Kamis (07/08/2014) pagi saya mengunjungi Bukit Sulap. Jaraknya dari pusat kota Lubuklinggau sekitar dua kilometer. Bukit Sulap merupakan bukit yang dipenuhi tanaman hutan, tempat hidup sejumlah satwa seperti burung, rusa, monyet ekor panjang, lutung, trenggiling, serta koridor harimau sumatera.
“Kalau harimau sumatera saat ini jarang terlihat, tapi warga beberapa kali menemukan jejaknya,” kata Asep dari TNKS Wilayah 5 Lubuklinggau.
Bukit Sulap masuk dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang masuk wilayah Kota Lubuklinggau seluas 200 hektar. Di bukit ini mengalir Sungai Kesei.
Saat menyusuri permukaan dan lereng Bukit Sulap yang tingginya sekitar 700 meter, saya hanya bertemu dengan beberapa monyet ekor panjang serta tanaman hutan khas Sumatera seperti durian dan rotan. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dengan berjalan kaki untuk mencapai puncaknya. Saya sedikit kecewa tidak sampai ke puncak Bukit Sulap, karena teman yang mendampingi saya mengaku tubuhnya tiba-tiba merasa tidak sehat.
Bagi masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas, Bukit Sulap memiliki arti yang penting. Sebab di lerengnya, tepatnya di Ulaklebar, terdapat makam manusia sakti yang pernah hidup di masa lalu yang dikeramatkan, namanya Bujang Kurap.
Legendanya, Bujang Kurap seorang pemuda yang sakti. Dia merupakan salah satu panglima Kerajaan Sriwijaya, yang bertugas di wilayah Bukit Sulap. Pemuda ini dipanggil “Bujang Kurap” lantaran di tubuhnya dipenuhi kurap.
Diyakini, Bujang Kurap masih keturunan dari Si Pahit Lidah, tokoh sakti yang pernah hidup sebelumnya.
Makam Bujang Kurap terletak di tepi Sungai Kelingi. Makamnya ditandai dengan dua batu menhir yang menghadap barat. Di sekitar makamnya terdapat tiga makam lain, yang dipercaya sebagai pengikut Bujang Kurap.
Dijelaskan Antoni, warga Dusun Ulaklebar, sekitar makam Bujang Kurap, di masa lalu merupakan pemukiman. “Tapi, pemukiman tiba-tiba menghilang. Makanya disebut Silampari yang artinya kampung yang hilang,” kata Antoni yang menemani saya, Jumat (08/08/2014).
Tanda adanya pemukiman tersebut adanya sebuah bukit yang berbentuk benteng, yang memanjang dari Sungai Kelingi hingga Sungai Ketue. Serta terdapat makam Batu Betunas, yang merupakan susunan batu menhir menyerupai makam.
“Sampai saat ini baik makam Bujang Kurap maupun makam Batu Betunas sering diziarahi masyarakat,” kata Antoni.
Lubuklinggau, merupakan salah satu kota tua di Sumatera Selatan. Jaraknya dengan Palembang sekitar 314 kilometer. Pada 1947, saat Agresi Pertama Belanda, kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sumatera Selatan. Posisinya paling barat Sumatera Selatan dan paling hulu dari Sungai Musi.
Berada di kaki Bukit Barisan, membuat Lubuklinggau yang luasnya mencapai 40.150 hektar dengan penduduk sekitar 200 ribu, menjadi kota yang memiliki banyak sungai. Misalnya Sungai Kelingi, Sungai Mesat, Sungai Malus, Sungai Kasie, Sungai Kati dan Sungai Temam. Sungai Kelingi merupakan sungai yang paling besar. Semua sungai itu bermuara ke Sungai Beliti, yang selanjutnya mengalir ke Sungai Musi.
Trek sepeda gunung
Melihat potensi tersebut, pemerintah Kota Lubuklinggau, menjadikan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam. Sejak tiga tahun lalu, digelar olahraga ekstrim sepeda gunung yang memanfaatkan aliran Sungai Kesei yang melintasi Bukit Sulap. Sungai ini dipenuhi bebatuan dan air yang mengalir tidak begitu deras.
Lomba sepeda gunung di Bukit Sulap diikuti sejumlah atlet dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Promosi selama tiga tahun tersebut membuat Bukit Sulap ditunjuk menjadi tempat penyelenggaraan Kejuaraan Asia Sepeda Gunung atau Asian Mountain Bike Championship 2014, yang akan digelar pada 1-2 November 2014 mendatang. Sekitar 16 negara akan mengirimkan atlet sepeda gunung.
“Jalur sepeda gunung di Bukit Sulap alami. Bukan jalur buatan seperti di negara lain,” kata Walikota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe, Kamis (07/08/2014).
Dijelaskan Nanan—begitu panggilan SN Prana Putra Sohe—tujuan dari kegiatan tersebut selain memperkenalkan keindahan alam Bukit Sulap, juga menjadikan Lubuklinggau menjadi tujuan wisatawan lokal maupun ineternational yang menyukai olahraga ekstrim seperti sepeda gunung.
“Bahkan kita mengharapkan, jika Sumatera Selatan yang ditunjuk sebagai salah satu tempat penyelenggaraan Asian Games 2018, juga dilombakan cabang sepeda gunung yang digelar di Lubuklinggau,” katanya.
Meskipun jauh dari Palembang, akses transportasi ke Lubuklinggau relatif mudah. Selain angkutan darat, seperti mobil dan kereta api dari Palembang, juga adanya transportasi pesawat terbang dari Jakarta-Lubuklinggau. Sejumlah hotel dengan 101 kamar juga sudah tersedia.
Sebagai persiapan, Nanan menjelaskan dalam waktu dua bulan ini akan dibangun fasilitas di Bukit Sulap, seperti kereta gantung dan shelter. “Kereta gantung itu memudahkan para atlet naik ke puncak Bukit Sulap, sehingga fisik mereka tidak habis sebelum perlombaan,” ujarnya.
Saat ini sudah dibangun shelter yang berada di kaki Bukit Sulap, yang dilengkapi dengan arena parkirnya.
Leonardi Sohe, Ketua Umum ISSI (Ikatan Sepeda Sport Indonesia) Pengurus Kota Lubuklinggau, mengatakan trek sepeda gunung di Bukit Sulap untuk downhill sepanjang 2,2 kilometer. Dimulai puncak Bukit Sulap, masuk area perkebunan masyarakat, dan berakhir di Lapangan Jogoboyo.
“Sedangkan kelas cross country sepanjang 4,7 kilometer. Start dan finish di Lapangan Jogoboyo dan memutari venue track di sekitar Bukit Sulap, berupa perkebunan rakyat dan hutan,” kata Leonardi, Jumat (08/08/2014).
“Dua kelas tersebut yang akan dilombakan pada kejuaraan Asia mendatang,” katanya.
Adapun tingkat kesulitan trek sepeda gunung di Bukit Sulap, selain trek berbatu di tepi jurang, tanahnya liat, juga kemiringannya hingga 60 derajat.
Gunakan 42 hektar lahan TNKS
Persoalan muncul. Guna menjadikan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam, termasuk lokasi penyelenggaraan Asian Mountain Bike Championship 2014, pemerintah Lubuklinggau harus mendapatkan izin pengelolaan lahan TNKS seluas 42,37 hektar.
Para pegiat lingkungan hidup di Lubuklinggau memprotesnya. Bahkan mereka menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengizinkan penujukkan 42,37 hektar lahan di TNKS sebagai objek wisata alam.
“Kami tidak setuju Bukit Sulap dijadikan lokasi objek wisata, sebab itu merupakan bagian dari TNKS yang saat ini merupakan salah satu paru-paru dunia,” kata Saparuddin Yasa, penggiat lingkungan hidup di Lubuklinggau, Jumat (08/08/2014).
“Sekecil apa pun pembangunan sarana di Bukit Sulap jelas berpotensi terjadi kerusakan,” katanya.
Saparuddin mengutip penjelasan Miskun, Kepala Seksi Pengelolaan TNKS Wilayah 5 Lubuklinggau. Luas TNKS yang masuk ke wilayah Sumatera Selatan, yang terletak di Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musirawas, mencapai 250 ribu hektar. Dari luasan tersebut sekitar 3.158 hektar mengalami kerusakan akibat perambahan yang dilakukan masyarakat sejak tahun 1980-an.
Di puncak Bukit Sulap, kata Saparuddin, terdapat tanaman khas, seperti bambu yang unik. Batangnya berwarna hijau, tapi rantingnya berwarna kuning serta berduri. Juga terdapat bambu yang yang dahan dan ranting-rantingnya buntu. Termasuk pula sejumlah satwa. “Yang terpenting Bukit Sulap merupakan koridor harimau sumatera,” ujarnya.
Sementara Nanan menjelaskan usaha menetapkan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam telah mendapatkan dukungan pemerintah. Izin prinsip dari Menteri Kehutanan melalui Dirjen PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) sudah didapatkan. “Justru kita akan menjaga kondisi alamnya, sebab daya tarik Bukit Sulap terletak dari kondisi alamnya. Makanya agar tidak merusak hutan di Bukit Sulap kita membangun kereta gantung agar wisatawan dapat mengakses ke puncak Bukit Sulap,” ujarnya.
Berdasarkan sumber dari TNKS Wilayah 5 Lubuklinggau, sejauh ini rencana pengembangan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam tidak merusak kondisi hutan di Bukit Sulap, “Tidak ada rencana pembangunan yang memakan banyak lahan. Sejauh ini mereka pun patuh pada titik di Bukit Sulap yang dijadikan jalur wisata,” ujar sumber itu.
Tidak didapatkan penjelasan dari Miskun. Miskun saat ini tengah terbaring sakit, dan dirawat di Lampung.
“Kami tetap mencemaskan penetapan objek wisata Bukit Sulap. Bukan tidak mungkin di masa mendatang akan banyak pembangunan di sekitar bukit, seperti hotel yang dapat merusak lingkungan,” ujar Saparuddin.
Tulisan ini hasil kerja sama Mongabay dengan Green Radio