Pada pertengahan 1990-an saya mengunjungi lokasi hutan hujan dataran rendah di wilayah Borneo Malaysia. Beberapa kenangan terindah saya berasal saat melakukan hiking di bawah pohon-pohon tinggi, mengarungi sungai yang jernih, dan melihat satwa liar yang spektakuler, -termasuk spesies enggang dan orangutan yang terancam punah. Namun apa yang terjadi, selang beberapa bulan setelah kunjungan saya, pohon-pohon di lokasi tersebut ditebangi. Saat ini daerah itu telah berubah total menjadi kebun sawit.
Kehancuran hutan tersebut membawa saya pada sebuah pengembaraan untuk membuat Mongabay.com, sebuah situs web berita lingkungan yang sekarang telah berkembang menjadi begitu populer dan berpengaruh untuk menyuarakan kondisi hutan tropis. Selama satu setengah dekade, saya mengabdikan puluhan ribu jam untuk mengetahui penyebab hilangnya hutan tropis, termasuk terlibat dengan para ahli hutan terkemuka di seluruh dunia dan kerap berkunjung ke sejumlah hutan di seluruh dunia.
Dalam selang waktu tersebut, dan kerap disebut sebagai orang yang sering disebut “pencipta situs yang paling membuat pembaca depresi ” saya terus melihat kehancuran yang luar biasa terjadi. Namun, saya tetap memiliki harapan, bahwa hutan hujan tropis dapat dilestarikan.
***
Hingga saat ini, hilangnya hutan tropis di dunia tetaplah tinggi, meski agak sedikit menurun dari rata-rata tahunan 11,3 juta hektar selama dekade sejak tahun 1990, menjadi kira-kira 9,3 juta hektar per tahun antara tahun 2009 dan 2012. Secara konsisten peringkat teratas adalah: Brasil dan Indonesia, yang keduanya memiliki tutupan hutan yang luas.
Namun tersembunyi di balik laju deforestasi yang tinggi ini, terdapat tren menjanjikan yang penting implikasinya bagi sisa hutan dunia. Hutan saat ini lebih sering dikonversi sebagai area penghasil komoditas konsumsi bagi pasar perkotaan dan perdagangan, bukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten petani miskin yang melakukan praktik pertanian tebas-bakar. Dengan kata lain, deforestasi tropis telah beralih dari dasar tebang-karena-miskin menjadi deforestasi untuk-mencari-untung (profit-driven deforestation).
Tren ini sangat penting karena telah mengerucutkan pelaku perusakan hutan. Dua generasi yang lalu, memerangi deforestasi berarti merancang cara-cara untuk melarang warga pedesaan untuk tidak menebangi hutan untuk pertanian. Saat ini telah berubah. Strateginya adalah untuk mempersuasi pihak perusahaan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar mengadopsi perlindungan lingkungan terhadap kerusakan.
Dalam beberapa kasus, tindakan ini telah mendorong pemasaran hijau (green product) dan memunculkan tanggung jawab perusahaan (corporate social responsibility program), yang telah mampu merubah peningkatan manajemen rantai pasokan dan efisiensi operasional yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Sejujurnya hal ini pun tidak lepas dari peran serta pengkampanye dari kelompok LSM lingkungan yang aktif mendorong penyadartahuan kepada konsumen internasional, yang menjadi target pemasaran utama dari perusahaan produsen.
Sejak tahun 2006 hasilnya luar biasa: puluhan pembeli dan penjual terbesar di dunia untuk kedelai, sawit, ternak (sapi), serta pulp dan kertas telah meletakkan komitmen kebijakan untuk tidak lagi terlibat dalam deforestasi dan berkonflik dengan masyarakat lokal/adat dalam rantai produksi mereka.
Puncaknya adalah saat Cargill yang beromzet pemasaran USD 135 miliar komoditas per tahun telah menyatakan komitmen untuk melakukan kebijakan zero deforestation untuk seluruh rantai pasokan.
Jika terdapat bahaya kemunduran atau praktik kecurangan dari komitmen yang dilakukan, terdapat tools lain untuk melakukan pemantauan dan verifikasinya. Salah satunya adalah lewat citra satelit. Sebagai contoh pemerintah Brasil dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), menjalankan kebijakan untuk meminta seluruh perusahaan untuk memberikan koordinat geografis detil dari lahan kepemilikan mereka. Informasi ini dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian dan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan standar lingkungan yang dibuat.
Data satelit juga terintegrasi ke dalam platform baru. Contoh terbaik adalah Global Forest Watch (GFW), sebuah proyek yang dipimpin oleh World Resources Institute (WRI) yang bekerja mengkompilasi data dari berbagai sumber untuk disajikan dalam sebuah peta. Suatu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah sebelumnya. Dengan data ini peta mampu memperlihatkan keadaan hutan dunia, pertambahan/hilangnya tutupan pohon, aktivitas yang terjadi di konsesi kehutanan serta memantau sejarah kebakaran di suatu lokasi.
Integrasi data MODIS per dwi bulanan yang disediakan oleh NASA memungkinkan platform ini melayani sistem yang hampir nyata (a near-real-time) untuk deteksi deforestasi, mirip dengan yang dilaksanakan oleh Brasil untuk memantau laju deforestasi yang makin menurun sejak satu dekade yang lalu. Sekarang sistem tersebut telah diadopsi dan bersifat global.
Lebih mendekat ke permukaan, kemampuan teknologi juga membaik. Banyak pengamat percaya bahwa saat ini dunia berada dalam ambang revolusi drone untuk memantau hutan lewat pesawat udara kecil nir-awak. Drone dipercaya akan sangat meningkatkan deteksi terhadap deforestasi, pembalakan liar, kebakaran dan perburuan liar yang tidak tertangkap oleh satelit.
Para pengamat percaya, drone dapat melengkapi upaya yang membutuhkan tindak lanjut dari pihak berwenang seperti yang dilakukan dalam sebuah proyek percontohan di TN Chitwan, Nepal.
Di permukaan tanah penggunaan camera trap, sensor, dan perangkat mobile juga dapat digunakan sebagai alat pemantauan. Sebagai contoh, perangkat RainforestConnection, sebuah startup yang dikembangkan di California, mengembangkan sistem berbasis ponsel yang mampu “mendengarkan” suara letusan tembakan, gergaji, dan truk. Ketika suara yang mencurigakan terdeteksi, suatu sistem peringatan dini terpantau di kantor pemda, yang memungkinkan suatu tindakan cepat.
Selain itu, juga terdapat inovasi-inovasi baru terhadap analisis DNA yang memungkinkan peneliti untuk melacak produk kayu ke titik asal mereka, yang berpotensi menentukan legalitas kayu. Alat-alat ini memungkinkan ditegakkannya hukum yang berlaku, -meski tentu saja kembali “apakah terdapat kemauan politik untuk bertindak tegas?” Di masa lalu, hal ini jauh dari meyakinkan, tapi akhirnya mungkin berubah juga.
Bulan lalu lebih dari duapuluhan negara telah mengesahkan the New York Declaration on Forests, dimana mereka berjanji untuk mengurangi deforestasi hutan hingga tahun 2020 dan mengakhirinya pada tahun 2030.
Sementara di kalangan kritikus mencatat bahwa janji-janji politik tingkat tinggi tidak berarti banyak, beberapa negara benar-benar telah mengambil langkah-langkah nyata untuk mengatasi deforestasi. Brasil contohnya. Sejak tahun 2004, negara dengan hutan tropis terluas di dunia ini, telah mengurangi deforestasi di Amazon hingga ke tingkat 80 persennya. Di saat yang sama, produksi pertanian dan ekonomi bertumbuh secara bersama-sama. Langkah penetapan kawasan lindung baru, penegakkan aturan hukum lingkungan yang disertai langkah-langkah sektor swasta telah memainkan peran dalam penurunan tersebut.
Bahkan juga ada tanda-tanda kemajuan di Indonesia, negara paria lingkungan, yang selama dua dekade menderita akibat perusakan hutan besar-besaran. Pada tahun 2011, (mantan) presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan moratorium logging dan perkebunan izin baru di lebih dari 14 juta hektar lahan gambut dan hutan yang sebelumnya tidak dilindungi. Disisi lain hal ini juga merupakan upaya untuk mendorong reformasi birokrasi untuk pengelolaan hutan negara. Upaya tersebut telah ditentang secara keras oleh para para pemegang konsesi yang bercokol di sektor kehutanan, yang secara historis telah menggunduli hutan, -yang berdampak pada masyarakat lokal/adat, dan secara historis terlibat dalam industri logging.
Tapi paradigma tersebut sekarang mungkin berubah. Bulan lalu, beberapa perusahaan sawit dengan operasi besar di Indonesia, Golden Agri-Resources, Cargill, dan Wilmar- secara bersama menandatangani pernyataan yang menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung konservasi hutan. Asia Pulp & Paper, perusahaan lain kehutanan Indonesia telah berkomitmen melakukan nol deforestasi. Prospek ini menandakan bahwa sektor swasta di Indonesia dapat berada di ambang pergeseran monumental untuk meminta kebijakan pro-konservasi kepada pemerintah Indonesia.
Negara konsumen juga bergabung dalam pertempuran, -meski sebagian dalam rangka untuk melindungi produsen kayu dalam negeri mereka sendiri. Australia, Amerika Serikat, dan Uni Eropa telah mengadopsi undang-undang yang ketat dalam pembatasan impor produk kayu dari sumber ilegal. Hukum akan menjerat para pelaku/perusahaan yang membeli produk kayu ilegal, yang membuat mereka bertanggung jawab terhadap rantai pasokan mereka. Sementara itu, Singapura telah mengesahkan undang-undang yang bertujuan untuk mengenakan denda pada perusahaan yang dianggap bertanggung jawab untuk menyebabkan kabut asap di negara tetangga, Indonesia.
Beberapa negara kecil bahkan lebih jauh ke depan. Kosta Rika merintis pengembangan pembayaran untuk jasa ekosistem (payment for ecosystem services) sejak 1990-an yang secara luas dipandang dimata dunia menempatkan negara ini sebagai pemimpin dalam pengembangan model bisnis untuk menjaga hutan tetap utuh.
Dengan demikian, negara telah bergerak dari ekonomi berbasis ekstraksi ke ekonomi berbasis jasa yang lebih menguntungkan. Meksiko telah merubah kebijakan kontrol wilayah hutan dari negara kepada kontrol masyarakat setempat, upaya ini adalah untuk melindungi hutan di daerah-daerah yang sebelumnya menderita akibat tingginya tingkat kehilangan penebangan.
Di tingkat lokal, pengakuan yang berkembang bahwa peran serta masyarakat bermain dalam mempertahankan tutupan hutan semakin bertumbuh. Penelitian yang dipublikasikan pada awal tahun ini oleh WRI dan The Rights and Resources Initiative menyimpulkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat mengalami laju deforestasi rata-rata 11 kali lebih rendah dari lahan yang berada di luar wilayah kontrol masyarakat lokal. Secara hukum diakui bahwa jumlah hutan yang dikelola masyarakat lokal adalah 513 juta hektar atau seperdelapan dari hutan dunia.
Tahun lalu Mahkamah Konstitusi di Indonesia, lewat putusan MK 35/2012, memenangkan klaim masyarakat adat terhadap kawasan kelola mereka. Suatu keputusan yang penting karena pemerintah selama ini selalu mengeluarkan ijin bagi perusahaan logging dan perkebunan besar di lahan-lahan yang selama bergenerasi dikelola dan dikontrol oleh masyarakat lokal/adat, karena lahan tersebut dianggap berada di lahan hutan negara.
Beberapa kelompok masyarakat adat, termasuk Paiter Surui di Amazon bahkan melihat sebuah model bisnis baru yang akan memungkinkan mereka meningkatkah taraf hidup mereka lewat kompensasi jasa lingkungan lewat upaya mereka menjaga kelestarian hutan dan kawasan konservasi.
Konsep yang muncul dari pembayaran jasa ekosistem adalah sebuah perkembangan lain yang menjanjikan untuk hutan dunia. Sementara pasar untuk karbon hutan yang dilindungi di bawah PBB, Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+) lambat terwujud, dunia mulai menyadari manfaat yang diberikan oleh ekosistem yang sehat.
Konsep kompensasi jasa ekosistem tidak terbatas pada konsep hutan karbon saja. Tetapi juga menyangkut hutan sebagai penyedia sumber air, membantu mengurangi erosi, rumah bagi keanekaragaman hayati serta berbagai layanan lainnya. Hutan primer, secara khusus semakin kian diperhatikan sebagai prioritas konservasi melalui inisiatif sertifikasi lingkungan seperti yang telah dilakukan oleh Forest Stewardship Council yang mengeluarkan mereka dari berbagai ijin eksploitasi.
Namun sementara rasa optimis mulai timbul, banyak pula tantangan yang dihadapi. Pertumbuhan penduduk dan konsumsi dunia akan menjadi resiko yang meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya bumi termasuk hutan dan ekosistemnya. Resiko nyata juga timbul dari pergeseran konsumsi global dari barat ke timur yang konsumennya belum terlalu mementingkan isu perlindungan lingkungan.
Kegagalan dalam mengatasi perubahan iklim dapat meninggalkan hutan yang rusak parah atau lebih buruk dari sebelumnya. Sebagai contoh para ilmuwan telah mendeteksi skala besar munculnya kekeringan di beberapa bagian Amazon, sebuah gambaran menakutkan dari apa yang dapat terbentang di depan.
Namun saya tetap meletakkan segenggam harap. Dalam sebuah perjalanan di bulan Mei lalu ke Indonesia saya dapat menggambarkan mengapa. Saya mengunjungi kawasan konservasi ekosistem Leuser untuk mengecek sistem real-time yang digunakan oleh Global Forest Watch. Di Leuser, – satu-satunya hutan di dunia dimana badak, orangutan, harimau dan gajah hidup di satu habitat yang sama, sistem GFW menunjukkan bintik merah muda, yang berarti deforestasi baru saja terjadi dalam beberapa bulan sebelumnya.
Bergabung dengan kami adalah kelompok LSM lokal yang menggunakan Google Maps pada ponsel mereka yang membawa kami beberapa mil dari lokasi kejadian. Kami menemukan bentang hutan yang baru saja dibersihkan secara ilegal untuk kebun sawit. Rekan-rekan LSM tersebut langsung melaporkan kasus itu pada pihak berwenang serta melakukan investigasi hubungan rantai pasokan perkebunan tersebut dengan jaringan global yang lebih luas.
Berkat komitmen nol deforestasi, pasar minyak sawit yang diproduksi dengan cara-cara merusak seperti itu cepat menyusut. Sementara itu, pendekatan investigasi yang sama dapat diterapkan oleh setiap orang di belahan dunia ini.
Artikel dalam bahasa Inggris dapat dilihat dalam tautan ini: http://e360.yale.edu/feature/a_conservationist_sees_signs_of_hope_for_the_worlds_rainforests/2822 |