,

Candaan Serius Menteri Kelautan Tentang Blue Carbon

Presiden Joko Widodo tentu mempunyai alasan kuat untuk memilih Susi Pudjiastuti untuk menjadi menteri kelautan dan perikanan, meski banyak orang berpendapat miring dengan sosok pemilik maskapai Susi Air ini karena kehidupan pribadinya dan tingkat pendidikan yang hanya lulusan SMP.

Jokowi dalam akun facebook resminya mengatakan bahwa dia memang butuh orang ‘gila’ seperti Susi untuk bekerja demi mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim. “Ya, saya memang butuh orang gila,” katanya dalam akun facebook-nya.

“Saya senang dengan cara kerja Bu Susi yang dalam jam-jam pertama pekerjaannya membuka kesadaran publik bagaimana potensi laut kita dicuri nelayan asing, juga target-target atas Kementerian Perikanan dan Kelautan yang bisa memberikan devisa pada negara,” lanjut Presiden Jokowi.

Dia mengatakan bukan persoalan mudah untuk membangun industri kelautan apalagi lautan Indonesia menjadi ajang illegal fishing. “Namun tidak ada jalan lain, demi kesejahteraan nelayan-nelayan kita, demi rakyat kita yang bisa menikmati ikan laut dengan harga murah karena distribusinya yang lancar maka kita harus kerja keras untuk itu,” kata Jokowi dalam status facebook-nya hari Sabtu (01/11/2014).

Pada hari-hari pertama menjadi menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti memang langsung membuat kebijakan yang ‘gila’ demi mewujudkan keinginan Jokowi yaitu Jalesveva Jayamahe – Di Laut Kita Jaya.

Gebrakannya antara lain dengan membuka data kepemilikan kapal penangkap ikan untuk memberantas penangkapan ikan ilegal dan menyoroti tentang kerugian negara dari sektor kelautan sebesar Rp11,2 triliun karena penerimaan negara hanya Rp300 miliar per tahun sedangkan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh industri kelautan sekitar 2,1 juta kilo liter setahun yang setara subsidi negara Rp11,5 triliun.

Susi juga mengangkat bendera perang bagi kapal-kapal berbendera negara asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah Indonesia. “Kalau mereka (kapal asing) tidak mau ikut aturan, ya keluar, dan tidak boleh melakukan penangkapan ikan di Indonesia,” katanya dalam jumpa pers di kantor Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Jumat kemarin (31/20/2014).

Oleh karena itu, dia ingin membangun sektor kelautan dengan sungguh-sungguh dengan cara yang lebih ramah lingkungan. “Kita eksplorasi (potensi kelautan) dengan sistem yang baik dan mengindahkan kaidah lingkungan, sustainable development integrated fisheries. Itu tujuan kita,” kata Susi.

Untuk itu, dia juga akan mempertimbangkan dengan serius potensi blue carbon di Indonesia. Terkait blue carbon ini, dia sempat bercanda akan menghentikan total  penangkapan ikan demi menghemat subsidi BBM, dan memberikan  Rp11,2 triliun kerugian negara dari pemakaian BBM industri kelautan kepada nelayan, serta meminta kompensasi dana perdagangan karbon global dari moratorium perikanan tersebut.

“Saya sempat bergurau dengan dirjen KKP. Kalau angka subsidi BBM sebesar itu, stop saja semua (aktivitas penangkapan ikan di laut), kasih duit itu (subsidi BBM), diberikan ke nelayan, langsung makmur. Setelah kita tidak tangkap (ikan di laut), declare tidak fishing. Kita minta dana dari perdagangan karbon dunia. Tapi ini hanya bercanda. Tapi itu hal yang baik bukan?,” katanya sambil tersenyum.

Potensi Luar Biasa Blue Carbon Indonesia

Untuk urusan blue carbon di Indonesia, Susi memang sedang tidak bercanda. Indonesia mempunyai potensi karbon biru — penyerapan karbon dari ekosistem pesisir dan laut — yang luar biasa besar.

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy
Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo waktu itu pernah mengatakan bahwa kawasan pesisir dan lautan Indonesia berpotensi menyerap karbon sekira 138 juta ton ekuivalen per tahun atau lima kali lebih besar dibanding potensi penyerapan ekosistem hutan tropis di Indonesia.  Potensi penyerapan karbon itu dapat mengurangi 25 persen emisi karbon global.

“Jumlah penyimpanan karbon yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove dan laut dapat memainkan peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim,” katanya dalam sambutan pembukaan acara International Blue Carbon Symposium (IBCS) di Manado Convention Center pada Kamis (15/5), di Manado Sulawesi Utara.

Sharif mengutip satu hasil analisa global bahwa padang lamun (seagrass)terutama pada sedimennya berpotensi menyimpan 830 ton karbon ekuivalen per meter kubik per tahun.

Sebagai negara kepulauan tropis terbesar, Indonesia menjadi kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) terluas di dunia. Sebesar 52 persen ekosistem terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.

Iklim tropisnya juga membuat kawasan pesisir Indonesia menjadi tempat yang cocok untuk pertumbuhan hutan bakau (mangrove), padang lamun dan rumput laut. “Indonesia memiliki ekosistem mangrove sekitar 3,1 juta hektar atau 23 persen dari mangrove dunia dan 30 juta hektar padang lamun yang terluas di dunia,” kata Cicip.

1,38 miliar USD per tahun Dari Blue Carbon Indonesia

Pada acara International Blue Carbon Symposium (IBCS) di Manado Convention Center,  Manado, Sulawesi Utara, pada Kamis (15/5), ahli kelautan dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Supangat mengatakan pemerintah melalui DNPI telah mengembangkan konsep perdagangan karbon di Indonesia bernama Skema Karbon Nusantara (SKN), yang dapat digunakan untuk perdagangan blue carbon. Melalui SKN, upaya penyerapan karbon, bisa didaftarkan, diverifikasi dan akhirnya mendapat sertifikasi untuk diperdagangkan yang nantinya bisa mendapatkan kompensasi pendanaan.

Meski blue carbon tidak disebutkan sebagai tujuh prioritas Rencana Aksi Nasional penurunan Gas Rumah Kaca (RAN GRK), ada delapan aktivitas pendukung yang dimasukkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), antara lain manajemen area konservasi, rehabilitasi area konservasi laut dan rehabilitasi ekosistem pesisir.

Agus Supangat mengatakan ekosistem pesisir dan laut masih belum menjadi perhatian utama dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia, meski berkontribusi dalam emisi GRK. Blue carbon juga belum masuk dalam laporan kedua status perubahan iklim Indonesia (Second National Communication) kepada Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).

Dari berbagai sumber menyebutkan pasar karbon tumbuh mencapai 140 miliar USD per tahun. Sedangkan pasar karbon di Uni Eropa mencapai 107 miliar Euro pada 2011.

Agus Supangat menyebutkan sudah ada proyek Blue Carbon yang masuk pasar karbon internasional, tetapi jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan sektor lain.

Sedangkan pada pasar perdagangan karbon sukarela (voluntary), nilai tukar satu ton karbon bisa bervariasi antara 5 – 15 USD, meski saat ini di pasar karbon Eropa nilai tukar satu ton karbon berkisar dibawah 1 USD.

Apabila potensi blue carbon sebesar 138 juta ton setara karbon bisa diperdagangkan pada pasar karbon, misalnya masuk pada pasar karbon voluntary dengan kisaran harga 10 USD per ton, maka Indonesia bisa mendapatkan 1,38 miliar USD per tahun. Suatu jumlah yang signifikan untuk masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya lautnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,