Kemarau panjang yang melanda Aceh delapan bulan terakhir, menyebabkan lahan pertanian di delapan daerah yang luasnya mencapai 62.737 hektar kering dan tidak bisa digarap petani. Delapan daerah tersebut adalah Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur, Bireun, dan Kota Langsa.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Aceh Razali Adami mengatakan, meski produksi pangan masih surplus, tapi karena kemarau panjang, dikhawatirkan akan terjadi penurunan sebesar dua persen. “Atau, sekitar 54.000 ton yang jika diuangkan setara Rp20 miliar,” jelasnya.
Bila kekeringan tidak diatasi, jumlah tanaman pangan yang gagal panen akan lebih besar. Kerugian yang diderita ditaksir mencapai angka Rp100 miliar. “Persawahan yang paling terkena imbasnya, sekitar 10.000 hektar kering dan 934 hektar gagal panen,” ujar Razali.
Produksi padi 2014 ini ditargetkan 2,2 juta ton dari tahun sebelumnya sekitar 1,9 juta ton. Sementara untuk jagung, Aceh memproduksi lebih dari 200 ribu ton dan kedelai berhasil dipanen sebanyak 90 ribu ton pada 2013. “Karena kemarau, pada 2014 ini, jumlah produksi diperkirakan akan menurun drastis dan target tidak tercapai,” jelasnya.
Kepala Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Aceh Hasanuddin Darjo mengatakan, kekeringan yang melanda sebagain wilayah Aceh disebabkan juga karena kebakaran hutan. “Pembakaran hutan yang tidak terkendali penyebab terjadinya kekeringan di Aceh,” sebut Hasanuddin.
Juru bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma mewakili sejumlah lembaga peduli lingkungan menyebutkan, secara kasat mata keadaan hutan Aceh saat ini sudah babak belur. Kondisi ini akibat maraknya illegal logging, pembukaan lahan untuk perkebunan, serta pertambangan yang tidak terkendali.
Menurut Efendi, saat ini hutan yang berada dekat sumber air seperti sungai sudah dirambah dan dijadikan lahan pertambangan atau perkebunan. Hal tersebut terjadi di Kabupaten Pidie dan Aceh Jaya. “Pemerintah lemah menindak pelaku illegal logging. Pengeluaran izin pertambangan dan perkebunan juga sangat mudah sehingga hutan bertambah rusak dan masyarakat, terutama petani yang menerima dampak secara nyata,” ucapnya.
Saifullah, petani asal Kecamatan Lhok Nga, Aceh Besar, mengaku padinya yang berumur satu setengah bulan terpaksa dipotong untuk pakan ternak karena tanah di sawahnya retak. “Saya telah berusaha mengairi sawah menggunakan pompa air. Tetapi, sumber air yang biasanya tidak pernah kering, kali ini tidak ada airnya,” ujarnya.
Saifullah mengaku, hujan baru turun beberapa hari terakhir dan itu pun belum cukup untuk memperbaiki tanah yang retak. “Meski hujan turun sangat deras, padi sudah tidak akan menghasilkan karena sudah banyak yang kering. Kali ini, kami mengalami banyak kerugian,” ucapnya.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio