“Kota Palu dikelilingi gunung-gunung, Teluk Palu-nya indah, mari kita jaga dan lestarikan…”
Kalimat di atas adalah penggalan bait lagu yang dinyanyikan Iwan Fals ketika menggelar konser “Jambore OI Celebes Bersatu.” Konser ini juga bertepatan dengan hari ulang tahun OI (Orang Indonesia) ke-15, kelompok fans, di Jalan Bukit Jabal Nur, Sabtu (16/08/4).
Bagi Iwan Fals, ini kali keempatnya ia menginjakkan kaki di daerah yang pernah mengalami konflik kemanusiaan awal 2000 an. Ya, musisi legendaris Indonesia itu berada di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Saat konser, Iwan Fals menyapa hampir seluruh perwakilan fans-nya dari kabupaten di Sulawesi Tengah lewat lirik lagu yang ia buat. Iwan mengaku begitu kagum dengan keindahan Palu, apalagi Teluk Palu yang menurutnya memiliki pemandangan yang indah. Kekagumannya itu, ia nyatakan juga sebelum konser, saat konferensi pers dengan sejumlah awak media sehari sebelumnya.
“Teluk Palu sangat indah.”
Di Palu, selain menyerukan pentingnya menjaga lingkungan, ia juga membawa misi kampanye perdamaian dan kebudayaan. Beberapa tahun belakangan, penyanyi bernama lengkap Virgiawan Listanto ini memang dikenal sering membawakan lagu terkait penyelamatan lingkungan. Biasanya ia ikut melakukan penanaman pohon, seperti yang dilakukannya sebelum konser di Palu.
Pagi harinya Iwan Fals menanam pohon, diawali dengan pemukulan gong perdamaian selama tiga kali. Penanaman dilakukan di Tugu Perdamaian Nosarara Nosa Batutu, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore. Tugu ini merupakan ikon perdamaian Sulawesi Tengah.
Penanaman pohon yang dilakukan Iwan Fals ini juga dilakukan serentak oleh anggota OI di seluruh Indonesia. Menurut Wahyudin Chudam, sekretaris panitia, untuk Kota Palu, pohon yang disediakan sebanyak 6.000 pohon. Namun, yang tertanam ketika dipimpin Iwan Fals sebanyak 5.000 bibit.
“Kami masih mencari tahu berapa jumlah yang ditanam anggota OI seluruh Indonesia,” kata Chudam.
Reklamasi Teluk Palu
Ketika masyarakat Bali terus berjuang menolak reklamasi Teluk Benoa, Iwan Fals ikut tergugah dan menyerukan perlawanannya. Bahkan sebagai bentuk penolakannya, Iwan Fals menciptakan lagu untuk mendukung anak-anak muda Bali yang terus berkampanye melawan reklamasi.
“Saya sangat mengapresiasi anak-anak muda di Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa, terutama SID (Superman Is Dead). Mereka adalah pencinta lingkungan yang terus melawan reklamasi Teluk Benoa. Saya sempat diminta buat lagu maka jadilah lagu penolakan reklamasi Teluk Benoa itu,” kata Iwan Fals kepada Mongabay Indonesia, saat konferensi pers dengan sejumlah wartawan.
Bagaimana dengan reklamasi Teluk Palu yang dilakukan Pemerintah Kota Palu?
Menanggapi pertanyaan itu, Iwan yang hadir didampingi Wakil Walikota Palu Mulhanan Tombolotutu, hanya bisa menjawab harus melihat dahulu kajian yang telah dilakukan pakar lingkungan. Dia sendiri mengaku bukanlah orang yang paling paham mengenai reklamasi.
“Kalau hasil kajian mengatakan bahwa reklamasi itu buruk, ya kenapa harus diteruskan.”
Konfrensi pers ini dilangsungkan di Swiss-Bell Hotel Kota Palu. Hotel yang juga berdiri tepat di kawasan Teluk Palu.
Mulhanan Tombolotutu juga menganggapi persoal reklamasi Teluk Palu. Menurutnya, dalam rencana tata ruang dan wilayah sudah diatur mana saja kawasan konservasi, kawasan lindung, pertambangan, perkebunan, dan kawasan lainnya. Untuk reklamasi Teluk Palu, sudah dilakukan kajian berdasarkan tiga aspek: hukum, ekologi, serta sosial dan ekonomi.
“Berdasarkan kajian, reklamasi tidak berpengaruh terhadap aspek lingkungan. Yang direklamasi juga tidak besar, hanya 38 hektar, tidak sampai 100 hektar. Dalam kawasan tersebut tidak ada karangnya. Tapi, kalau memang hasil kajiannya berdampak buruk akan segera dihentikan,” ungkap Mulhanan.
Menurut Mulhanan, konsep kota hijau berkelanjutan dan kota “Water front City” atau kota bergaris pantai tetap diperhatikan. Sehingga, bangunan-bangunan yang sudah ada di kawasan Teluk Palu, tidak akan digusur.
Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng sekaligus koordinator penolakan reklamasi Teluk Palu, mengatakan bahwa rencana reklamasi itu sudah ada sejak tahun 2011. Namun, kegiatan penimbunan secara perdana baru dilakukan pada 9 Januari 2014.
Menurut Ahmad, reklamasi pantai dilakukan untuk pembangunan sejumlah pusat perbelanjaan dan perhotelan dengan dalih meningkatkan pariwisata dan memajukan masyarakat. Namun, Walhi Sulteng menganggap alasan tersebut tidak bisa diterima. Pemerintah Palu dianggap hanya mementingkan para investor tanpa memikirkan dampak lingkungan dan sosial yang akan timbul di kemudian hari.
Dalam rencana tata ruang, kata Ahmad, tidak termaktub soal reklamasi pantai. Kalau untuk wilayah pembangunan pariwisata, menurutnya, masih banyak tempat bagus yang bisa dikembangkan, tanpa harus melakukan reklamasi.
Persoalan lain yang penting, kata Ahmad, mengenai nelayan yang selalu menggantungkan hidupnya di laut. Secara tidak langsung akan memperkecil wilayah tampungan air laut.
“Tidak menutup kemungkinan pantai di wilayah Donggala bahkan Toli-Toli akan mengalami abrasi. Pemerintah tidak bisa memandang reklamasi hanya di satu tempat, namun harus melihat dampak yang lebih luas yang bakal terjadi jika Teluk Palu di reklamasi.”
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio