebak dengan empang hasilnya bisa mencapai 200 kilogram. Karena hasilnya besar, dalam seminggu kami cukup melakukannya satu kali. Tapi, lantaran jumlah ikan saat ini terus berkurang, kami tidak lagi mengandalkan cara ini. Kami terpaksa mencari ikan dengan memancing, memasang bubu, menjaring, atau mesap,” kata Mang Ujang.
“Termasuk menggunakan racun ikan?” tanya saya.
“Ya, mungkin dilakukan wong lain. Tapi Mamang tidak pernah menggunakannya.”
Dijelaskan Mang Ujang, hasil tangkapan ikan di arisan maupun di Sungai Ogan kian hari kian berkurang. Dia tidak tahu mengapa ini terjadi. Padahal, warga yang bekerja sebagai pencari ikan atau nelayan seperti dirinya, sudah berkurang di dusunnya.
“Mungkin karena sudah banyak lahan dijadikan kebun karet, ya. Dan sebagian rawa ditimbun buat membangun rumah, sehingga ikan kehilangan tempat bertelur dan membesar,” katanya.
Di Dusun Srikembang dan banyak daerah pedalaman lainnya di Sumatra Selatan, saat ini tidak banyak lagi warga membangun rumah panggung. Mereka umumnya membangun rumah depot menggunakan batu dan semen, seperti rumah-rumah yang dibangun masyarakat Palembang.
“Kayu sudah sulit didapat dan harganya mahal. Kalau rumah dari batu kesannya mewah dan tahan lama,” kata Mang Ujang, yang punya keinginan membongkar rumah panggung dari kayu miliknya dengan rumah depot dari batu dan semen.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio