,

Persoalan Batubara di Kaltim: Peraturan Ada, Penegakan Hukum Lemah (Bagian-2)

Masalah dalam pertambangan batubara adalah tidak seluruh industri bekerja pada skala pertambangan yang sama, ada yang besar dan ada yang sangat kecil. Sebagian usaha pertambangan beroperasi secara singkat, kurang memperhatikan masyarakat setempat dan meninggalkan lubang bekas galian saat mereka berhenti beroperasi.

Tulisan pertama artikel ini dapat dilihat pada tautan ini:

http://mongabaydotorg.wpengine.com/2014/10/22/batubara-tantangan-ketahanan-energi-serta-persoalan-sosial-dan-lingkungan-bagian-1-dari-2-tulisan/

Di sisi yang lain, sebagian besar batubara Indonesia diproduksi oleh segelintir perusahaan besar yang memiliki kontrak langsung dengan pemerintah pusat. Raksasa pertambangan Indonesia PT Adaro dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) misalnya, memiliki kontrak jangka panjang dan bertanggung jawab untuk sekitar seperempat dari total produksi batubara resmi tahun lalu di Indonesia. Produksi dan operasi mereka secara hati-hati dipantau dan ditinjau setiap tahun oleh kementerian.

Menurut data pemerintah total terdapat sekitar 80 kontrak batubara langsung. Mereka membayar royalti lebih tinggi dan diberikan ijin pertambangan yang disebut IUP (Ijin Usaha Pertambangan).

“Di Indonesia, anda dapat melihat perbedaan yang nyata antara yang disebut formal dan yang kurang formal. Di sana jelas ada masalah lingkungan untuk sektor yang kurang diatur, seperti penambang ilegal atau pemain skala kecil,” jelas Sacha Winzenried, penasihat senior bidang energi, utilitas dan pertambangan PwC.

Sebaliknya, menurut laporan Jatam beberapa pemain besar juga bekerja tidak sempurna. Dalam laporan bersama dengan Greenpeace yang dikeluarkan pada bulan Agustus tahun ini, Jatam menuduh Kaltim Prima Coal (KPC) melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan pencemaran air. Namun, KPC tidak memberikan tanggapan terhadap permintaan untuk mengunjungi tambang mereka dan tidak memberikan jawaban rinci atas pertanyaan yang diajukan.

***

Sebenarnya Indonesia telah memiliki sejumlah aturan lingkungan yang ketat yang mengatur praktik pertambangan, tetapi kelemahan terjadi di dalam penegakan hukumnya. Demikian kesimpulan yang terungkap dari wawancara dengan para pejabat pemerintah, analis dan pihak LSM.

Perusahaan harus menyerahkan penilaian dampak lingkungan dan menyiapkan rincian dan rencana reklamasi pasca tambang. Perusahaan harus menempatkan deposito besar ke rekening bank untuk memastikan mereka melakukan rehabilitasi wajib dan reklamasi daerah yang terkena.

Tapi kurangnya inspektur pertambangan berkualitas, kurangnya keahlian di tingkat kabupaten dan provinsi dan, -kemungkinan besar korupsi, menyebabkan area pertambangan tidak diperiksa sesering yang seharusnya. Hukum tidak ditegakkan secara penuh dan ijin jarang dihentikan jika dijumpai praktek yang buruk.

Kolam bekas tambang batubara yang ditinggalkan di Makroman, Samarinda. Foto: David Fogarty

“Masalahnya tidak banyak insinyur tertarik ikut dalam pelatihan inspeksi pertambangan ini,” jelas Bambang Tjahjono Setiabudi, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara di Kementerian ESDM.

Kurangnya pengawasan ijin pertambangan tetap menjadi isu utama. Secara total, data ESDM mengatakan terdapat 10.992 ijin dari semua jenis pertambangan di seluruh negeri.

Menurut sumber yang terlibat dalam penyelidikan yang dipimpin oleh KPK, 10.922 izin ini dimiliki oleh 7.834 perusahaan. Dari jumlah tersebut, 17 persen diantaranya tidak memiliki nomor pajak. Konsesi pertambangan juga bekerja di dalam kawasan hutan negara. Tumpang tindih terjadi untuk sekitar 26 juta hektar kawasan hutan yang ironisnya tidak lagi berhutan.

Menurut sumber ini, ijin yang dikeluarkan ini juga mencakup 1,3 juta hektar hutan konservasi, yang sama sekali tidak diijinkan untuk pertambangan. Selain itu, izin juga mencakup lima juta hektar hutan lindung, yang secara aturan hukum terlambang untuk pertambangan terbuka.

Sebuah studi yang diterbitkan pada awal tahun ini menemukan bahwa pertambangan batubara adalah salah satu penyebab utama deforestasi, selain penyebab lain karena pembukaan perkebunan sawit, dan pembukaan hutan untuk kepentingan pulp.

Studi ini meneliti hilangnya hutan untuk konsesi industri diantara tahun 2000 dan 2010 dan menemukan bahwa pertambangan batubara telah menyebabkan 300.000 hektar hutan hilang dibandingkan 1,6 juta hektar konsesi kelapa sawit.

Mengubah Cara Pandang

Jatam mengambil posisi garis keras melihat fenomena pertambangan batubara daripada kebanyakan LSM. Mereka ingin pertambangan batubara berhenti sama sekali, suatu skenario yang tidak mungkin karena pemerintah Indonesia mengharapkan permintaan domestik batubara untuk pembangkit listrik meningkat dua kali lipat pada 2022, dari saat ini yang membutuhkan batubara 73 juta metrik ton per tahun.

“Kami setuju bahwa setiap orang membutuhkan energi. Tapi kami tidak ingin energi datang dari mengancam orang-orang, yang berasal dari perampasan tanah. Kita perlu mengubah pola pikir orang,” jelas Hendrik Siregar dari Jatam, dalam sebuah wawancara baru-baru ini di Samarinda.  Pola pandang Jatam dapat dipahami jika melihat dampak lingkungan yang timbul dari pertambangan batubara yang terjadi di Kaltim.

***

Di luar Samarinda di pinggir sungai Mahakam, Rumansi (35 tahun) adalah seorang nelayan sungai dengan keramba yang membentang ke sungai di belakang rumahnya. Di dekat tempat tinggalnya terdapat terminal pemuatan batubara.

Aksi tolang tambang CV Arjuna oleh warga Makroman, Samarinda. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Rumansi menyebutkan jumlah tangkapannya telah turun sekitar 30 persen dalam beberapa tahun terakhir, dengan semakin banyaknya dia temui ikan yang sekarat dan berkurangnya ikan yang memiliki anak.  Atas kerugiannya, perusahaan tambang memberikan 250 ribu rupiah per bulan sebagai kompensasi yang diderita. Bagi Rumansi kompensasi ini tidak menutup kerugian yang sebenarnya.

Cerita lain datang dari Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Sekitar 70 persen dari kota dan daerah sekitarnya berada di bawah ijin konsesi pertambangan dengan lanskap dipenuhi dengan ‘bekas luka’ dari tambang dan lubang batubara ditinggalkan, yang sekarang banyak terisi air. Hanya sedikit orang di Samarinda yang mendapat manfaat besar dari keberadaan tambang batubara, termasuk yang tinggal di wilayah desa.

Sekitar 40 menit berkendara dari pusat kota adalah desa Makroman. Para petani mencari nafkah dengan menanam padi dan buah-buahan seperti rambutan dan durian. Desa ini berada di bawah ancaman tambang yaitu CV Arjuna, yang melakukan pembersihan area lahan untuk operasi tambang terbuka mereka.

Sekitar enam tahun yang lalu, seorang pejabat perusahaan datang ke desa untuk mengambil sampel tanah dan pengukuran. Ini adalah pertama penduduk desa mendengar tentang perusahaan atau tambang yang direncanakan.

“Dia datang seperti pencuri saja,” kata Niti Utomo (66 tahun), seorang petani di Makroman yang seperti banyak warga desanya menolak upaya CV Arjuna untuk membeli tanah mereka.

Niti Utomo, adalah seorang petani padi dan buah di desa Makroman. Dia mengatakan tambang batubara yang berdekatan dengan lahannya telah menghancurkan persediaan air setempat, yang menyebabkan turunnya hasil panen. Utomo mengeluh hasil panen padinya turun akibat kurangnya air dan maraknya hama. Penduduk desa lainnya mengatakan hal yang sama.

Niti Utomo, petani dari Desa Makroman yang desanya terancam oleh tambang CV Arjuna. Foto: David Fogarty

Perusahaan mulai mengembangkan tambang beberapa tahun yang lalu dan sekarang mengelilingi desa dan lahan pertanian pada dua sisi. Lubang besar telah digali untuk mengekstrak batubara, meratakan bukit-bukit dan hutan dan mengganggu pasokan air untuk sawah. Warga desa mengeluh secara teratur kepada pemerintah kota tentang praktik pertambangan perusahaan tapi pemerintah tidak pernah mendengarkan.

Sementara itu perusahaan tambang telah membangun bendungan untuk irigasi, meskipun pada saat musim kemarau bendungan ini mengering dan meninggalkan tanaman padi layu di musim kemarau. Pada akhirnya, CV Arjuna ingin mengambil alih seluruh 365 hektar di desa dengan menawarkan sejumlah besar uang kepada pemilik, beberapa di antaranya telah diterima.

Utomo menolak untuk menjual tanahnya kepada perusahaan pertambangan untuk tanah yang telah lebih dari 40 tahun ini dia budidayakan. “Saya akan berjuang sampai mati untuk menjaga tanah,” tegas Utomo ketika berbicara di samping sawahnya.

Dalam respon lewat email, seorang pejabat di CV Arjuna menyebutkan bahwa ijin yang dimiliki perusahaannya legal diberikan oleh Pemkot pada tahun 2011. Menurut pejabat tersebut, perusahaan telah memenuhi status clean and clear dari Kementerian ESDM, diapun menyebutkan bahwa perusahaan berkomitmen untuk merehabilitasi tambang bekas galian batubara di area desa sebelahnya.

Namun demikian, dia tidak menjawab mengapa masyarakat tidak pernah bertemu dengan pihak perusahaan untuk mengkonsultasikan rencana pembangunan tambang.

Konsesi tambang di seluruh Kalimantan. Courtesy: Jatam

Masalah Pemantauan dan Kepatuhan Hukum

Bersama-sama, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara telah kehilangan 1,7 juta hektar tutupan hutan diantara tahun 2001 sampai 2013, yang mewakili sekitar 10 persen dari hutan.  Selain lebih dari tujuh juta hektar lahan telah dialokasikan untuk perijinan pertambangan batubara, maka area Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara penuh dengan ijin usaha penebangan, kelapa sawit, dan konsesi serat kayu.

Dari sekitar 200 ijin usaha tambang batubara yang beroperasi di Kalimantan Timur, berdasarkan data dari kantor LH provinsi, sekitar 20 persennya tidak sesuai dengan peraturan lingkungan pemerintah.

“Tidak baik,” jawab Wiwit Mei Guritno, birokrat pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim ketika ditanya tentang pemantauan pertambangan batubara. Hal ini diamini oleh Priyo Harsono, Kabid Pengkajian Dampak Lingkungan, BLH Kaltim, kolega Wiwit yang menyebutkan masalah utama pemantauan kinerja tambang adalah terkait dengan kualitas pemantauan yang ada di tingkat kabupaten yang hingga saat ini dirasa lemah.

Menurut Harsono, Kantor BLH memiliki kewenangan untuk memeriksa tambang dan saat ini memiliki enam inspektur lingkungan. Mereka bekerjasama dengan delapan orang inspektur pertambangan di kantor pertambangan provinsi untuk melakukan pemeriksaan.

Pemantauan dilakukan lewat bagaimana perusahaan tambang melakukan pengelolaan kualitas air, pengelolaan limbah padat dan berbahaya serta terutama pemantauan untuk memastikan apakah perusahaan tambang telah mengikuti aturan reklamasi yang dibuat oleh pemerintah dan melakukan penanaman kembali vegetasi di tambang yang ditinggalkan. Perusahaan yang tidak memenuhi aturan diberi peringatan dan BLH dapat merekomendasikan tindakan penegakan hukum.

“Kami telah memberikan informasi kepada Bupati, tetapi mereka belum menutup pertambangan,” tambah Harsono.

Menurut Wiwit Guritno, lubang bekas tambang batubara yang ditinggalkan tetap menjadi masalah besar di Kaltim. Meskipun perusahaan pertambangan telah melakukan penyetoran sejumlah besar dana untuk reklamasi wajib, namun banyak pula uang yang ada tidak segera digunakan untuk merehabilitasi lubang ditinggalkan, dan sering dialihkan untuk pengeluaran pemerintah lainnya.

Harsono mengatakan dia berharap peraturan baru yang disahkan pada bulan Februari tahun ini akan mengatasi masalah lubang yang ditinggalkan. Perusahaan tambang batubara yang ingin meningkatkan produksi harus menutup dan merehabilitasi 70 persen dari lubang tambang sebelum mereka dapat memperluas usahanya.

Masalahnya, tampaknya sekali lagi akan kembali ke persoalan pengawasan dan penegakan hukum.

“Yang sedang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah berupaya untuk menempatkan kontrol yang lebih kuat, seluruh elemen proses akan menjadi lebih lambat, tetapi itu sebuah proses yang harus terjadi,” ujar seorang eksekutif pertambangan senior.

Di sisi lain, LSM lingkungan Greenpeace, merasa perlu ada alternatif daripada melulu hanya berkutat mengandalkan batubara sebagai sumber energi.  Operasi pembukaan tambang batubara yang membersihkan hutan dinilai menghasilkan emisi yang berakibat terhadap perubahan iklim. Demikian pula ketika pembangkit listrik tenaga batubara dioperasikan.  Lubang tambang batubara juga dapat menghasilkan sejumlah besar metana, -gas rumah kaca yang potensial sebagai emiter.

“Saya pikir pertambangan batubara adalah pembunuh diam-diam untuk Indonesia, tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga untuk orang-orang dalam jangka panjang,” kata Arif Fiyanto, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia.

“Pemerintah selalu menggunakan argumen batubara merupakan kontributor kunci untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenyataannya, kontribusi ekspor batubara terhadap PDB kita hanya sekitar tiga persen. Manfaatnya tidak sebanding dengan dampak batubara sebagai penyebab kerusakan.”

Dengan pemikiran ini, maka diperlukan suatu cara pandang baru untuk mencari energi terbarukan yang dapat diandalkan dan ramah lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,